DEPAN

Sungguh, kadang kejujuran itu terasa sangat menyakitkan, tetapi katakanlah dan luruskanlah saja niatmu

Hisablah dirimu sebelum di hisab Allah dan jangalah menyibukkan diri menghisab apalagi menghisap orang lain

Memang nikmat berbagi dalam kebaikan & kebenaran (modifikasi dari KZ)

Salah satu tugas dalam hidup ini begitu sederhana, hanya bersabar dan besyukur (AFF)

Orang yang melewatkan satu hari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardu yang ia lakukan atau kemuliaan yang ia wariskan atau pujian yang ia hasilkan atau kebaikan yang ia tanamkan atau ilmu yang ia dapatkan,maka sungguh-sungguh ia telah durhaka pada harinya dan menganiaya diri. (Dr. Yusuf Al-qardhawi)

-----------------------------

http://refleksirifa.blogspot.com/

https://rifateashahihbukhari.blogspot.com

http://www.facebook.com/ridwan.farid.3990

id.linkedin.com/pub/ridwan-farid/6/17b/164

------------------------------------

YM & Gtalk : rifa120

Minggu, 06 Juli 2014

AYAH DAN PENDIDIKAN BAGI ANAK



 dapat dari WA Groups..
------------
AYAH DAN PENDIDIKAN BAGI ANAK

Oleh: Papapnya Shiddiq, Iqbal dan Luqman  
(soenaria@yahoo.de)
Siapapun yang prihatin dengan situasi Indonesia saat ini boleh jadi tertarik dengan ide Ivan Illich dan Totto Chan. Ivan Illich menggagas ide tentang Deschooling Society/masyarakat yang bebas dari sekolah (1971). Menurutnya, sekolah (SD hingga Perguruan Tinggi) sebagai institusi sosial gagal mewujudkan keadilan sosial dan iklim egaliter di masyarakat. Sekolah malah memperkuat struktur ketidakadilan. Yang kuat semakin kuat, dan yang lemah semakin lemah. Sekolah juga gagal dalam membangun dan mengawal moral sosial. Oleh karenanya Ivan Illich  menganjurkan sebuah reformasi pendidikan tanpa kehadiran sekolah. Totto Chan, sebaliknya, tidak anti sekolah. Ia justru dengan pengalaman riil hidupnya menganjurkan sebuah sekolah yang bebas (1981), sekolah yang melakukan fungsi humanisasi dan pencerahan kepada peserta didik, hingga mampu menjadi penggerak positif perubahan sosial di masyarakatnya.
Dua (2) pesan moral yang dapat saya petik dari keduanya: (1) Sebagai orang tua, saya seyogianya memilih dengan cermat sekolah yang akan menjadi tempat belajar bagi anak-anak. Sekolah yang bebas menurut Totto Chan, dalam pengertian: kondusif menjadi tempat anak-anak mengekslorasi potensi fisik-intelektual-spiritual nya, kondusif menjadi tempat untuk berkontemplasi memahami alam sekitar dan situasi sosial masyarakat seraya mengidentifikasi peran sosial dirinya dan arah perubahan sosial yang seharusnya dituju. (2) Sebagai orang tua, saya bertanggung jawab untuk tidak 100% menyerahkan proses pendidikan anak-anak kepada sekolah. Proses pembentukan karakter (character building) dan peningkatan kemampuan belajar (learning how to learn) dalam porsi yang besar tetap menjadi tanggung jawab orang tua, paling tidak hingga anak berusia 18 tahun. Sehingga saat anak-anak berkiprah di masyarakat, kekhawatiranIvan Illich tidak perlu terjadi. Anak-anak akan menjadi rahmatan lil alamin, menjadi bagian dari solusi dan bukan bagian dari masalah. Progresif turut andil dalam perubahan sosial dan bukan konservatif mempertahankanstatus quo.
Masalahnya, karena 2 pesan moral tersebut adalah pernyataan normatif, bagaimana mengeksekusinya dalam kenyataan? Bagaimana ayah dapat berperan didalamnya? 

Peran Ayah Bagi Pengembangan Diri Anak

Beberapa bulan sebelum kami menikah di tahun 2000, kami memperoleh pelatihan menjadi orang tua yang baik. Dijelaskan dalam pelatihan tersebut, tugas orang tua bila disederhanakan ada tiga: 1. Bercerita kepada anak, 2. Mengajak anak bermain, dan 3. Menjawab pertanyaan anak. Sepanjang 11 tahun perjalanan kami mencoba mengamalkannya, peran ayah tidak bisa dihilangkan, bahkan sama pentingnya dengan peran ibu. Peran ayah adalah komplementer, dan bukan substitusi dari peran ibu. Adatiga tantangan yang saya hadapi sebagai ayah untuk melakukan 3 tugas tersebut diatas, yakni membagi waktu, membagi konsentrasi, dan mengembangkan diri sendiri
Membagi waktu berarti ayah harus mengalokasikan waktu dalam keseharian hadir secara fisik untuk bercerita kepada anak, untuk mengajak anak bermain dan untuk menjawab pertanyaan anak. Tidak mudah karena dalam tuntutan pekerjaan di kantor, seringkali harus lembur hingga malam hari dan berangkat kembali ke kantor di pagi hari. Solusinya memaksa diri untuk mengatur ritme pekerjaan di kantor, merasa cukup dengan cashflowyang diterima dengan ritme pekerjaan yang adjusted tersebut, dan tidak terpancing untuk mencari tambahancashflow yang berkonsekuensi berkurangnya waktu untuk anak. Dalam eksekusi solusi tersebut tetap saja ada godaan berupa tuntutan ekonomi yang terus meningkat  serta pola hidup konsumerisme dan hedonis yang menggejala di masyarakat kita. Dialog yang terbuka dan partisipatif dengan anak dapat mengurangi godaan tersebut.
Membagi konsentrasi lebih sulit daripada mengalokasikan waktu. Karena selain hadir secara fisik untuk anak, pikiran dan emosi kita juga harus hadir secara penuh disana. Tidak jarang saat kita sedang bersama anak, ada panggilan telpon dari kolega/atasan kantor, atau bahkan kita terlihat melamun dan ditegur anak karena dianggap tidak sungguh-sungguh. Dapat dipastikan saat itu kita sedang memikirkan pekerjaan kantor atau amanah sosial lainnya. Istri saya pernah berpendapat bahwa walaupun waktu yang tersedia untuk anak sedikit yang penting kualitas interaksinya, ketimbang waktu yang banyak namun kualitas interaksinya rendah. Kualitas interaksi menuntut konsentrasi. Kendala berikutnya untuk konsentrasi adalah keletihan fisik dan pikiran seusai pulang dari tempat kerja. Sering saya sempatkan relaksasi sekitar 30 menit dikantor sebelum pulang agar tetap tampil segar dihadapan anak saat tiba di rumah. Tentu makanan yang sehat/cukup, shalat khusyuk dan membaca Al Quran yang teratur akan membantu kemampuan konsentrasi kita.
Kebutuhan untuk mengembangkan diri paling terasa saat kita melakukan tugas sebagai ayah dalam menjawab pertanyaan anak. Sering saya tidak bisa secara spontan menjawab pertanyaan anak dan membutuhkan waktu untuk mencari jawabannya. Kita merasakan kebutuhan untuk terus memperluas wawasan serta memperbaiki perilaku keseharian kita agar nilai-nilai yang kita sampaikan pada anak, saat bercerita-bermain- menjawab pertanyaan, memperoleh validasinya dalam pikiran dan perbuatan kita sehari-hari yang dapat dengan mudah diobservasi oleh anak.
Pada intinya, tiga tugas tersebut akan secara strategis membentuk kecerdasan anak, baik kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Contohnya dalam kecerdasan fisik anak, ayah dapat berperan dalam pengembangan motorik kasar, sementara ibu dalam pengembangan motorik halus. Untuk kecerdasan spiritual ayah dapat berperan dalam pengamatan anak atas fenomena sosial diluar rumah, sementara ibu dalam pengamatan detail atas fenomena keseharian didalam rumah.   


Penelitian empiris yang dilakukan Slameto (2002) menunjukkan bahwa peran ayah sangat berhubungan dengan prestasi anaknya di sekolah. Beliau membuat kategori peran ayah sebagai provider, ayah sebagai problem solver, ayah sebagai pendidik dan ayah sebagai teladan. Keempat kategori tersebut terbukti berhubungan erat dengan prestasi akademik anak di sekolah dan menurunnya kemungkinan keterlibatan anak dalam kenakalan anak/remaja (misalnya perkelahian massal, narkoba dan seks bebas).   

Insentif Bagi Ayah Dalam Sistem Sosial Kita

Apapun yang dilakukan para ayah di Indonesia untuk mengoptimalkan perannya dalam mendidik anak, sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang berjalan di Indonesia. Kualitas peran ayah dalam pengembangan diri anak dapat ditingkatkan secara mikro dalam rumah tangga kita masing-masing, dan juga dapat distimulus oleh desain sistem sosial di masyarakat/negara kita. Beberapa contoh yang telah dilakukan beberapa negara berikut ini dapat menjadi inspirasi bagi kita dalam merumuskan kebijakan dan desain strategi kebudayaan kita di Indonesia dalam memandang keluarga dan masyarakat:    

1.     Mulai tahun 2002, pemerintah federal Jerman dengan gencar mengkampanyekan slogan baru Karriere und Familie(Karir dan Keluarga) menggantikan slogan lama yang puluhan tahun menginspirasi semua orang di Jerman Karriere oder (Karir atau Keluarga). Slogan ini dikampanyekan di berbagai media (televisi, radio, majalah, baligo di jalan-jalan dan tempat umum, dalam pidato-pidato politik kanselir, para menteri dan anggota parlemen). Dengan slogan ini ada gerakan sosial sistematis yang mengharmonisasikan karir profesional dan kesejahteraan keluarga.

2.     Beberapa perusahaan Jerman telah menerapkan kebijakan 2 orang manajer di posisi yang sama. Contohnya di Siemens pernah terjadi manajer sumber daya manusia ada 2 orang. Katakan saja si A dan si B. Si A menjadi manajer berkantor sejak Senin 08.00 hingga rabu 11.30. Sementara si B menjadi manajer di posisi yang sama berkantor sejak rabu 13.00 hingga Jumat 17.00. Gajinya tentu saja dibagi dua. Namun bila gaji yang dibagi dua tersebut secara nominal berada di bawah kebutuhan minimal keluarganya (sesuai standar hidup yang tinggi oleh negara), maka negara akan memberikan tunjangan sosial baginya. Dengan demikian dari total jam kerja perminggu sebanyak 38 jam, si A dan si B masing-masing dapat mengalokasikan waktu 19 jam untuk berada di rumah hadir untuk anak-anaknya. Itu diluar libur akhir pekan dan libur nasional.   
3.     Di setiap tempat kerja di Jerman (swasta maupun pemerintah) seorang pekerja wanita yang sedang mengandung anak, diberikan hak untuk mengambil cuti bersalin  3 bulan, dan dilanjutkan setelah itu dengan cuti membesarkan anak selama 2 tahun. Saat ibu tersebut kembali bekerja, ada jaminan di tempat kerjanya posisi jabatan dan besaran gaji yang minimal sama dengan posisi dan besaran gaji yang diterimanya saat mengambil cuti.   
4.     Di Islandia (hal ini menjadi model percontohan bagi Uni Eropa), seorang ayah yang memiliki istri sah dari pernikahan (bukan dari hidup bersama) dan memiliki anak dari pernikahan tersebut, akan memperoleh hak dari tempat kerjanya sebagai berikut: Sang ayah dapat mengambil cuti 3 bulan dalam satu tahun untuk menemani anak-anaknya. Sang ibu dapat mengambil cuti ditempat kerjanya 3 bulan untuk menemani anak-anaknya (tidak diwaktu yang sama dengan cuti suaminya), dan diluar itu keduanya dapat mengambil cuti 3 bulan bersama-sama diwaktu yang sama untuk menemani anak-anaknya. Dengan demikian seorang anak di Islandia dalam setiap tahun dapat bersama ayahnya around the clock selama 3 bulan, dapat bersama ibunya around the clock selama 3 bulan, dapat bersama ayah ibunya around the clock selama 3 bulan.   
Ketika ada yang bertanya, apakah kebijakan semacam itu dapat menurunkan produktivitas dan daya saing nasional negara-negara tersebut di dunia? Jawabannya ada tiga. 

Pertama, terbukti secara empiris Jerman menempati urutan ke-5  negara di dunia dengan daya saing tertinggi (WEF, 2011). 
Kedua, bagi Jerman dan Islandiakeseimbangan hidup lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi. Paradigma keseimbangan dan keberlanjutan telah menggeser paradigma pertumbuhan dalam strategi kebudayaan masyarakat Jerman dan Islandia. 
Ketiga, sebagaimana janji Allah SWT dalam Islam, Jerman dan Islandia percaya bahwa keseimbangan hidup yang baik dan berkelanjutan dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang sehat.  Saya percaya bila mayoritas penduduk Jerman dan Islandia adalah muslim, maka peluang mereka untuk menghasilkan anak-anak yang shalih dengan implementasi kebijakan-kebijakan tersebut akan lebih besar daripada negara-negara lain.
Izinkan saya menutup tulisan ini dengan satu refleksi: Untuk membuat anak-anak kita menjadi anak-anak yang shalih, kita sebagai ayah nampaknya harus terlebih dulu jadi ayah yang shalih. Negara dapat membantu dengan desain insentif sosial. Keep trying, keep praying. Fastabiqul khairat.



Bandung, 8 Februari 2011