dapat dari WA Groups..
------------
AYAH DAN PENDIDIKAN
BAGI ANAK
Oleh: Papapnya Shiddiq, Iqbal dan Luqman
(soenaria@yahoo.de)
Siapapun yang prihatin dengan situasi Indonesia saat ini
boleh jadi tertarik dengan ide Ivan Illich dan Totto Chan. Ivan
Illich menggagas ide tentang Deschooling Society/masyarakat yang
bebas dari sekolah (1971). Menurutnya, sekolah (SD hingga Perguruan Tinggi)
sebagai institusi sosial gagal mewujudkan keadilan sosial dan iklim egaliter di
masyarakat. Sekolah malah memperkuat struktur ketidakadilan. Yang kuat semakin
kuat, dan yang lemah semakin lemah. Sekolah juga gagal dalam membangun dan
mengawal moral sosial. Oleh karenanya Ivan Illich menganjurkan
sebuah reformasi pendidikan tanpa kehadiran sekolah. Totto Chan,
sebaliknya, tidak anti sekolah. Ia justru dengan pengalaman riil hidupnya
menganjurkan sebuah sekolah yang bebas (1981), sekolah yang melakukan
fungsi humanisasi dan pencerahan kepada peserta didik, hingga mampu menjadi
penggerak positif perubahan sosial di masyarakatnya.
Dua (2) pesan moral yang dapat saya petik dari keduanya: (1)
Sebagai orang tua, saya seyogianya memilih dengan cermat sekolah yang akan
menjadi tempat belajar bagi anak-anak. Sekolah yang bebas menurut Totto
Chan, dalam pengertian: kondusif menjadi tempat anak-anak mengekslorasi potensi
fisik-intelektual-spiritual nya, kondusif menjadi tempat untuk berkontemplasi
memahami alam sekitar dan situasi sosial masyarakat seraya mengidentifikasi
peran sosial dirinya dan arah perubahan sosial yang seharusnya dituju. (2)
Sebagai orang tua, saya bertanggung jawab untuk tidak 100% menyerahkan proses
pendidikan anak-anak kepada sekolah. Proses pembentukan karakter (character
building) dan peningkatan kemampuan belajar (learning how to learn) dalam porsi
yang besar tetap menjadi tanggung jawab orang tua, paling tidak hingga anak
berusia 18 tahun. Sehingga saat anak-anak berkiprah di masyarakat,
kekhawatiranIvan Illich tidak perlu terjadi. Anak-anak akan
menjadi rahmatan lil alamin, menjadi bagian dari solusi dan bukan bagian
dari masalah. Progresif turut andil dalam perubahan sosial dan bukan
konservatif mempertahankanstatus quo.
Masalahnya, karena 2 pesan moral tersebut adalah pernyataan
normatif, bagaimana mengeksekusinya dalam kenyataan? Bagaimana ayah dapat
berperan didalamnya?
Peran Ayah Bagi
Pengembangan Diri Anak
Beberapa bulan sebelum kami menikah di tahun 2000, kami
memperoleh pelatihan menjadi orang tua yang baik. Dijelaskan dalam
pelatihan tersebut, tugas orang tua bila disederhanakan ada tiga: 1.
Bercerita kepada anak, 2. Mengajak anak bermain, dan 3. Menjawab pertanyaan
anak. Sepanjang 11 tahun perjalanan kami mencoba mengamalkannya, peran
ayah tidak bisa dihilangkan, bahkan sama pentingnya dengan peran ibu. Peran
ayah adalah komplementer, dan bukan substitusi dari peran ibu. Adatiga
tantangan yang saya hadapi sebagai ayah untuk melakukan 3 tugas tersebut
diatas, yakni membagi waktu, membagi konsentrasi, dan mengembangkan diri
sendiri
Membagi waktu berarti ayah harus mengalokasikan waktu dalam
keseharian hadir secara fisik untuk bercerita kepada anak, untuk mengajak anak
bermain dan untuk menjawab pertanyaan anak. Tidak mudah karena dalam tuntutan
pekerjaan di kantor, seringkali harus lembur hingga malam hari dan berangkat
kembali ke kantor di pagi hari. Solusinya memaksa diri untuk mengatur ritme
pekerjaan di kantor, merasa cukup dengan cashflowyang diterima dengan
ritme pekerjaan yang adjusted tersebut, dan tidak terpancing untuk
mencari tambahancashflow yang berkonsekuensi berkurangnya waktu untuk
anak. Dalam eksekusi solusi tersebut tetap saja ada godaan berupa tuntutan
ekonomi yang terus meningkat serta pola hidup konsumerisme dan
hedonis yang menggejala di masyarakat kita. Dialog yang terbuka dan
partisipatif dengan anak dapat mengurangi godaan tersebut.
Membagi konsentrasi lebih sulit daripada mengalokasikan
waktu. Karena selain hadir secara fisik untuk anak, pikiran dan emosi kita juga
harus hadir secara penuh disana. Tidak jarang saat kita sedang bersama anak,
ada panggilan telpon dari kolega/atasan kantor, atau bahkan kita terlihat
melamun dan ditegur anak karena dianggap tidak sungguh-sungguh. Dapat
dipastikan saat itu kita sedang memikirkan pekerjaan kantor atau amanah sosial
lainnya. Istri saya pernah berpendapat bahwa walaupun waktu yang tersedia untuk
anak sedikit yang penting kualitas interaksinya, ketimbang waktu yang banyak
namun kualitas interaksinya rendah. Kualitas interaksi menuntut konsentrasi.
Kendala berikutnya untuk konsentrasi adalah keletihan fisik dan pikiran seusai
pulang dari tempat kerja. Sering saya sempatkan relaksasi sekitar 30 menit
dikantor sebelum pulang agar tetap tampil segar dihadapan anak saat tiba di
rumah. Tentu makanan yang sehat/cukup, shalat khusyuk dan membaca Al Quran yang
teratur akan membantu kemampuan konsentrasi kita.
Kebutuhan untuk mengembangkan diri paling terasa saat kita
melakukan tugas sebagai ayah dalam menjawab pertanyaan anak. Sering saya tidak
bisa secara spontan menjawab pertanyaan anak dan membutuhkan waktu untuk
mencari jawabannya. Kita merasakan kebutuhan untuk terus memperluas wawasan
serta memperbaiki perilaku keseharian kita agar nilai-nilai yang kita sampaikan
pada anak, saat bercerita-bermain- menjawab pertanyaan, memperoleh validasinya
dalam pikiran dan perbuatan kita sehari-hari yang dapat dengan mudah
diobservasi oleh anak.
Pada intinya, tiga tugas tersebut akan secara strategis
membentuk kecerdasan anak, baik kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Contohnya
dalam kecerdasan fisik anak, ayah dapat berperan dalam pengembangan motorik
kasar, sementara ibu dalam pengembangan motorik halus. Untuk kecerdasan
spiritual ayah dapat berperan dalam pengamatan anak atas fenomena sosial diluar
rumah, sementara ibu dalam pengamatan detail atas fenomena keseharian didalam
rumah.
Penelitian empiris yang dilakukan Slameto (2002) menunjukkan
bahwa peran ayah sangat berhubungan dengan prestasi anaknya di sekolah. Beliau
membuat kategori peran ayah sebagai provider, ayah sebagai problem
solver, ayah sebagai pendidik dan ayah sebagai teladan. Keempat kategori
tersebut terbukti berhubungan erat dengan prestasi akademik anak di sekolah dan
menurunnya kemungkinan keterlibatan anak dalam kenakalan anak/remaja (misalnya
perkelahian massal, narkoba dan seks bebas).
Insentif Bagi Ayah
Dalam Sistem Sosial Kita
Apapun yang dilakukan para ayah di Indonesia untuk
mengoptimalkan perannya dalam mendidik anak, sangat dipengaruhi oleh sistem
sosial yang berjalan di Indonesia. Kualitas peran ayah dalam pengembangan diri
anak dapat ditingkatkan secara mikro dalam rumah tangga kita masing-masing, dan
juga dapat distimulus oleh desain sistem sosial di masyarakat/negara
kita. Beberapa contoh yang telah dilakukan beberapa negara berikut ini
dapat menjadi inspirasi bagi kita dalam merumuskan kebijakan dan desain
strategi kebudayaan kita di Indonesia dalam memandang keluarga dan
masyarakat:
1. Mulai tahun 2002, pemerintah
federal Jerman dengan gencar mengkampanyekan slogan
baru Karriere und Familie(Karir dan Keluarga)
menggantikan slogan lama yang puluhan tahun menginspirasi semua orang di
Jerman Karriere oder (Karir atau Keluarga). Slogan ini
dikampanyekan di berbagai media (televisi, radio, majalah, baligo di
jalan-jalan dan tempat umum, dalam pidato-pidato politik kanselir, para menteri
dan anggota parlemen). Dengan slogan ini ada gerakan sosial sistematis yang
mengharmonisasikan karir profesional dan kesejahteraan keluarga.
2. Beberapa perusahaan Jerman
telah menerapkan kebijakan 2 orang manajer di posisi yang sama. Contohnya di
Siemens pernah terjadi manajer sumber daya manusia ada 2 orang. Katakan saja si
A dan si B. Si A menjadi manajer berkantor sejak Senin 08.00 hingga rabu 11.30.
Sementara si B menjadi manajer di posisi yang sama berkantor sejak rabu 13.00
hingga Jumat 17.00. Gajinya tentu saja dibagi dua. Namun bila gaji yang dibagi
dua tersebut secara nominal berada di bawah kebutuhan minimal keluarganya
(sesuai standar hidup yang tinggi oleh negara), maka negara akan memberikan
tunjangan sosial baginya. Dengan demikian dari total jam kerja perminggu
sebanyak 38 jam, si A dan si B masing-masing dapat mengalokasikan waktu 19 jam
untuk berada di rumah hadir untuk anak-anaknya. Itu diluar libur akhir pekan
dan libur nasional.
3. Di setiap tempat kerja di
Jerman (swasta maupun pemerintah) seorang pekerja wanita yang sedang mengandung
anak, diberikan hak untuk mengambil cuti bersalin 3 bulan, dan
dilanjutkan setelah itu dengan cuti membesarkan anak selama 2 tahun. Saat ibu
tersebut kembali bekerja, ada jaminan di tempat kerjanya posisi jabatan dan
besaran gaji yang minimal sama dengan posisi dan besaran gaji yang diterimanya
saat mengambil cuti.
4. Di Islandia (hal ini menjadi
model percontohan bagi Uni Eropa), seorang ayah yang memiliki istri sah dari
pernikahan (bukan dari hidup bersama) dan memiliki anak dari pernikahan
tersebut, akan memperoleh hak dari tempat kerjanya sebagai berikut: Sang ayah
dapat mengambil cuti 3 bulan dalam satu tahun untuk menemani anak-anaknya. Sang
ibu dapat mengambil cuti ditempat kerjanya 3 bulan untuk menemani anak-anaknya
(tidak diwaktu yang sama dengan cuti suaminya), dan diluar itu keduanya dapat
mengambil cuti 3 bulan bersama-sama diwaktu yang sama untuk menemani
anak-anaknya. Dengan demikian seorang anak di Islandia dalam setiap tahun dapat
bersama ayahnya around the clock selama 3 bulan, dapat bersama
ibunya around the clock selama 3 bulan, dapat bersama ayah
ibunya around the clock selama 3 bulan.
Ketika ada yang bertanya, apakah kebijakan semacam itu dapat
menurunkan produktivitas dan daya saing nasional negara-negara tersebut di
dunia? Jawabannya ada tiga.
Pertama, terbukti secara empiris Jerman menempati urutan
ke-5 negara di dunia dengan daya saing tertinggi (WEF, 2011).
Kedua, bagi Jerman dan Islandiakeseimbangan hidup lebih
penting daripada pertumbuhan ekonomi. Paradigma keseimbangan dan keberlanjutan
telah menggeser paradigma pertumbuhan dalam strategi kebudayaan masyarakat
Jerman dan Islandia.
Ketiga, sebagaimana janji Allah SWT dalam Islam, Jerman dan
Islandia percaya bahwa keseimbangan hidup yang baik dan berkelanjutan
dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang sehat. Saya percaya bila
mayoritas penduduk Jerman dan Islandia adalah muslim, maka peluang mereka untuk
menghasilkan anak-anak yang shalih dengan implementasi kebijakan-kebijakan
tersebut akan lebih besar daripada negara-negara lain.
Izinkan saya menutup tulisan ini dengan satu refleksi: Untuk
membuat anak-anak kita menjadi anak-anak yang shalih, kita sebagai ayah
nampaknya harus terlebih dulu jadi ayah yang shalih. Negara dapat membantu
dengan desain insentif sosial. Keep trying, keep praying. Fastabiqul
khairat.
Bandung, 8 Februari
2011