SIRAH NABAWIAH
Dirangkum oleh Kang Teddy Tedjakusuma dari buku karangan Syeikh
Syafiyyur Rahman Mubarakfuri
Kelahiran dan Masa Kecil Muhammad saw (1)
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (QS
Al-Ahzab: 71).
Nabi Muhammad saw lahir di tengah-tengah keluarga
Bani Hasyim, di kota Mekkah, Negeri Arab, pada hari Senin pagi, tanggal 9
Rabi’ul Awwal (sebagian pendapat menyatakan 12 Rabi’ul Awwal), bertepatan
dengan tanggal 20 April 571 M. Ibunya bernama Aminah binti Wahab,
sedangkan ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muththalib. Muhammad saw
lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya tersebut telah meninggal sebelum ia
lahir. Nama “Muhammad” diberikan oleh kakeknya yang bernama Abdul
Muththalib. Saat kelahiran bayi Muhammad ia sedang melakukan thawaf di Ka’bah.
Begitu mendengar kabar gembira tentang kelahiran cucunya tersebut, ia langsung
mengambil sang bayi dan membawanya ke depan Ka’bah, kemudian berdo’a dan
bersyukur atas kelahiran cucunya tersebut. Ia kemudian menamainya
“Muhammad”.
Sudah merupakan kebiasaan kaum Arab yang hidup di
perkotaan untuk mencari ibu susu bagi anak-anaknya dan menitipkan mereka pada
ibu-ibu susu itu untuk tinggal di pedesaan, agar anak-anaknya terhindar dari
berbagai penyakit peradaban di kota, memperkuat fisik mereka, dan agar mereka
dapat mempelajari Bahasa Arab yang fasih sejak kecil. Demikian juga bayi
Muhammad dititipkan oleh Abdul Muththalib kepada seorang wanita dari Bani Sa’d
bin Bakr, yang bernama Halimah binti Abu Dzuaib.
Karena kehendak Allah, diambilnya bayi Muhammad
saw oleh Ibu Halimah banyak mendatangkan berkah bagi keluarga dan kaumnya,
walau pada awalnya tak ada wanita yang berminat mengambilnya sebagai anak susu,
berhubung statusnya sebagai anak yatim sehingga mereka (para wanita calon ibu
susu itu) tak dapat mengharapkan imbalan dari ayah si bayi. Berkah yang
dimaksu di antaranya, kambing-kambing keluarga Halimah banyak mengeluarkan
susu, sehingga mereka tak pernah kekurangan susu, sedangkan kambing-kambing
keluarga lain tidak mengeluarkan susu karena kondisi bumi perkampungan Bani
Sa’d yang tandus.
Ketika Muhammad saw berusia 4 atau 5 tahun dan
masih tinggal dengan Ibu Halimah, terjadilah suatu peristiwa yang aneh pada
dirinya. Pada saat ia sedang menggembala kambing bersama seorang anak
Halimah, ia didatangi oleh dua orang laki-laki yang berpakaian putih, yang
kemudian menangkapnya, membawanya ke suatu tempat, dan membelah dadanya.
Mereka kemudian mengambil segumpal darah hitam dari hatinya dan
membuangnya. Salah seorang dari kedua laki-laki itu berkata, “Inilah
bagian syetan yang ada dalam tubuhmu.”
Imam Muslim meriwayatkan bahwa kedua laki-laki
itu adalah malaikat dan salah seorangnya adalah malaikat Jibril. Setelah
kejadian itu, karena khawatir akan keselamatan Muhammad saw, Ibu Halimah
mengembalikan Muhammad saw ke ibu kandungnya Aminah.
Suatu waktu, Aminah bermaksud berziarah ke
kuburan mendiang suaminya di Yatsrib (Madinah). Ia pergi bersama putranya
Muhammad saw, pembantunya yang bernama Ummu Aiman, dan mertuanya Abdul
Muththalib. Muhammad saw waktu itu berusia lebih kurang 6 tahun.
Takdir Allah Swt tak dapat dihalangi, dalam
perjalanan pulang ke Mekkah setelah ziarah tersebut, Aminah jatuh sakit dan
meninggal di sebuah dusun bernama Abwa’. Demikianlah, pada usia 6 tahun
Muhammad saw telah menjadi seorang yatim-piatu, tak punya ayah dan tak punya
ibu.
KHADIJAH (2)
Abdul Muththalib kemudian membawa pulang Muhammad
saw ke Mekkah. Sejak itu dipeliharanya dan disayanginya Muhammad saw
lebih dari anak-anaknya. Namun ketika Muhammad saw berusia 8 tahun 2
bulan, Abdul Muththalib meninggal dunia. Sebelum kematiannya, ia berpesan
kepada paman Muhammad saw yaitu adik mendiang ayahnya, yang bernama Abu Thalib,
untuk memeliharanya.
Sejak itu Muhammad saw dipelihara dengan sangat
baik oleh pamannya Abu Thalib, bahkan pamannya itu mengutamakan Muhammad
dibandingkan dengan anak-anaknya sendiri. Lebih dari 40 tahun Abu Thalib
memuliakan dan melindungi beliau. Demi beliau, Abu Thalib menjalin
persahabatan dan melakukan permusuhan dengan orang lain. Tentang hal ini
akan kita bahas nanti (insya Allah).
Banyak peristiwa menarik seputar kehidupan
Muhammad saw pada waktu beliau dipelihara oleh pamannya itu, yang menunjukkan
tanda-tanda keistimewaan beliau. Salah satunya adalah ketika pamannya
meminta hujan lewat perantaraan beliau. Suatu waktu kota Mekkah dan
sekitarnya dilanda kekeringan karena hujan lama tidak turun. Orang-orang
Quraisy kemudian mendatangi Abu Thalib agar beliau memintakan hujan.
Beliau kemudian keluar dari rumahnya bersama seorang anak, yaitu Muhammad saw,
dan menyandarkan anak itu di dinding Ka’bah. Saat itu tidak ada awan yang
menggumpal di langit. Tetapi, awanpun kemudian datang dari berbagai
penjuru, dan lama-lama turunlah hujan lebat. Lembah-lembah memancarkan
air, dan tanah-tanah menjadi subur. Berkenaan dengan itu Abu Thalib
berkata bahwa ia telah meminta hujan melalui pribadi anak tersebut, yaitu
Muhammad saw, seorang anak yatim piatu yang tak berharga.
Pada waktu Muhammad saw berusia 12 tahun ia
dibawa oleh Abu Thalib untuk berdagang ke Syam (Syria sekarang). Dalam
perjalanan tersebut mereka melewati sebuah tempat bernama Bashra, di mana
tinggal seorang pendeta yang dikenal dengan nama Bahira, yang nama aslinya
adalah Jarjis. Bahira kemudian mengundang rombongan Abu Thalib ke rumahnya
dan memperlakukannya sebagai tamu. Ia kemudian berkata kepada Abu Thalib
bahwa anak yang dibawanya (yaitu Muhammad saw) adalah pemimpin seluruh alam,
dan diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Waktu Abu Thalib
bertanya apa dasarnya pendeta Bahira berkata demikian, Bahira menjawab bahwa ia
telah melihat ketika rombongan tersebut turun dari bukit, seluruh batu dan
pohon bersujud. Batu-batu dan pohon-pohon tersebut tidak akan bersujud
kecuali pada seorang nabi. Atas anjuran Bahira, Abu Thalib tak jadi
membawa Muhammad saw ke Syam, dan memulangkan Muhammad saw beserta beberapa
pembantunya ke Mekkah, untuk mencegah kalau-kalau ia diperlakukan jahat oleh
orang-orang Yahudi di Syam.
Pada waktu Muhammad saw berusia 15 tahun, terjadi
sebuah perang bernama perang Fijjar, antara suku Quraisy dan suku Qais Ailan.
Perang tersebut disebut perang Fijjar karena melanggar kehormatan tanah suci
dan bulan-bulan Haram (yaitu Dzulqa’adah, Dzulhijjah, dan Rajab). Perang
tersebut diikuti oleh Muhammad saw. Beliau membantu paman-paman beliau
untuk mempersiapkan anak-anak panah. Di awal siang Qais memenangkan
pertempuran, namun di sore hari Quraisy-lah yang menang.
Demikianlah Muhammad saw tumbuh di bawah asuhan
pamannya Abu Thalib. Ia tidak memiliki pekerjaan tertentu, namun pernah
bekerja sebagai penggembala kambing. Ketika beliau berusia 25 tahun,
beliau pergi ke Syam untuk membawa barang dagangan seorang saudagar wanita
Quraisy bernama Khadijah. Khadijah menawarkan pekerjaan tersebut kepada
Muhammad saw setelah mendengar kejujuran dan kemuliaan akhlaknya dari
orang-orang sekitar. Dalam perjalanan ini Muhammad saw ditemani oleh
pembantu Khadijah yang bernama Maisarah.
Sepulang dari Syam, Khadijah melihat keuntungan
dan berkah pada harta yang dititipkannya kepada Muhammad saw, dan ia menerima
laporan dari Maisarah tentang akhlak dan kejujuran Muhammad saw.
Mendengar penuturan ini dan setelah menilai sendiri kepribadian Muhammad saw,
Khadijah berhasrat untuk menikah dengannya. Ia adalah seorang janda yang
terpandang di kalangan suku Quraisy, dan selama ini telah banyak pemuka Quraisy
yang melamarnya namun tak pernah dihiraukannya.
PERINTAH DAKWAH (3)
Beberapa waktu setelah pertemuan malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad saw,
Khadijah ra mengajak Rasulullah saw untuk pergi menemui Waraqah bin Naufal,
salah seorang anak paman Khadijah, yang memeluk agama Nasrani. Ia dapat
menulis dalam huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil
dalam bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan kehilangan
penglihatannya. Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya di gua
Hira’. Setelah mendengar penuturan Rasulullah saw, Waraqah berkata, “Itu
adalah malaikat yang pernah diutus Allah kepada Musa. Alangkah bahagianya
seandainya aku masih muda perkasa! Alangkah gembiranya seandainya aku
masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu!”
Rasulullah saw bertanya, “Apakah mereka akan
mengusir aku?” Waraqah menjawab, “Ya. Tak seorangpun yang datang membawa
seperti yang kamu bawa kecuali diperangi. Seandainya kelak aku masih
hidup dan mengalami hari yang kamu hadapi itu, pasti kamu kubantu sekuat
tenagaku.” Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia.
Setelah wahyu pertama turun, selama beberapa hari
Rasulullah saw tidak mendapatkan wahyu. Terhentinya wahyu ini menimbulkan
kesedihan yang mendalam pada diri Rasulullah saw, dan berulang kali menimbulkan
keinginan untuk menjatuhkan diri dari puncak gunung. Setiap kali sampai
ke puncak gunung dan hendak menjatuhkan diri dari tempat tersebut, Jibril
menampakkan diri kepada beliau dan mengatakan, “Wahai Muhammad, kamu adalah
benar-benar Rasulullah!” Seketika itu, hati beliau menjadi tentram, lalu
pulang. Ketika beliau merasakan kembali masa kekosongan wahyu tersebut,
timbul lagi keinginannya untuk melakukan perbuatan yang serupa. Dan
ketika sampai di puncak gunung, Jibril menampakkan diri lagi dan mengatakan
kalimat yang serupa.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Jabir bin
Abdillah bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw menceritakan tentang masa
kekosongan wahyu, beliau bersabda, “Ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku
mendengar suara dari langit. Ketika kepala kuangkat, kulihat malaikat
yang datang kepadaku di gua Hira’ sedang duduk di kursi antara langit dan
bumi. Aku merasa ketakutan sehingga jatuh ke tanah. Aku segera pulang
menemui istriku dan kukatakan kepadanya, ‘Selimutilah aku, selimutilah aku,
selimutilah aku,’ Kemudian, Allah menurunkan firman-Nya, “Wahai
orang-orang yang berselimut, …. serta jauhilah perbuatan dosa.’ Sejak
itu, wahyu diturunkan secara berkelanjutan.
Sebelum kita membahas lebih lanjut kehidupan
risalah dan nubuwah (kenabian), kita perlu mengetahui klasifikasi wahyu yang
merupakan sumber risalah dan dakwah. Ketika menyebutkan tentang tingkatan
wahyu, Ibnu Qayyim berkata:
1.Mimpi yang benar.
2.Wahyu yang dibisikkan oleh malaikat ke dalam
hati beliau tanpa terlihat oleh beliau
3.Malaikat datang kepada Rasulullah saw dalam
wujud seorang lelaki, lalu berbicara kepada beliau sampai beliau memahami apa
yang disampaikannya. Dalam keadaan seperti ini, malaikat tersebut
terkadang dilihat oleh para sahabat.
4. Jibril datang kepada beliau seperti bunyi
lonceng. Tingkatan wahyu seperti ini merupakan tingkat yang terberat bagi
beliau, sebab Jibril merasuk ke dalam tubuh beliau. Jika hal itu terjadi
ketika beliau sedang mengendarai onta, maka ontanya berlutut karena merasa
ditimpa beban yang berat.
5. Rasulullah saw melihat Jibril dalam bentuk
aslinya, lalu Jibril mewahyukan kepada beliau apa saja yang dikehendaki oleh Allah
untuk disampaikan kepada beliau.
6. Wahyu yang disampaikan secara langsung oleh
Allah kepada beliau, ketika beliau berada di atas langit, pada malam Isra
Mi’raj, yaitu tentang kewajiban shalat.
7. Firman Allah kepada beliau tanpa perantaraan
malaikat , sebagaimana Allah berbicara kepada Musa bin Imran. Tingkatan
seperti ini telah terjdi pada diri Musa berdsarkan nash Al-Quran, dan terjadi
pula pada diri Rasulullah saw berdasarkan hadits Isra.
Wahyu kedua yang diterima Rasulullah saw adalah
sebagai berikut:
“Wahai orang yang berselimut! Bangunlah, dan
berilah peringatan. Agungkanlah Tuhanmu, bersihkanlah pakaianmu,
tinggalkan perbuatan dosa (menyembah berhala), dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh balasan yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi
perintah) Tuhanmu, bersabarlah. (Al-Muddatstsir:1-7).
Ayat-ayat tersebut berisi perintah yang secara
lahiriah sederhana namun memiliki tujuan yang jauh dan pengaruh yang kuat.
1.
Puncak pemberian peringatan adalah tidak membiarkan seorang pun di
antara orang-orang yang berada di alam wujud ini untuk menyalahi keridhaan
Allah, yaitu dengan memberikan berbagai peringatan terhadap siksa-siksa-Nya
yang mengerikan, sehingga timbul rasa gentar dan kegoncangan dalam hatinya.
2.
Puncak mengagungkan Allah adalah tidak memberikan seorang pun di muka
bumi ini untuk berbuat kesombongan, yaitu dengan mematahkan kekuatannya,
sehingga tidak ada kesombongan dan kebesaran yang tersisa di muka bumi ini
selain kebesaran Allah Ta’ala.
3.
Puncak dari pembersihan pakaian dan meninggalkan perbuatan dosa adalah
mencapai pembersihan lahir dan batin serta pembersihan jiwa dari segala jenis
noda dan kotoran, secara sempurna. Sehingga jiwa manusia berada di bawah
naungan rahmat Allah, pemeliharaan, pengawasan, petunjuk, dan cahaya-Nya.
Di samping itu, dapat menjadi figure bagi masyarakat di hadapan hati yang
menyimpang, sehingga seluruh perhatian dunia terpusat kepadanya.
4.
Puncak tidak memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak
adalah tidak menganggap perbuatan dan jerih payahnya sebagai suatu perbuatan
yang besar. Tetapi, senantiasa berupaya dengan sungguh-sungguh dalam setiap
amal, pengorbanan, kemudian melupakan semua itu. Yakni, tidak merasa
bahwa dirinya telah melakukannya.
5.
Ayat tersebut mengisyaratkan hal-hal yang akan disampaikan selanjutnya
yakni adanya gangguan-gangguan orang-orang yang menentang.
Masa hidup Muhammad saw dapat dibagi menjadi dua
fase, masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, yaitu:
1.
Fase Mekkah, kira-kira selama tiga belas tahun.
2.
Fase Madinah, kira-kira selama sepuluh tahun.
Fase Mekkah dapat dibagi menjadi tiga tahapan,
yaitu:
1.
Tahapan dakwah secara rahasia, selama tiga tahun.
2.
Tahapan dakwah secara terang-terangan terhadap penduduk Mekkah, mulai
tahun keempat kenabian sampai akhir tahun kesepuluh kenabian.
3.
Tahapan dakwah di luar Mekkah, berlangsung dari tahun kesepuluh kenabian
sampai hijrah ke Madinah.
DAKWAH NABI SAW KEPADA KAUM KERABAT (5)
Fase pertama dakwah dilakukan oleh Rasulullah saw secara diam-diam.
Hal ini disebabkan Makkah adalah markas bagi agama orang-orang Arab, tempat
pelayan-pelayan Ka’bah, pengurus berhala-berhala yang disucikan oleh seluruh
Arab, sehingga sulit untuk melakukan perbaikan di sana, dan memerlukan tekad
kuat menghadapi berbagai cobaan, musibah dan bencana. Karena itu dakwah
secara diam-diam dilakukan oleh Rasulullah saw agar penduduk Makkah tidak
dikejutkan oleh hal-hal yang dapat membangkitkan kemarahannya.
Pada tahap awal, Rasulullah saw menawarkan Islam
pada orang-orang yang paling dekat dengannya, keluarganya, dan teman-temannya.
Orang-orang yang pertama kali masuk Islam ini kemudian dikenal dengan istilah
as-Sabiqunal Awwalun. Orang yang pertama beriman adalah istri Nabi yaitu
Khadijah binti Khuwailid, disusul oleh budak beliau Zaid bin Haritsah, putra paman
beliau Ali bin Abi Thalib (pada saat itu masih kanak-kanak dan hidup di bawah
tanggungan Rasulullah saw), dan teman dekat beliau, Abu Bakar
ash-Shiddiq. Setelah itu Abu Bakar ash-Shiddiq ikut menyebarkan Islam dan
atas ajakan beliau masuk Islam pula: Utsman bin Affan, az-Zubair bin Awwan,
Abdur Rahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.
Delapan orang itulah yang menjadi pelopor Islam.
Keseluruhan pengikut awal Islam berjumlah lebih
dari empat puluh orang, termasuk Bilal bin Rabah, Abu Ubaidah bin Jarrah,
al-Arqam bil Abil arqam, ubaidah bin al-Harits, dan Fathimah binti al-Khatab
(saudara Umar bin Khattab).
Sejalan dengan masuknya orang-orang tersebut ke
dalam pangkuan Islam, ayat-ayat Quran pun turun secara berkelanjutan.
Ayat-ayat dan surat-surat yang turun pada saat itu adalah ayat-ayat yang
pendek, memiliki perhentian yang indah, penyampain yang tenang dan sejalan
dengan kondisi saat itu yang sensitive. Isi ayat-ayat di masa ini berkisar pada
pembersihan jiwa, celaan terhadap jiwa-jiwa yang dikotori oleh noda-noda dunia,
dan penggamabaran terhadap surga dan neraka.
Pada masa ini pula shalat diperintahkan, walau
tidak sama dengan shalat yang dilakukan setelah peristiwa Isra Mi’raj.
Dikatakan bahwa shalat yang diwajibkan adalah shalat sebelum terbitnya
mataahari dan shalat sebelum terbenamnya. Rasulullah saw melakukan shalat
ini bersama para sahabatnya di lorong-lorong bukit agar tidak terlihat oleh
kaum musyrikin Quraisy.
Meskipun dilakukan secara diam-diam, ternyata
dakwah yang dilakukan Rasulullah saw akhirnya diketahui juga oleh orang-orang
Qurasy. Namun mereka tidak menaruh perhatian terhadapnya. Mungkin
mereka menganggap bahwa Muhammad adalah salah seorang dari para pemeluk agama
yang selalu berbicara tentang ketuhanan dan hak-haknya.
Setelah tiga tahun berlalu, turunlah wahyu yang
memerintahkan Rasulullah saw berdakwah secara terang-terangan kepada
kaumnya. Ayat yang pertama kali turun memerintahkan dakwah secara
terang-terangan adalah firman Alla Ta’ala:
“Dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu
yang terdekat”. (asy-Syu’ara. 26: 214)
Surat ini memuat kisah tentang Musa as di awal
kenabiannya sampai hijrahnya bersama Bani Israil, dan selamatnya meraka dri
kejaran Fir’aun dan bala tentaranya hingga tenggelamnya Fir’aun. Kisah
ini disampaikan kepada Rasulullah saw tatkala beliau diperintahkan menyeru
kaumnya ke jalan Allah. Tujuannya agar beliau dan para sahabatnya
memperoleh gambaran tentang hal-hal yang akan mereka hadapi ketika melakukan
dakwah secara terang-terangan, seperti pendustaan dan penindasan, dan agar
mereka dapat mengetahui secara jelas tentang persoalan mereka sejak memulai
dakwah mereka. Surat ini juga memuat akibat akhir yang akan diperoleh
orang-orang yang mendustakan para rasul, seperti kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, kaum
Ibrahim, kaum Luth, dan penduduk Aikah, selain tambahan kisah Fir’aun dan
kaumnya. Tujuannya agar orang-orang yang melakukan pendustaan mengetahui
akibat yang akan mereka jalani, berupa adzab Allah. Di samping itu, agar
orang-orang mukmin mengetahui bahwa kesudahan yang baik itu untuk mereka.
Setelah turunnya ayat di atas Rasulullah saw
mengundang Bani Hasyim ke rumahnya. Mereka pun datang bersama Bani
al-Muththalib bin Abdi Manaf, semuanya empat puluh lima orang lelaki. Abu
Lahab, salah seorang paman beliau, yang saat itu hadir berkata, “Hai
Muhammad. Mereka ini adalah paman-pamanmu dan anak-anak dari
paman-pamanmu. Berbicaralah dan janganlah main-main. Ketahuilah,
kaum kerabatmu tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi bangsa Arab. Aku
berhak mencegahmu, cukuplah bagimu perlindungan dari sanak family ayahmu.
Jika kamu tetap berbuat seperti apa yang telah kamu lakukan, mereka akan lebih
mudah menyerangmu daripada suku-suku Quraisy lainnya, dan pasti akan dibantu
oleh seluruh orang Arab. Sesungguhnya aku tidak pernah melihat seseorang
yang datang membawa sesuatu yang lebih buruk daripada yang kamu bawa.”
Dalam pertemuan itu, Rasulullah saw tidak
menjawab sepatah kata pun. Kemudian beliau mengundang mereka lagi untuk
kedua kalinya. Dalam pertemuan tersebut, beliau berkata:
“Seorang utuasan tidak akan membohongi
keluarganya. Demi Allah yang tidak ada Ilah kecuali Dia, aku adalah
Rasulullah, khususnya kepada kalian dan seluruh manusia pada umumnya.
Demi Allah, kalian pasti akan mati sebagaimana kalian tidur, dan kalian akan
dibangkitkan sebagaimana kalian bangun tidur. Segala perbuatan yang
kalian lakukan pasti akan diperhitungkan. Kemudian, tidak ada tempat lain
kecuali surga yang kekal dan neraka yang kekal juga selama-lamanya.”
Abu Thalib menyahut, “Dengan senang hati, kami
akan membantumu; kami menerima nasihatmu; dan kami pun mempercayai
kata-katamu. Mereka yang berkumpul ini adalah sanak family ayahmu, dan
aku hanyalah salah seorang dari mereka. Hanya saja, aku adalah orang yang
paling cepat menyambut keinginanmu. Jalankan terus apa yang diperintahkan
kepadamu. Demi Allah, aku akan selalu melindungimu, tetapi aku tidak
dapat meninggalkan agama Abdul Mutthalib.”
Abu Lahab menyahut, “Demi Allah, itu sikap yang
buruk. Cegahlah dia (Muhammad) sebelum orang lain berbuat terhadap
kalian.” Abu Thalib menjawab, “Demi Allah, dia akan kami bela selama kami
masih hidup.”
DAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (6)
Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri di atas bukit Shafa dan berseru
memanggil semua suku di Mekkah, sehingga orang-orang Quraisy pun berkumpul
mendatangi beliau. Setelah itu beliau berkata kepada mereka, “Seandainya
kuberitahukan kepada kalian bahwa di lembah sana terdapat pasukan berkuda yang
hendak menyerang kalian, apakah kalian mempercayaiku?” Mereka menyahut, “Ya,
kami belum pernah melihat kamu berdusta.” Beliau saw melanjutkan,
“Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa
yang sangat pedih.” Mendengar kata-kata Rasulullah saw Abu Lahab yang
hadir saat itu memprotes, “Sungguh celaka kamu sepanjang hari, hanya untuk
inikah kamu mengumpulkan kami?!”. Demikianlah penentangan Abu Lahab
terhadap dakwah Rasulullah, dan sehubungan dengan itu Allah berfirman,
“Binasalah kedua belah tangan dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS Al Lahab:
1)
Demikianlah Rasulullah selanjutnya menyampaikan
risalah Islam secara terbuka ke seluruh penjuru Mekkah. Allah ta’ala
berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 94: “Dan sampaikanlah secara terang-terangan
apa yang diperintahkan kepadamu, dan janganlah kamu pedulikan orang-orang
musyrik.” Rasulullah menyerang segala bentuk khurafat syirik dan
kebohongan-kebohongannya serta menyebutkan hakikat berhala-berhala dan berbagai
kelemahannya, dan kesesatan orang-orang yang menyembah berhala. Namun
seperti sudah diduga penduduk Mekkah menyambut dakwah Rasulullah ini dengan
luapan amarah, keheranan dan ancaman. Bagi mereka dakwah Rasulullah
bagai petir yang membelah awan, menggelagar dan menggoncangkan suasana yang
tenang. Hal itu mereka lakukan karena mereka mengetahui bahwa keimanan
itu menolak ketuhanan selain Allah, dan bahwa mereka tidak memiliki pilihan
terhadap diri dan harta mereka, apalagi terhadap orang lain. Hal ini
berarti mencabut kekuasaan mereka atas orang-orang Arab, dan mencegah mereka
untuk berbuat zhalim terhadap orang-orang lemah serta kejahatan yang mereka
lakukan. Namun di sisi lain mereka juga bingung, karena mereka tahu betul bahwa
orang yang mereka tentang adalah orang yang jujur dan terpercaya, contoh
terbaik bagi nilai-nilai kemanusiaan dan akhlaq yang mulia. Apa yang
harus mereka lakukan?
Akhirnya mereka pun memutuskan untuk menemui
paman Rasulullah saw, Abu Thalib, dan mengadukan Rasulullah saw yang telah
menghina tuhan-tuhan mereka, mencela agama mereka, dan menganggap sesat nenek
moyang mereka. Mereka meminta agar Abu Thalib mengambil alih urusan ini.
Namun Abu Thalib dengan lemah lembut menolak tuntutan mereka dan berpendirian
bahwa Rasulullah saw berhak untuk meneruskan ajakannya.
Cara lain yang dilakukan orang-orang Quraisy
untuk merintangi seruan Rasulullah kepada Islam adalah dengan mempengaruhi para
jemaah haji yang berziarah ke Mekkah di musim haji. Sebelumnya mereka
berunding, apa yang akan mereka katakan tentang Muhammad saw kepada para jemaah
haji tersebut. Sebagian mereka mengusulkan agar Muhammad saw dikatakan
sebagai seorang dukun. Yang lain mengusulkan agar Muhammad saw dikatakan
sebagai seorang gila. Yang lain lagi mengusulkan agar dia dikatakan
sebagai seorang penyair. Ada juga yang mengusulkan dia dikatakan sebagai
seorang tukang sihir, karena perkataannya dapat menyihir dan memisahkan
seseorang dari bapaknya atau saudaranya atau istrinya atau keluarga.
Namun mereka semua menyadari bahwa tak ada satu pun dari sebutan-sebutan itu yang
cocok diterapkan bagi Muhammad saw. Bagaimanapun mereka harus mengambil
sebuah keputusan, dan istilah “tukang sihir” lah yang mereka anggap paling
cocok untuk diterapkan pada Muhammad saw. Maka mereka pun melaksanakan
rencana mereka, dan mulai menyebarkan fitnah tentang Muhammad saw kepada para
jema’ah haji yang berziarah ke Mekkah di musim haji. Orang yang paling
bertanggung jawab atas gerakan ini adalah Abu Lahab. Akibatnya
orang-orang Arab yang datang berhaji, setelah mendengar persoalan ini, membawa
berita ini ke tempat asalnya masing-masing dan akhirnya persoalan tentang
Muhammad saw ini tersebar ke seluruh negeri Arab.
Demikianlah orang-orang Quraisy tak pernah
kehilangan cara untuk menentang seruan Rasulullah saw untuk beriman kepada
Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Di antara cara-cara
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Mencemooh dan menghina, melecehkan, mendustakan dan menertawakan, dengan
tujuan merendahkan kaum muslimin dan menghina kekuatan spiritual mereka.
2.
Membuat buruk citra ajaran beliau, melancarkan propaganda-propaganda
palsu dan lemah di sekitar ajaran tersebut dan pribadi beliau. Tentang
Al-Quran, mereka mengatakan, “Dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, dimintanya
untuk dituliskan, maka dibacakan dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.
“ (Al Furqan:5)
3.
Menyaingi Al-Quran dengan dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, dan
menyibukkan manusia dengan dongeng-dongeng tersebut sehingga lalai dari
Al-Quran.
4.
Berusaha untuk memadukan antara Islam dan jahiliyah, bersikap lunak agar
Muhammad saw juga bersikap lunak, agar beliau mau berkompromi dengan mereka,
sebagaimana diabadikan dalam Al-Quran, “Mereka menginginkan supaya kamu
bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu.” (Al-Quran)
Ternyata setelah sekian lama usaha orang-orang
Quraisy untuk menghalangi dakwah Rasulullah saw tidak berhasil sama sekali, dan
beliau saw tetap melaksanakan dakwahnya. Hal ini makin menimbulkan
kebencian mereka, dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengambil cara
kekerasan. Mereka mulai menindas orang-orang muslim, menyiksa orang-orang
yang baru masuk Islam terutama kaum yang lemah. Di antara orang-orang
muslim yang mengalami penyiksaan dan penindasan ini adalah:
-Paman Utsman bin Affan yang dibungkus dengan
daun korma, kemudian diasapi dari bawahnya.
-Bilal bin Rabbah seorang budak berkulit hitam
yang dijemur di atas padang pasir dalam keadaan terlentang saat matahari sedang
terik, kemudian ditindih dengan batu besar. Hal ini dilakukan oleh majikannya
sendiri.
-Amar bin Yasir beserta ayah dan ibunya yang
diseret ke tengah padang pasir yang sedang panas-panasnya, lalu disiksa dengan
kejam. Bahkan ibu Ammar, Sumayyah, setelah disiksa oleh Abu Jahal ditusuk
jantungnya dengan tombak hingga meninggal, dan dia-lah wanita sekaligus orang
pertama yang syahid dalam Islam.
Demikianlah penindasan dan penyiksaan dilakukan
orang-orang musyrik Quraisy terhadap kaum muslimin terutama yang berasal dari
golongan lemah. Namun mereka tak bisa melakukan hal seperti ini kepada
Rasulullah saw sendiri, karena beliau berada dalam lindungan pamannya, Abu
Thalib, orang yang disegani di kalangan masyarakat Mekkah.
HIJRAH KE HABASYAH (7)
Sejak dilakukannya penindasan oleh kaum musyrikin
Quraisy terhadap kaum muslimin khususnya yang berasal dari golongan lemah,
Rasulullah saw melarang kaum muslimin untuk menyatakan keislaman mereka, dan
tidak berkumpul dengan mereka kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Mereka
biasanya berkumpul secara rahasia di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam yang
terletak di atas bukit Shafa, sebagai markas dakwah dan tempat berkumpul kaum
muslimin.
Namun demikian penyiksaan kaum musyrikin terhadap
kaum muslimin tidak berhenti malah semakin hebat. Sehingga keadaan di
Mekkah tak lagi cocok bagi kaum muslimin untuk menjalankan agamanya.
Dalam keadaan tersebut, turunlah surat Al-Kahfi yang di dalamnya terkandung
tiga kisah. Kisah pertama yaitu kisah Ashabul Kahfi (para penghuni gua)
yang memberikan isyarat untuk melakukan hijrah dari pusat kekafiran ketika
dikhawatirkan timbul fitnah terhadap agama.
Wa idzi’tazaltumuuhum wamaa ya’buduuna
illallaahu fa wuu ilalkahfi yansyurlakum rabbukum min rahmatihii wa yuhayyi
lakum min amrikum mirfaqaa
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa
yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat perlindungan ke dalam gua
itu, niscaya Tuhan kamu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan
menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (al-Kahfi:16)
Kisah kedua yaitu kisah Khidr dan Musa memberikan
isyarat bahwa keadaan tidak senantiasa berjalan dan memberikan hasil sesuai
dengan lahiriahnya, bahkan boleh jadi hasil yang diperoleh berlawan sekali
dengan kondisi lahiriahnya. Hal ini menunjukkan bahwa peperangan yang
dilancarkan kaum musyrikin akan berbalik total; thagut-thagut musyrik tersebut
jika tidak beriman akan dituntut di hadapan kaum muslimin yang lemah dan
terusir tersebut.
Kisah ketiga adalah kisah Dzul Qarnain yang
memberikan isyarat bahwa bumi itu milik Allah dan akan diwariskan kepada hamba-hamba-Nya
yang Dia kehendaki.
Kemudian, turun pula surat Az-Zumar yang
mengisyaratkan tentang hijrah, dan menyatakan bahwa bumi Allah itu tidak
sempit. Allah berfirman:
“Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini
memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az
Zumar: 10)
Rasulullah saw telah mengetahui bahwa Najasyi,
raja Habasyah (Ethiopia sekarang), adalah seorang raja yang adil, dan tidak ada
seorang pun di sisinya yang terzhalimi. Maka beliau memerintahkan kaum
muslimin untuk berhijrah ke sana. Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian,
berangkatlah rombongan pertama para sahabat ke Habasyah. Kelompok
tersebut terdiri atas 12 (dua belas) laki-laki dan 4 (empat) wanita (total 16
orang). Kelompok tersebut dipimpin oleh Utsman bin Affan yang didampingi
oleh istrinya Ruqayyah binti Muhammad saw. Tentang keduanya, Rasulullah
saw bersabda:
“Sesungguhnya keduanya adalah keluarga pertama
yang berhijrah di jalan Allah, setelah Ibrahim dan Luth alaihimas salam”
Mereka pun keluar dari Mekkah secara sembunyi-sembunyi
di tengah-tengah kegelapan malam. Mereka keluar menuju pantai Syu’aibah,
dan berlayar menuju Habasyah. Sesampainya di Habasyah mereka tinggal di
sana dalam keadaan aman.
Sementara itu di Mekkah ada suatu kejadian yang
unik. Kaum musyrikin suatu saat mendengarkan bacaan Al-Quran yang
dibacakan oleh Nabi, yaitu surat An-Najm, walaupun sesungguhnya mereka
bersepakat dan melarang orang lain untuk mendengarkan bacaan Al-Quran.
Namun ketika mereka mendengarkan bacaan Rasulullah, mereka lupa akan
kesepakatan itu. Mereka tertegun ketika beliau memperdengarkan ayat-ayat
dari surat An-Najm, sampai ayat terakhir sebagai berikut:
Fasjuduu lillaahi wa’buduu
“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah
(Dia)” (An-Najm: 62). Nabi saw pun bersujud setelah membaca surat
ini. Maka, kaum musyrikin itu tidak mampu menahan diri untuk ikut
bersujud. Pada hakikatnya, goncangan kebenaran telah menghancurkan rasa
ingkar yang ada di dalam jiwa orang-orang yang angkuh dan pengejek; mereka
tidak mampu menahan diri untuk bersujud kepada Allah. Setelah itu mereka
menyesal dan mencari alasan yang dibuat-buat tentang mengapa mereka bersujud.
Berita tentang kejadian ini sampai ke kaum
muslimin yang telah berhijrah ke Habasyah, namun dalam bentuk lain.
Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa orang-orang Quraisy telah masuk
Islam. Tentu saja mereka merasa sangat bergembira mendengar berita ini,
dan mereka pun pulang ke Mekkah pada bulan Syawwal tahun yang sama.
Tetapi, setelah mereka sampai di dekat Mekkah dan mengetahui persoalannya
dengan jelas, sebagian mereka ada yang kembali ke Habasyah. Tidak ada
seorang pun dari mereka yang masuk ke Mekkah kecuali dengan sembunyi-sembunyi,
atau dalam perlindungan salah seorang tokoh Quraisy.
Karena penyiksaan terhadap kaum muslimin tidak
berhenti malah semakin hebat, Rasulullah saw menyuruh kembali kaum muslimin
untuk berhijrah ke Habasyah. Hijrah kedua ini diikuti oleh 83 (delapan
puluh tiga lelaki) dan 19 (sembilan belas) wanita (jadi totalnya 102 orang).
Setelah mengetahui perihal hijrahnya kaum
muslimin ke Habasyah, kaum musyrikin Quraisy menjadi amat gusar. Mereka
kemudian mengutus dua tokohnya yang gagah dan cerdas, yaitu Amru bin al-Ash dan
Abdullah bin Abi Rabi’ah (keduanya belum masuk Islam saat itu). Kaum
Quraisy mengutus mereka untuk membawa hadiah-hadiah kepada Najasyi dan para
pembesar kerajaan.
Sesampainya mereka di Habasyah mereka menyerahkan
hadiah-hadiah tersebut kepada para pembesar kerajaan, dan memberikan keterangan
yang dapat menghasut mereka untuk mengusir kaum muslimin. Para pembesar
kerajaan pun bersepakat untuk memohon kepada Najasyi agar mengusir kaum
muslimin dari Habasyah. Setelah para pembesar Habasyah itu menghadap
kepada rajanya, Najasyi memerintahkan untuk mengadakan sebuah pertemuan besar
untuk memeriksa dengan baik perkara kaum muslimin tersebut.
Maka berkumpullah seluruh pembesar kerajaan di
istana, dan kemudian kaum muslimin diperintahkan untuk memasuki istana
tersebut. Amr dan Abullah ikut berada di sana. Raja Najasyi pun
mengadakan persidangan untuk menanyakan berbagai perkara sehubungan dengan
agama baru yang dibawa oleh kaum muslimin dari Mekkah itu. Dalam hal ini
yang menjadi juru bicara kaum muslimin adalah Ja’far bin Abi Thalib.
Setelah persidangan dilakukan di mana di dalamnya kaum muslimin menjelaskan
tentang ajaran baru mereka yang memerintahkan segala perbuatan baik dan
melarang perbuatan buruk, maka Najasyi pun memahami dan membenarkan ajaran baru
tersebut sebagai ajaran yang tidak berbeda dengan yang ia anut. Bahkan,
ketika ia menanyakan perihal Isa Al Masih, dan Ja’far menjawabnya dengan
membacakan surat Maryam, pembacaan surat itu demikian menyentuh hati raja dan
para pembesar sampai mereka meneteskan air matanya dan membasahi jenggot-jenggotnya
dengan air mata mereka. Najasyi kemudian menegaskan bahwa ajaran agama
yang dibawa oleh kaum muslimin pada dasarnya sama dengan ajaran yang ia anut,
dan karenanya kaum muslimin berhak hidup di tanah Habasyah tanpa
gangguan. Ia mengembalikan hadiah-hadiah itu kepada Amr dan Abdullah, dan
mereka pun pulang ke Mekkah dengan menanggung rasa malu.
HAMZAH DAN UMAR MASUK ISLAM (8)
Dalam usahanya untuk membendung dakwah Rasulullah
saw, kaum musyrikin Quraisy mendatangi paman Nabi, Abu Thalib, dan memintanya
untuk menghentikan kegiatan keponakannya itu, karena menurut mereka Muhammad
saw telah menjelek-jelekkan kepercayaan mereka dan mencerca tuhan-tuhan
mereka. Tak lupa mereka pun mengancam Abu Thalib bila tidak memenuhi
permintaa
n
itu. Abu Thalib pun mendatangi Rasulullah saw dan menyampaikan permintaan
mereka.
Mendengar ucapan pamannya itu, Rasulullah merasa
sedih karena merasa pamannya tak sanggup lagi menolongnya, namun beliau
kemudian berkata, “Demi Allah, seandainya mereka itu meletakkan matahari di
tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku menghentikan urusan ini
(urusan dakwah), aku tidak akan berhenti sebelum Allah memenangkan agama-Nya
atau aku binasa karenanya.” Mendengar perkataan Rasulullah ini Abu Thalib
berkata, “Kemenakanku, pergilah dan katakan apa saja yang kamu sukai.
Demi Allah, kamu tidak akan kuserahkan kepada siapapun juga, selamanya.”
Kaum musyrikin Quraisy tidak berhenti di
sini. Mereka datang lagi kepada Abu Thalib untuk mencegah dakwah
Rasululullah. Mereka datang membawa seorang pemuda yang bernama Amarah
bin al-Walid bin al-Mugirah. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, pemuda
ini adalah pemuda yang paling tampan di antara pemuda-pemuda Quraisy.
Ambillah pemuda ini, dan jadikanlah sebagai anak Anda. Namun serahkan
kepada kami kemenakan Anda yang menentang agama Anda dan agama nenek moyang
Anda, meninggalkan kelompok masyarakat Anda, dan menjelek-jelekkan kepercayaan
mereka, untuk kami bunuh. Sungguh sama, seorang laki-laki ditukar dengan
seorang laki-laki.” Mendengar perkataan ini Abu Thalib menolak permintaan
mereka dan mengatakan tawaran itu sebagai tawaran yang buruk. Bagaimana ia
mengambil seorang pemuda untuk ia beri makan dan sebagai gantinya ia memberikan
anaknya sendiri untuk mereka bunuh.
Setelah gagal dengan berbagai cara untuk
menghalangi dakwah Rasulullah, kaum Quraisy pun sampai pada pemikiran untuk
membunuh Nabi saw. Salah seorang yang melakukan hal ini adalah Utaibah
bin Abu Lahab, yang datang kepada beliau, kemudian menyakiti beliau, dan
meludahi wajah beliau, namun ludahnya tak sampai pada wajah beliau.
Ketika itu, Nabi saw mendoakan keburukan untuknya, beliau berkata, “Ya Allah,
kuasakanlah salah seorang singa-Mu kepadanya.” Doa tersebut dikabulkan
Allah. Suatu hari ketika Utaibah melakukan perjalanan dengan
teman-temannya dan sampai di wilayah Syam, di tengah malam mereka dikepung oleh
seekor singa. Singa itu menerkam Utaibah di hadapan teman-temannya.
Ada lagi orang yang menyiksa Rasulullah, ia
adalah Uqbah bin Abi Mu’ith. Ia menginjak leher beliau ketika beliau sedang
bersujud, sehingga kedua matanya hampir keluar.
Usaha lain untuk membunuh Nabi dilakukan Abu
Jahal. Suatu hari ia mengambil batu, kemudian duduk menanti Rasulullah
saw. Rasulullah datang sebagaimana biasanya lalu melakukan
shalat. Ketika beliau sedang sujud, Abu Jahal mengangkat batu
itu, kemudiian menuju ke arah beliau. Namun ketika ia telah sampai ke
dekat Rasulullah saw, ia berbalik ketakutan dan kedua tangannya tak sanggup
lagi menahan batu itu sehingga ia melemparkannya. Ketika ditanya oleh
kaumnya yang saat itu menyaksikan, apa yang terjadi dengan dirinya, Abu Jahal
menjawab bahwa ia telah melihat di dekat Rasulullah seekor onta jantan.
Ia sama sekali belum pernah melihat onta jantan seperti itu, baik kepala,
pangkal leher maupun taringnya. Onta itu hampir menerkamnya.
Setelah itu dalam sebuah riwayat Rasulullah mengatakan bahwa yang dilihat oleh
Abu Jahal itu adalah malaikat Jibril as. Seandainya Abu Jahal mendekatinya,
Jibril pasti akan menerkamnya.
Dalam suasana gelap yang diliputi oleh berbagai
kezhaliman, cahaya petir menerangi jalan orang-orang muslim yang
tertindas. Yakni Hamzah bin Abdul Muththalib memeluk Islam, pada akhir
tahun kenabian. Suatu hari, Abu Jahal melewati Rasulullah saw di bukit
Shafa, kemudian memaki-maki dan menghina beliau, dan akhirnya memukul kepala
beliau dengan batu sampai bercucuran darah. Seseorang kemudian melaporkan
hal ini kepada Hamzah ketika Hamzah baru pulang dari berburu dan masih memegang
busur panahnya. Mendengar kabar ini Hamzah langsung mendatangi Abu Jahal,
dan berkata kepadanya, “Kamu berani memaki-maki kemenakanku? Ketahuilah,
aku telah memeluk agamanya.” Kemudian Hamzah memukulnya dengan busur
dengan pukulan yang kuat. Abu Jahal tak melawannya, mungkin karena sadar
dengan perbuatannya atau karena tidak berani menghadapi Hamzah.
Begitulah, awalnya Hamzah memeluk Islam karena tak sudi kemenakannya
dihina dan disiksa orang, namun Allah kemudian membukakan dadanya sehingga ia
menjadi orang yang berpegang teguh pada Islam dan menjadi pahlawan Islam di
perang-perang yang dilalui kaum muslimin kelak.
Cahaya petir lain muncul lebih terang daripada
cahaya petir yang pertama, di tengah suasana gelap kezhaliman yang meliputi
kaum muslimin, adalah masuk Islamnya Umar Ibnul Khaththab, pada tahun keenam
kenabian. Ia adalah orang yang berwatak keras, dan banyak mengganggu kaum
muslimin dalam menjalankan agamanya. Namun di sisi lain ia juga berada
dalam keraguan, dan sering berfikir bahwa bukan tidak mungkin Islam adalah
agama yang benar. Suatu hari ia keluar dari rumahnya sambil menyandang pedang
dengan tujuan membunuh Nabi saw. Di tengah jalan ia bertemu seseorang
yang mengatakan bahwa kenapa ia akan melakukan hal itu, tidakkah ia (Umar) tahu
bahwa adiknya sendiri dan suaminya telah masuk Islam. Mendengar perkataan
ini Umar langsung berbalik arah dan mendatangi adiknya, Fatimah, di
rumahnya. Ternyata di rumahnya Fatimah dan suaminya sedang membaca
Al-Quran surat Taha dari lembaran-lembaran Quran (shahifah). Umar yang
telah mendengarnya dari luar masuk ke rumah dan bertanya apa yang sedang mereka
lakukan. Karena tahu karakter Umar mereka tidak mengaku telah membaca
Al-Quran. Adik iparnya berkata kepadanya bagaimana seandainya kebenaran tidak
berada pada agama yang dipeluk Umar. Mendengar perkataan ini Umar
menendang suami Fatimah dengan kencang, dank ketika Fatimah hendak menolong
suaminya Umar pun menampar adiknya itu sampai berdarah.
Fatimah yang kesakitan akhirnya berkata, “Umar, jika
kebenaran berada di luar agamamu, saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah kecuali
Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Mendengar
ini dan setelah reda dari marahnya serta merasa malu telah menampar adiknya
sendiri, ia kemudian meminta Fatimah untuk memberikan lembaran yang selama ini
disembunyikannya. Adiknya kemudian memintanya untuk mandi karena lembaran
itu tak dapat disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci. Setelah mandi
Umar membaca lembaran tersebut. “Bismillahirrahmanirrahim.” Umar
berkata, “nama-nama yang baik dan suci”. Ia melanjutkan, “Taha. Maa
anzalnaa ‘alaikal qurana litasqaa.. sampai pada ayat “Innanii laa ilaaha illa
ana fa’budnii wa aqimish shalaati lidzikrii” (Taha. Tidaklah Kami
turunkan Al-Quran ini kepadamu untuk membuatmu susah..... Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku)” Umar tergetar membaca ayat-ayat
ini, dan berkata, “Alangkah bagusnya kata-kata ini , dan alangkah mulianya.
Antarkan aku kepada Muhammad.”
Umar pun diantar ke tempat di mana Rasulullah
sedang berada, dan masuk Islam. Memang sebelum kejadian ini Rasulullah
pernah berdoa kepada Allah sebagai berikut, “Ya Allah muliakanlah Islam dengan
salah seorang yang paling Engkau cintai di antara dua orang: Umar bin Khaththab
atau Abu Jahal.” Ternyata doa Rasulullah saw tersebut jatuh kepada Umar
bin Khattab.
TAHUN DUKA CITA (9)
Setelah masuknya Hamzah dan Umar ke dalam
pangkuan Islam, awan kegelapan mulai tersingkap dan kaum musyrikin mulai sadar
dari sikap mereka yang selalu menimpakan siksaan terhadap kaum muslimin.
Mereka berusaha menawarkan kepada Nabi saw segala hal yang mungkin menjadi
tuntutan beliau, untuk menghentikan dakwahnya.
Suatu hari Utbah bin Rabi’ah, seorang tokoh
cendekiawan Quraisy, menemui Nabi Muhammad saw. Ia kemudian berkata kepada
Rasulullah saw, “Wahai putra saudaraku, jika dengan dakwah yang Anda lakukan
itu Anda ingin mendapatkan harta kekayaan, maka kami akan mengumpulkan harta kekayaan
yang ada pada kami untuk Anda, sehingga Anda menjadi orang yang terkaya di
kalangan kami. Jika Anda menginginkan kehormatan dan kemuliaan, Anda akan
kami angkat sebagai pemimpin, dan kami tidak akan memutuskan persoalan tanpa
persetujuan anda sebagai raja kami. Jika Anda tidak sanggup menangkal jin
yang merasuk ke dalam diri Anda, kami bersedia mencari tabib yang sanggup
menyembuhkan Anda dan untuk itu kami tidak akan menghitung-hitung berapa biaya
yang diperlukan sampai Anda sembuh.” Mendengar penawaran Utbah itu Nabi
membacakan ayat-ayat Al-Quran tentang hakikat dakwah yang dibawakan oleh Nabi
hingga beliau sampai pada ayat sajadah dan beliau pun bersujud. Utbah
kembali pada kaumnya dan memberitakan percakapan antara dirinya dengan Rasululullah.
Ia menyatakan bahwa apa yang ia dengar dari Muhammad saw bukanlah syair, sihir,
ataupun mantera dukun, melainkan sebuah berita yang menggemparkan. Maka
ia menyarankan agar kaum Quraisy membiarkan Muhammad mendakwahkan
ajarannya. Mendengar penuturan Utbah ini kaum Quraisy menjawab, “Demi
Allah, Muhammad telah mensihirmu, wahai Abul Walid, dengan perkataanya.”
Sementara itu Abu Thalib, paman Nabi, sering
merenung tentang apa yang dialami oleh keponakannya, ancaman-ancaman dari kaum
Quraisy yang mengintainya, seperti usaha Abu Jahal untuk membunuhnya, Uqbah bin
Abi Mu’ith yang mencekik kemenakannya, dan Umar bin Khaththab yang keluar dari
rumahnya dengan menyandang pedang untuk membunuhnya. Semua itu ia
renungkan dan ia mencium rencana jahat dari kaum Quraisy terhadap keponakannya
itu. Maka ia kemudian mengumpulkan keluarganya dari Bani Hasyim dan Bani
Abdul Muththalib, anak-anak Abdu Manaf, dan mengajak mereka untuk melindungi
dan membela kemenakannya itu. Mereka menyambut seruan Abu Thalib tersebut,
baik yang muslim maupun yang kafir, karena fanatisme kesukuan mereka, kecuali
Abu Lahab. Ia memisahkan diri dari mereka, dan bergabung dengan
orang-orang Quraisy.
Setelah mengetahui adanya perjanjian di antara
Bani Muththalib dan Bani Hasyim untuk melindungi dan membela Muhammad saw, kaum
Quraisy kebingungan. Sebab mereka tahu apabila mereka membunuh Muhammad,
maka lembah Mekkah akan mengalirkan darah mereka. Bahkan, boleh jadi akan
menyebabkan lenyapnya mereka. Mereka menyadari akan hal itu, maka mereka beralih
kepada kezhaliman yang lain, bukan membunuh, melainkan lebih pedih dari apa
yang mereka lakukan sebelumnya. Mereka berkumpul di daerah Bani Kinanah,
untuk melakukan persekongkolan terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
Mereka bersekongkol untuk tidak menikah dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib,
tidak melakukan jual beli dengan mereka, tidak masuk ke dalam rumah mereka, dan
tidak berbicara dengan mereka, sehingga mereka menyerahkan Muhammad saw kepada
kaum musyrikin untuk dibunuh. Kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah
naskah perjanjian, dan digantungkan di dalam Ka’bah. Maka, Bani Hasyim
dan Bani Muththalib, baik yang mukmin maupun yang kafir, bergabung menjadi
satu, kecuali Abu Lahab. Mereka dikucilkan di perkampungan Abu Thalib,
pada malam pertama bulan Muharram tahun ketujuh dari kenabian.
Pengepungan makin ketat, dan bahan-bahan makanan
diblokade oleh kaum musyrikin. Kaum musyrikin tidak membiarkan bahan
makanan yang masuk ke Mekkah. Setiap kali ada makanan yang masuk ke
Mekkah, mereka segera menyerbu dan membelinya, sehingga Bani Muththalib dan
Bani Hasyim mengalami kesulitan hidup. Mereka terpaksa makan dedaunan dan
kulit binatang, dan dari balik lembah pemukiman tersebut terdengar tangis
bayi-bayi mereka karena kelaparan. Mereka tidak bisa keluar dari
pemukiman untuk membeli kebutuhan-kebutuhan mereka, kecuali pada bulan-bulan
haram (suci), karena mereka dapat membeli makan dari kafilah yang datang ke
Mekkah dari luar daerah, tapi penduduk Mekkah menghasut mereka untuk menaikkan harga
barang-barang dagangan mereka sehingga kaum Muslimin tidak dapat membelinya.
Pemboikotan ini berlangsung selama tiga
tahun. Pada bulan Muharram, tahun kesepuluh kenabian terjadilah
pembatalan perjanjian tersebut, sebab orang-orang Quraisy bimbang terhadap
perjanjian tersebut, antara rela dan benci. Maka orang-orang yang
membenci perjanjian tersebut berusaha untuk membatalkan perjanjian
tersebut. Allah Swt menurunkan pertolongannya. Yaitu dengan mengirim
rayap untuk memakan seluruh isi perjanjian yang digantungkan di dalam Ka’bah
itu, kecuali tulisan “Bismikallahumma” (Dengan menyebut Asma-Mu ya
Allah). Maka pembatalan perjanjian telah berhasil dilakukan, dan
Rasulullah beserta para sahabatnya keluar dari lembah pemukiman. Kaum
musyrikin sebenarnya telah melihat salah satu tanda kenabian beliau, namun
mereka seperti yang dikabarkan oleh Allah: “Wa iy yarau aayatay yu’ridhuu
wayaquuluu sihrum mustamir” (Dan, jika mereka [orang-orang musyrikin] melihat
suatu tanda [mu’jizat] mereka berpaling dan berkata, ‘Ini adalah sihir yang
terus menerus.’) (Al-Qamar:2)
Setelah peristiwa pemboikotan itu, Abu Thalib
yang usianya telah melewati 80 tahun sakit dan makin bertambah sakitnya, akibat
berbagai peristiwa berat yang ia alami terutama pemboikotan yang telah melemahkan
tulang-tulangnya. Tak lama kemudian ia pun meninggal dunia, pada bulan
Rajab tahun kesepuluh kenabian, enam bulan setelah keluar dari lembah pemukiman
tempat pemboikotan. Sebelum wafatnya, Nabi saw mendatangi beliau dan
berkata, “Paman, katakanlah laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang dapat saya
jadikan hujjah untuk membela Anda di sisi Allah.” Namun Abu Jahal dan
Abdullah bin Abi Umayyah yang saat itu sedang ada di dekatnya pula berkata,
“Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?” Keduanya
terus berbicara kepada Abu Thalib sehingga pada akhirnya Abu Thalib mengucapkan
bahwa dia berada di atas agama Abdul Muththalib. Kemudian Rasulullah saw
berkata, “Aku akan memohonkan ampunan untuk Anda selama tidak dilarang.” Namun
turunlah ayat Al-Quran, “Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musryik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”. Demikianlah Abu
Thalib yang selama hidupnya merupakan pelindung Nabi meninggal dalam keadaan
tetap berada di atas agama nenek moyangnya. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa Abbas bin Abdul Muththalib paman Nabi yang lain bertanya
kepada Nabi, “Pertolongan apa yang dapat kamu berikan kepada pamanmu Abu Thalib
yang telah melindungimu dan marah karena kamu?” Beliau menjawab, “Di berada di
neraka yang paling atas. Seandainya bukan karena aku, dia berada di
neraka paling bawah.”
Setelah Abu Thalib wafat, dua atau tiga bula
kemudian Ummul mu’minin Khadijah ra wafat pula, pada bulan Ramadhan tahun
kesepuluh kenabian. Saat itu ia berumur enam puluh lima tahun, sedang
Rasulullah berusia lima puluh tahun. Khadijah adalah nikmat yang Allah
karuniakan kepada Rasulullah saw. Selama seperempat abad, ia hidup
mendampingi Rasulullah saw, menghiburnya ketika beliau sedang gelisah,
mendukungnya pada sat beliau mengalami kehidupan yang sulit, membantunya dalam
menyampaikan risalah, turut serta dalam memikul beban perjuanganyang pahit, dan
membantunya dengan jiwa dan hartanya. Rasulullah bersbda, “Dia beriman
kepadaku ketika orang-orang mengingkari aku, membenarkan aku ketika orang-orang
mendustakan aku, membantuku dengan hartanya ketika orng-orang tidak membantu,
Allah mengaruniai aku anak-anaknya, dan tidak mengaruniai anak selain darinya.”
Sepeninggal Abu Thalib dan Khadijah kaum Quraisy
bertambah leluasa melancarkan penyiksaan kepada beliau, sampai orang awam
Quraisy berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah saw. Pernah
Rasulullah pulang ke rumahnya dalam keadaan berlumuran darah. Ia berkata
kepada putrinya yang menangis melihat keadaan beliau, “Janganlah engkau
menangis
wahai
anakku, sesungguhnya Allah akan menolong bapakmu.” Beliau juga berkata,
“Orang-orang Quraisy tidak dapat menimpakan sesuatu yang tidak saya sukai
sehingga Abu Thalib meninggal.”
Demikian kesedihan yang dialami Rasulullah saw
mulai dari pemboikotan sampai meninggalnya dua orang yang ia cintai, pamannya
Abu Thalib dan istrinya Khadijah. Beliau menamakan tahun ini sebagai
“Tahun Duka Cita”, karena begitu hebatnya penderitaan di jalan dakwah pada
tahun ini.
DAKWAH KEPADA KABILAH-KABILAH ARAB (10)
Pada bulan Syawwal di tahun kesepuluh kenabian,
setelah meninggalnya Khadijah, Rasulullah saw menikahi Saudah bin Zam’ah.
Saudah termasuk orang yang telah lama memeluk Islam, dan ikut berhijrah ke
Habasyah dalam rombongan yang kedua. Saudah adalah janda dari Sukran bin
Amru, yang juga berhijrah bersama Saudah namun meninggal di Habasyah.
Setelah itu, Rasulullah meminangnya dan menikahinya.
Pada bulan yang sama Rasululullah saw keluar
menuju Tha’if. Jarak antara Tha’if dan Mekkah sekitar enam puluh
mil. Perjalanan tersebut beliau tempuh dengan berjalan kaki,
pulang-pergi. Beliau ditemani oleh Zaid bin Haritsah, budak beliau yang
kemudian beliau angkat sebagai anak. Setiap melewati suatu kabilah di
jalan, beliau serukan Islam kepada mereka, namun tidak ada seorang pun yang
menyambutnya. Rasulullah berada di Tha’if selama sepuluh hari.
Selama itu, beliau mendatangi dan mengajak seluruh pemuka mereka. Namun
mereka mengatakan, “Keluarlah kamu dari daerah kami!” Kemudian, mereka
mengerahkan orang-orang bodoh mereka. Ketika hendak keluar, beliau
diikuti oleh orang-orang bodoh itu dan budak-budak mereka yang berteriak-teriak
mencaci-maki beliau. Mereka berbaris sambil melempari beliau dengan batu
sehingga kedua sandalnya terwarnai dengan darah. Zaid bin Haritsah
berusaha keras melindungi beliau dengan dirinya walaupun ia sendiri terluka
pada kepalanya. Dalam penuturannya kepada ‘Aisyah, Rasulullah bercerita
tentang apa yang beliau alami di Thai’fi: “Dalam perjalanan pulang ke Mekkah
dari Tha’if, aku mengangkat kepalaku dan terlihat awan yang menaungiku.
Ternyata di atas Jibril memanggilku, dan berkata, ‘Allah telah mengutus seorang
malaikat pengurus gunung kepadamu untuk kamu perintahkan sesuai dengan kehendakmu
terhadap mereka (penduduk Tha’if). Malaikat pengurus gunung itupun
memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku, lalu berkata, ‘Muhammad, begitulah,
terserah kamu. Jika kamu mau, akan aku tutupkan kepada mereka dua gunung
Mekkah (yaitu gunung Abu Qubais dan gunung Qa’iqa’an yang saling
berhadapan).” Namun Rasulullah berkata, “Janganlah kau lakukan, tetapi
saya berharap semoga Allah ‘Azza wa Jalla melahirkan dari keturunan mereka
orang-orang yang hanya beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun.”
Demikian jawaban Rasulullah terhadap tawaran
malaikat pengurus gunung itu, yang darinya tampak jelas kepribadian beliau yang
sangat istimewa dan akhlak beliau yang mulia. Beliau tidak mendendam
kepada orang-orang yang telah melukainya melainkan mendoakan kebaikan untuk
mereka.
Pada bulan Dzul Qa’adah tahun kesepuluh kenabian,
Rasulullah saw kembali ke Mekkah, untuk memulai menawarkan Islam kepada
kabilah-kabilah dan pribadi-pribadi, sehubungan dengan hampir tibanya musim
haji. Pada musim haji itu, orang-orang berdatangan ke Mekkah dari
berbagai penjuru dengan berjalan kaki dan mengendarai onta. Maka
Rasulullah saw pun memanfaatkan kesempatan tersebut. Beliau mendatangi
setiap kabilah, untuk menawarkan Islam dan berdakwah kepada mereka. Ada
sekitar 15 (lima belas) kabilah yang didatangi Rasulullah pada waktu itu.
Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang menyambut seruan beliau
tersebut.
Di samping kepada kabilah-kabilah, Rasulullah saw
juga menawarkan Islam kepada pribadi-pribadi. Di antara orang-orang yang
beliau ajak tersebut, ada yang menyambutnya dengan baik, dan beberapa orang
lelaki beriman kepadanya, tidak lama setelah musim haji berakhir. Di
antara mereka adalah:
1.
Suwaid bin Shamit, seorang penyair dari Yatsrib (Madinah). Ia
datang ke Mekkah dalam rangka melakukan haji dan umrah, kemudian diserukan
Islam kepadanya oleh Rasulullah saw. Ketika beliau membacakan Al-Quran
dan menyerukan Islam kepadanya, ia berkata, “Sesungguhnya ini adalah perkataan yang
bagus.” Ia masuk Islam pada awal tahun kesebelas kenabian.
2.
Iyyas bin Mu’adz, seorang pemuda dari Yatsrib. Awalnya ia datang
ke Mekkah bersama rombongan kabilah Aus, dalam rangka mencari sekutu di antara
orang-orang Quraisy untuk menghadapi kabilah Khazraj yang memang telah
bermusuhan dalam waktu yang lama dengan kabilah Aus. Setelah ia dan
rombongannya pulang ke Yatsrib, Iyyas meninggal. Namun sebelum
kematiannya, ia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid. Kaumnya tidak
meragukan bahwa Iyyas mati dalam keadaan muslim.
3.
Abu Dzar al-Ghifari, salah seorang penduduk Yatsrib. Ia datang
sendirian ke Mekkah khusus unuk menemui Rasulullah saw yang telah ia dengar
mengaku sebagai seorang nabi. Setelah menemui Rasulullah dan mendapat
penerangan tentang Islam dari beliau ia pun masuk Islam. Setelah itu,
walau diperintah Nabi untuk menyembunyikan keislamannya, Abu Dzar datang ke
tempat berkumpulnya orang-orang Quraisy dan menyatakan keislamannya.
Kontan saja ia dihajar oleh mereka dan hampir saja dibunuh, kalau tidak
ditolong oleh Abbas, yang mengatakan bahwa Abu Dzar adalah seseorang yang
berasal dari Ghifar, tempat lalu lintas perdagangan suku Quraisy. Kalau
sampai Abu Dzar mati di tangan suku Quraisy, pasti mereka akan kesulitan
melintasi Ghifar. Akhirnya mereka pun melepaskan Abu Dzar.
4.
Tufail bin Amru ad-Dausi, seorang terhormat, pimpinan kabilah
Daus. Setelah menemui Rasulullah ia pun menerima seruannya dan masuk
Islam. Tufail kemudian pulang ke kabilahnya dan mulai mendakwahkan Islam kepada
orang tua dan istrinya serta kaumnya kepada Islam, sehingga kelak ia
mengislamkan sekitar tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari kaumnya.
Kelak ia ikut berjuang mempertahankan Islam dan mati syahid dalam perang
Yamamah.
5.
Dhamad al-Azdi, seseorang dari Bani Azd Syanu’ah dari Yaman. Ia
adalah seorang yang suka merukyah (menyembuhkan orang gila). Ketika ia datang
ke Mekkah, ia mendengar dari orang-orang bodoh tentang Muhammad saw yang
katanya orang gila. Ia kemudian datang kepada Nabi Muhammad dengan maksud
menyembuhkannya (dalam fikirannya). Namun ketika ia menemui beliau dan
mendengar kata-kata beliau tentang Islam, ia justru menjadi tertarik dan
berkata, “Aku telah mendengar perkataan dukun, perkataan tukang sihir, dan perkataan
penyair. Namun aku belum pernah mendengar perkataan seperti perkataanmu
ini. Perkataan itu telah mencapai lautan. Ulurkan tanganmu, aku
akan membai’atmu atas Islam. “ Dhamad pun kemudian membai’at
beliau.
Pada musim haji tahun kesebelas dari kenabian
(Juli 620 M), dakwah Islam menemukan bibit-bibit yang baik. Tidak lama
kemudian, bibit-bibit tersebut berubah menjadi pohon yang tinggi, dijadikan
sebagai tempat bernaung oleh kaum Muslimin dari berbagai kezhaliman, selama
bertahun-tahun.
Pada suatu malam, dalam perjalanannya bersama Abu
Bakar dan Ali untuk mendakwahkan Islam secra diam-diam kepada kabilah-kabilah,
Rasulullah saw bertemu dengan enam orang pemuda yang berasal dari Yatsrib, dari
kabilah Khazraj. Atas persetujuan mereka, Nabi pun kemudian mulai
menjelaskan hakikat Islam kepada mereka berikut dakwahnya, mengajak mereka
kepada Allah Azza Wa Jalla, dan membacakan Al-Quran kepada mereka.
Para pemuda itu adalah cendekiawan Yatsrib.
Mereka telah mengalami perang saudara yang belum lama berlalu, yaitu peperangan
antara kaum Khazraj dan kaum Aus, suatu peperangan yang apinya terus
berkobar. Mereka berharap semoga dakwah Rasulullah saw ini menjadi
penyebab bagi terhentinya peperangan tersebut. Mereka berkata,
“Sesungguhnya kami adalah kaum yang masih memiliki rasa permusuhan satu sama
lain. Mudah-mudahan Allah menyatukan kami melalui Anda. Kami akan
mendatangi kaum kami dengan membawa apa yang telah kami terima dari Anda.
Apabila Allah menyatukan mereka melalui Anda, maka tidak ada orang yang lebih
mulia daripada Anda.” Para pemuda itupun menyatakan keislamannya kepada
Rasulullah, dan setelah pulang ke Madinah, mereka mendakwahkan Islam kepada
kaum mereka, sehingga di antara rumah-rumah kaum mereka (yang kemudian disebut
kaum Anshar) tidak ada satu rumah pun yang tidak menyebutkan Rasulullah.
----
ISRA MI’RAJ DAN PERJANJIAN AQABAH PERTAMA (11)
Ketika Nabi saw berada dalam suatu fase yang
ketika itu dakwah beliau berada di antara keberhasilan dan penyiksaan, dan
beliau hanya melihat bintang kecil yang bersinar di langit yang tinggi,
terjadilah peristiwa Isra dan Mi’raj, pada sekitar tahun ketiga belas
kenabian. Isra adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram di Mekkah ke
Masjidil Aqsa di Palestina, sedangkan Mi’raj adalah naiknya Nabi Muhammad dari
Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. Dalam perjalanan ini Nabi saw menaiki
kendaraan bernama Buraq dan ditemani oleh Malaikat Jibril. Allah memperjalankan
hambanya ini untuk mmperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
kebesaran-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Isra ayat 1:
“Subhaanalladzii asraa bi’abdihii lailam minal masjidil haraami ilal masjidil
aqshalladzii baaraknaa haulahuu linuriyahuu min aayaatinaa. Innahuu huwas
samii’ul bashiir.” (Maha Suci Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang di sekitarnya teleh diberkahi, agar Ia
memperlihatkan padanya sebagian tanda-tanda kekuasan-Nya. Sesungguhnya Ia
Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Dalam perjalanan Mi’raj Nabi menaiki 7 (tujuh)
lapis langit, dan bertemu dengan para nabi di masing-masing lapisan tersebut,
yaitu nabi-nabi sbb: Nabi Adam as, Nabi Yahya as dan Nabi Isa as, Nabi Yusuf
as, Nabi Idris as, Nabi Harun as, Nabi Musa as, dan Nabi Ibrahim as. Setelah
itu Nabi naik ke Sidratul Muntaha dan menerima perintah shalat dari Allah
Swt. Awalnya beliau diperintahkan untuk shalat 50 kali sehari, namun
kemudian setelah kembali dan melewati Nabi Musa, Nabi Musa menyarankan agar
Nabi Muhammad saw minta keringanan. Beliau kembali kepada Allah dan
meminta keringanan, sehingga Allah swt mengurangi kewajiban shalat menjadi 40
kali. Demikian seterusnya Nabi bolak-balik antara Musa dan Allah Swt sampai
Allah memerintahkan shalat hanya 5 kali sehari, yang setelah itu Nabi Muhammad
merasa malu untuk meminta lagi keringanan.
Dalam peristiwa ini Nabi Muhammad saw juga
menyaksikan surga dan neraka. Di neraka beliau melihat siksaan yang
ditimpakan kepada para pemakan anak yatim, pemakan riba, pezina, dan wanita
yang menasabkan anak-anak mereka kepada para lelaki yang bukan bapak dari
anak-anak itu. Keesokan harinya beliau mengabarkan hal ini kepada
kaumnya, maka semakin bertambahlah pendustaan dan permusuhan kepada
beliau. Ketika beliau diminta memberikan bukti-bukti tentang kebenaran
peristiwa yang beliau alami ini, maka beliau menceritakan tentang keadaan
Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha), juga tentang kafilah Quraisy yang beliau lihat
dalam perjalanan berangkat dan pulang. Walaupun hal-hal tersebut benar
adanya, kaumnya tetap mengingkarinya dan makin menentangnya. Hanya Abu
Bakar ra saja yang membenarkan cerita beliau ini, dan karenanya Abu Bakar
digelari ash-shiddiq karena membenarkan peristiwa itu ketika manusia
mendustakannya.
Hikmah peristiwa Isra Mi’raj adalah agar Nabi
Muhammad saw merasa yakin dengan risalah yang diamanatkan oleh Allah swt kepada
beliau, sebab melihat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt dengan mata kepala
sendiri tentu tidak sama dengan hanya mendengar berita saja. Sehingga,
Nabi memiliki kesabaran yang tidak dimiliki oleh orang lain, dalam meniti jalan
Allah; dan seluruh kekuatan dunia di hadapannya tidak lebih dari sayap seekor
nyamuk. Mereka tidak peduli ketika kekuatan dunia tersebut menghadapapi
mereka dengan berbagai ujian dan penyiksaan.
Dalam episode sebelumnya diceritakan tentang enam
orang penduduk Yatsrib yang telah memeluk Islam pada musim haji tahun kesebelas
kenabian, dan mereka berjanji kepada Rasulullah saw untuk menyebarkan risalah
beliau di tengah-tengah kaum mereka.
Sebagai hasilnya, pada musim haji tahun kedua
belas kenabian (Juli 621 M) dua belas orang datang menemui Rasulullah
saw. Di antara dua belas orang itu terdapat lima dari enam orang yang
pernah menemui Rasulullah saw pada tahun sebelumnya. Satu orang yang
tidak ikut hadir dari enam orang itu adalah Jabir bin Abdillah bin Ri’ab.
Tujuh orang lainnya dari kedua belas orang itu adalah: Mu’adz bin al-Harits,
Dzakwan bin Abdul Qais, Ubadah bin Shamit, Yadsid bin Tsa’labah, Al Abbas bin
Ubadah, Abul Haitsam bin at-Tihan, dan Uwaim bin Sa’idah. Dua belas orang
yang itu menemui Rasulullah saw di Aqabah, Mina. Imam Bukhari
meriwayatkan dari jalur Ubadah bin Tsamit bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Kemarilah! Berbaiatlah kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan
apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak akan
berdusta untuk menutup-nutupi apa yang ada di depan atau di belakangmu, dan
tidak akan membantah perintahku dalam hal kebaikan. Jika kamu memenuhi
janji, pahalanya terserah kepada Allah. Jika kamu melanggar sesuatu dari
janji itu, lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu merupakan kafarat
baginya. Jika kamu melanggar sesuatu dari janji itu, kemudian Allah
menghendaki, Allah akan menyiksanya, atau memberi ampunan menurut
kehendak-Nya.” Kemudian mereka pun berbaiat kepada beliau.
Peristiwa ini dikenal sebagai Perjanjian Aqabah pertama.
Setelah dilaksanakannya baiat tersebut dan musim
haji berakhir, Nabi saw mengutus duta pertama ke Madinah, yang diikutsertakan
bersama orang-orang yang telah berbaiat tersebut. Tujuannya untuk
mengajarkan hukum-hukum Islam dan pemahaman tentang agama kepada kaum Muslimin
yang ada di ssana, dan menyebarkan Islam di tengah-tengah orang-orang yang
masih menganut kemusyrikan. Untuk tugas ini, beliau memilih salah seorang
pemuda Islam dari as-Sabiqunal Awwalun, yaitu Mush’ab bin Umair al-Abdari ra.
Mush’ab bin Umair tinggal di rumah As’ad bin
Zararah. Keduanya kemudian menyebarkan Islam di tengah-tengah penduduk
Yatsrib, dengan penuh semangat. Dengan kegiatan penyebarannya ini tidak
ada satu perkampungan pun di antara perkampungan-perkampungan kaum Anshar
kecuali di dalamnya terdapat lelaki dan wanita muslim, kecuail di perkampungan
Bani Umayyah bin Zaid, Khuthamah dan Wail, sebab di tengah-tengah mereka
terdapat ahli syair yang bernama Qais bin al-Aslat yang ditaati oleh penduduk
sekitarnya, yang telah mencegah mereka untuk memeluk Islam hingga terjadi
peperangan Khandaq, yaitu tahun kelima Hijrah.
Menjelang datangnya musim haji berikutnya, yaitu
musim haji tahun ketiga belas kenabian, Mush’ab bin Umair kembali ke Mekkah
membawa berita gembir kepada Rasulullah saw. Ia menceritakan kepada
belaiu perihal kabilah-kabilah Yatsrib berikut kebaikan dan kekuatan mereka.
BAIAT AQABAH KEDUA DAN PERSIAPAN HIJRAH (12)
Pada musim haji tahun ketiga belas kenabian (Juni
622H) tujuh puluh lebih kaum muslimin dari penduduk Yatsrib datang untuk
menunaikan manasik haji. Mereka datang bersama rombongan haji kaum mereka
dari kaum musyrikin. Kaum muslimin saling bertanya di antara sesama
mereka di perjalanan, “Sampai kapan kita membiarkan Rasulullah saw dihardik dan
diancam ketika beliau berkeliling berdakwah di bukit-bukit Mekkah?”
Setelah sampai di Mekkah, terjadilah kontak rahasia antara mereka dan Nabi saw
sehingga terjadilah kesepakatan antara kedua pihak untuk berkumpul di lembah
yang berada di pinggir Aqabah, dan pertemuan itu dilakukan secara rahasia, di
tengah-tengah kegelapan malam.
Setelah semuanya hadir, dimulailah pembicaraan
untuk menetapkan perjanjian keagamaan dan militer. Perihal isi bai’at
tersebut telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir secara rinci.
Jabir berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang perlu kami nyatakan kepada Anda
dalam pembicaraan ini?” Beliau menjawab:
1.
Berjanji untuk taat dan setia kepadaku baik dalam keadaan sibuk maupun
senggang.
2.
Berjanji untuk tetap berinfaq baik dalam keadaan lapang maupun dalam
keadaan sempit.
3.
Berjanji untuk tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
4.
Berjanji untuk tetap teguh membela kebenaran kepada Allah, tanpa rasa
takut dicela oleh orang yang mencela.
5.
Berjanji untuk tetap membantuku dan membelaku apabila aku telah berada
di tengah-tengah kalian, sebagaimana kalian membela diri kalian sendiri dan
anak istri kalian. Dengan demikian, kalian akan memperoleh surga.
Kaum muslimin menyepakati isi baiat tersebut,
Al-abbas bin Ubadah salah seorang yang hadir berkata, “Tahukah kalian, untuk
apa kalian berbaiat kepada orang ini?” Mereka menjawab, “Ya, kami mengetahui.”
Dia berkata, “Kalian berbai’at kepada beliau untuk memerangi orang-orang
berkulit merah dan hitam. Apabila suatu saat nanti harta kalian habis dan
pemimpin-pemimpin kalian terbunuh, lalu kalian menyerahkan beliau kepada
musuh-musuhnya, maka sejak sekarang tinggalkan saja dia. Demi Allah, jika
kalian melakukan hal itu, sesungguhnya hal itu adalah sehina-hina dunia dan
akhirat. Tetapi, apabila kalian bersungguh-sungguh untuk setia kepadanya
dan kepada agama yang diserukannya, meskipun harta kalian habis dan
pemimpin-pemimpin kalian terbunuh, ikutilah dia. Demi Allah, hal itu
adalah sebaik-baik dunia dan akhirat.” Mereka berkata, “Kami akan
mengikutinya meskipun harta kami habis dan pemimpin-pemimpin kami
terbunuh. Balasan apa yang akan kami peroleh, wahai Rasulullah,
jika kami melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Surga.”
Setelah menyetujui isi bai’at itu, dimulailah
pelaksanaan bai’at dengan berjabat tangan. Satu persatu di antara tujuh
puluh orang kaum muslimin itu berjabatan tangan dengan Rasulullah saw.
Ada dua orang wanita yang hadir dalam bai’at tersebut, yakni Nasibah binti Ka’b
dan Asm’a binti Amru. Rasulullah membai’at mereka hanya dengan perkataan
dan tidak bersalaman dengan mereka karena beliau tak pernah berjabat tangan
dengan wanita asing (bukan muhrimnya).
Itulah bai’at Aqabah kedua yang dikenal dengan
bai’at Aqabah kubra yang berhasil dilaksanakan dalam suasana yang penuh dengan
rasa cinta dan loyal di antara sesama kaum mukmin, serta kepercayaan dan
keberanian. Untuk meniti jalan tersebut seorang mukmin dari penduduk Yatsrib
berpihak kepada saudara-saudaranya yang lemah yang berada di Mekkah,
membelanya, marah terhadapa orang yang menzhaliminya, dan dalam kalbunya timbul
perasaan sayang kepada saudaranya yang ia cintai karena Allah.
Demikianlah bai’at Aqabah berhasil dilaksanakan,
dan Islam berhasil mendirikan suatu negara di tengah-tengah gurun sahara yang
dipenuhi oleh kekufuran dan kejahilan. Hal ini merupakan prestasi
terpenting yang diraih oleh Islam sejak awal dakwahnya. Setelah
perjanjian ini Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke
Yatsrib.
Hijrah bukan sekadar mengorbankan segala
kepentingan dan harta benda dan menyelematkan diri semata, tetapi juga
kesadaran bahwa di tengah jalan mungkin saja dirampok, bahkan mungkin pula akan
direnggut nyawanya. Hijrah juga berarti perjalanan ke masa depan yang
masih belum jelas, di samping kesulitan dan penderitaan yang akan dialami di
kemudian hari. Kaum muslimin yang pertama-tama melakukan hijrah di antaranya:
Abu Salamah (yang kemudian disusul oleh istri dan anaknya), Shuhaib, Umar bin
Khattab. Mereka dihalang-halangi oleh kaum musryikin Quraisy untuk keluar
dari Mekkah. Namun demikian, kaum muslimin tetap keluar meninggalkan
Mekkah secara silih berganti. Setelah dua tahun lebih dari bai’at Aqabah
Kubra, tidak ada kaum muslimin yang tersisa di Mekkah, kecuali Rasulullah saw,
Abu Bakar, Ali, dan oran
g-orang yang ditahan oleh kaum musyrikin
secara paksa.
Kaum musyrikin melihat para sahabat Nabi telah
keluar meniggalkan Mekkah membawa istri, anak dan harta ke Yatsrib.
Karena itu mereka sangat cemas, terbayang di hadapan mereka bahaya besar yang
mengancam eksistensi paganism dan perekonomian mereka. Di samping mengetahui
kesempurnaan kepemimpinan Nabi serta tekad dan pengorbanan yang dimiliki oleh
para sahabat beliau, kaum musyrikin juga mengetahui bahwa Madinah adalah tempat
strategis bagi perdagangan yang melewati pantai-pantai laut merah, dari Yaman
ke Syam. Tidaklah tersembunyi bahaya besar yang mengancam orang-orang
Quraisy bila dakwah Islam terpusat di Madinah dan penduduknya melakukan
perlawanan terhadap mereka.
Pada hari Kamis tanggal 26 hafar tahun keempat
belas kenabian, di pagi hari menjelang siang, kaum Quraisy mendakan sebuah
pertemuan, dan pertemuan tersebut merupakan pertemuan terpenting dalam sejarah
mereka. Pertemuan tersebut dihadiri oleh seluruh wakil dan
kabilah-kabilah Quraisy, untuk mempelajari rencana pasti yang secara tepat
dapat membinasakan pembawa panji dakwah Islam dan mematikan cahaya dakwah Islam
secara total. Setelah mereka mengajukan dan membahas berbagai pendapat,
maka salah satu pendapat akhirnya disepakati oleh mereka. Pendapat ini
adalah pendapat gembong penjahat Mekkah, yaitu Abu Jahal bin Hisyam. Ia
berkata, “Aku berpendapat hendaknya kalian mengambil seorang pemuda yang
berkedudukan terhormat, kuat dan perkasa dari setiap kabilah Quraisy.
Setiap pemuda itu kita beri sebilah pedang yang ampuh, kemudian secara
bersama-sama mendatangi Muhammad, lalu membunuhnya dengan serentak. Jika
pembunuhan itu berhasil, tanggung jawab atas kematiannya terbagi rata di antara
semua kabilah Quraisy, sehingga Bani Abdi Manaf tidak akan berani melancarkan
serangan pembalasan terhadap seluruh kaum mereka. Bagi mereka hanya ada
satu kemungkinan, yaitu menuntut diyat (denda).
Setelah keputusan untuk membunuh Muhammad saw
ditetapkan, malaikat Jibril turun kepada beliau membawa wahyu Allah Swt,
mengabarkan kepadanya persekongkolan orang-orang Quraisy, dan mengabarkan bahwa
Allah Swt telah mengizinkan beliau untuk keluar dari Mekkah serta menentukan
waktu keberangkatannya dengan mengatakan, “Pada malam ini, janganlah kamu tidur
di atas ranjang tempat kamu biasa tidur.”
Pada siang hari itu pula, para gembong penjahat
Quraisy sibuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan rencana yang telah
ditetapkan oleh Parlemen Mekkah pada pagi hari. Untuk melaksanakan
rencana tersebut, dipilihlah sebelas orang di antara gembong-gembong tersebut,
termasuk di dalamnya Abu Jahal bin Haisyam dan Abu Lahab. Waktu yang
telah ditetapkan untuk melaksanakan makar tersebut adalah tengah malam.
Maka mereka pun menunggu sampai jam nol. Tetapi Allah berkuasa terhadap
urusan-Nya, dapat berbuat sekehendak-Nya, dan Dia memberikan perlindungan
kepada hamba-Nya.
HIJRAH KE MADINAH (13)
Allah berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 30:
Wa idz yamkuru bikal ladziina kafaruu
liyutsbituuka au yaqtulluka au yukhrijuuka. Wayamkuruuna wayamkurullaah.
Wallahu khairul maakiriin.
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir
(Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu
atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah
menggaggalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.”
Malam itu, Nabi saw menyuruh Ali untuk tidur di
tempat tidurnya dan memakai selimut yang biasa ia pakai. Pada tengah
malam Rasulullah saw pergi keluar rumahnya dan melewati orang-orang Quraisy itu
yang sudah lama mengintai rumahnya. Beliau mengambil segenggam tanah dan
ditaburkan ke kepala mereka sambil membaca ayat:
Waja’alnaa min baini aidiihim saddaw wamin
khalfihim saddan faaghsyainaahum fahum laa yubshiruun.
“Dan kami adakan di hadapan mereka dinding dan di
belakang mereka dinding (pula), serta Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka
tidak dapat melihat.” (Yasin:9).
Maka, Allah pun menutup mata mereka sehingga
mereka tidak dapat melihat beliau. Kemudian beliau berjalan menuju rumah
Abu Bakar. Setelah itu, mereka keluar menuju goa Tsur, ke arah
Yaman. Sementara orang-orang kafir Quraisy gagal melaksanakan rencananya
ketika mereka membuka selimut di tempat tidur Nabi mereka mendapati Ali yang
sedang tidur dan bukannya Nabi saw yang tadinya hendak mereka bunuh.
Ada beberapa peristiwa menarik sehubungan dengan
hijrah beliau ke Madinah, di antaranya sebagai berikut:
1.
Dalam perjalanan, untuk menghindari kejaran orang-orang kafir Quraisy,
Nabi saw bersama Abu Bakar bersembunyi di sebuah gua di gunung Tsur, karenanya
dikenal sebagai gua Tsur. Gua tersebut sangat sempit. Ketika mereka
sudah berada di dalam gua orang-orang Quraisy mendekati gua itu, demikian dekat
sehingga seandainya mereka melihat ke bawah mereka pasti melihat Nabi dan Abu
Bakar di dalam gua itu. Abu Bakar sangat khawatir menghadapi situasi ini, namun
Nabi saw berkata, “Wahai Abu Bakar, jangan kamu kira kita hanya berdua, Allah
bersama kita.” Orang-orang Quraisy itu pun kembali, padahal jarak antara
mereka dengan Nabi dan Abu Bakar itu sangat dekat.
2.
Para pemimpin Quraisy kalap dengan kenyataan bahwa Rasulullah saw telah
lolos dari cengkeraman mereka. Maka mereka berusaha mencari berbagai cara
untuk mengejarnya, salah satunya adalah dengan mengumumkan bahwa barangsiapa
yang berhasil menangkap Nabi saw akan diberi hadiah berupa seratus ekor
unta. Salah seorang yang tertarik dengan hadiah ini adalah Suraqah bin
Malik, dan dia berusaha mengejar Nabi saw dengan berkuda. Namun ketika ia
sudah berada dekat di belakang Nabi dan Abu Bakar yang juga berkuda, kudanya
terantuk batu dan terpelanting. Ia membangunkan kudanya dan berusaha
mengejar lagi mereka namun sekali lagi kudanya terperosok ke tanah dan
terpelanting. Akhirnya ia pun mengurungkan niatnya, dan berfikir bahwa
Muhammad saw adalah pihak yang akan menang. Ia kemudian berbicara
baik-baik dengan Nabi dan memberi tahu perihal diyat yang diberlakukan untuk
beliau, dan kemudian kembali ke Mekkah. Sepanjang perjalanan ia
menghalangi orang-orang yang berusaha untuk mengejar Nabi. Demikianlah
kisah tentang Suraqah bin Malik, yang di pagi hari berjuang membunuh Nabi dan
Abu Bakar, namun di sore harinya ia berbalik menjadi pelindung mereka.
3.
Dalam perjalanan itu, Rasulullah saw melewati rumah Ummu Ma’bad, beliau
adalah seseorang yang suka memberi makan dan minum orang-orang yang
melewatinya. Beliau melihat seekor kambing milik Ummu Ma’bad yang katanya
tidak mengeluarkan susu. Beliau mengambil kambing itu, memnyebut nama
Allah, berdoa, dan kemudian atas izin Ummu Ma’bad memerah susunya. Maka,
kambing itupun menjadi berisi dan mengeluarkan air susu yang banyak sampai
memenuhi sebuah bejana. Nabi kemudian membagikan susu itu untuk Ummu
Ma’bad, Abu Bakar dan dirinya saw.
4.
Di tengah perjalanan, Nabi saw berjumpa dengan Buraidh, pemimpin salah
satu kabilah Quraisy yang keluar dalam rangka mencarai Nabi saw dan Abu Bakar
dengan harapan mendapatkan hadiah dari orang-orang Quraisy. Setelah
berjumpa dengan Nabi saw dan diajak bicara oleh beliau, akhirnya ia dan tujuh
puluh orang dari kaumnya memeluk Islam.
Pada hari Senin tanggal 8 Rabiul Awwal tahun
keempat belas kenabian, sekitar 10 hari sejak meninggalkan Mekkah, Rasulullah
saw tiba di Quba, sebuah tempat dekat Yatsrib. Kaum Muslimin yang setiap
hari menunggu mereka menjemput beliau, bertakbir dan memberikan penghormatan
kepada beliau. Mereka mengerumuni beliau, dan beliau diliputi oleh rasa
ketenangan.
Rasulullah saw singgah di Quba selama empat
hari. Di sana, beliau mendirikan masjid Quba. Masjid ini adalah
masjid pertama yang didirikan setelah kenabian yang didasarkan atas
ketakwaan. Pada hari kelima Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar bergerak
menuju Madinah. Hari itu adalah hari Jumat, tanggal 13 Rabi’ul Awwal
tahun keempat belas kenabian atau tahun pertama Hijriah. Setelah
melakukan shalat Jumat, Nabi saw masuk ke Yatsrib.
Hari itu adalah hari yang sangat
bersejarah. Suara tahmid menggema di rumah-rumah. Sebagai ungkapan
rasa gembira, anak-anak kaum Anshar mengalunkan baitu-bait syair sebagai
berikut:
Bulan purnama telah bersinar menerangi kami
Dari Tasniyyat Wada’
Kita wajib bersyukur atas kedatangan seorang
da’i
Yang menyeru kepada Allah
Wahai (Nabi) yang diutus kepada kami
Engkau datang membawa perkara yang ditaati
Kaum Anshar tidak semuanya kaya raya, tetapi
setiap mereka mengharapkan Rasulullah saw tinggal di rumahnya. Setiap
kali beliau melewati rujmah orang-orang Anshar, mereka mengambil tali kekang
kendaraannya dan berkata, “Mari menuju kekuatan, senjata, dan
perlindungan.” Namun beliau berkata, “Lepaskanlah, sebab ia
diperintah”. Onta beliau terus berjalan sampai di suatu tempat, lalu
berderum. Tampat beliau turun ini adalah tempat Bani an-Najjar
paman-paman Nabi saw dari pihak ibunya dan itu atas taufik Allah kepada
ontanya. Beliau ingin tinggal di tengah-tengah paman-paman beliau untuk
menghormati mereka. Nantinya di tempat itulah didirikan Masjid Nabawi
yang kita kenal sekarang.
Sampai di sini, berakhirlah bagian kehidupan
Rasulullah saw dan dakwah Islam pada fase Mekkah, dan dimulailah fase kehidupan
dan perjuangan dakwah beliau di Madinah.
KEHIDUPAN
AWAL DI MADINAH
Pertama-tama perlu diketahui
kondisi masyarakat Madinah pada saat Rasulullah saw tiba di Madinah. Ada tiga golongan yang beliau hadapi, yakni
sebagai berikut:
(1) Para sahabat beliau ra, yang
terdiri atas Kaum Anshar (orang-orang muslim Madinah) dan kaum Muhajirin
(orang-orang yang ikut berhijrah ke Madinah).
Kaum Anshar karena berada di dalam negeri sendiri bersama harta mereka
tidak punya keperluan selain rasa aman di dalam kelompoknya. Sebelumnya, di
antara kaum Anshar ini terdapat permusuhan sengit sejak dahulu kala, yaitu
permusuhan antara suku Aus dan suku Khazraj. Sedang kaum Muhajirin tidak
memiliki semua yang dimiliki oleh kaum Anshar. Mereka datang ke Madinah tanpa
membawa apa-apa. Setiap hari jumlah mereka bertambah, sebab setiap orang yang
masuk Islam di Mekkah diizinkan untuk berhijrah. Madinah bukanlah negeri yang kaya raya, maka
dengan perpindahan kaum Muhajirin ini perekonomian Madinah menjadi goncang, di
samping berbagai kekuatan yang memusuhi Islam melakukan semacam pemboikotan
ekonomi, yang menyebabkan barang-barang impor berkurang, dan keadaan pun
menjadi gawat;
(2) Kaum musyrikin yang belum
beriman, mereka termasuk inti dari kabilah-kabilah di Madinah. Mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap kaum
Muslimin. Di antara mereka masih ada yang dihinggapi keraguan untuk meninggalkan
agama nenek moyang mereka, dan tidak menyembunyikan permusuhannya terhadap
Islam dan kaum Muslimin. Namun di
antara mereka ada juga yang menyembunyikan permusuhannya kepada Rasulullah saw
dan kaum Muslimin, tetapi tidak mampu menghadapi kaum Muslimin, bahkan terpaksa
menampakkan rasa cinta, karena kondisi yang tidak memungkinkan. Di antara tokoh
mereka adalah Abdullah bin Ubay. Sebelum
kedatangan Nabi, kabilah Aus dan Khazraj telah bersepakat untuk menjadikannya
pemimpin. Hampir saja ia menjadi raja
Madinah, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan Muhammad Rasulullah saw dan
berpalingnya masyarakat dari dirinya menuju Rasulullah saw. Karena itu walaupun menampakkan keislamannya
setelah perang Badar, ia menyembunyikan permusuhannya kepada Rasulullah saw dan
sering melakukan makar manakala mendapat kesempatan. Abdullah bin Ubay dan para pendukungnya ini
yang kemudian dikenal sebagai kaum munafiq;
(3) Golongan ketiga adalah orang-orang
Yahudi. Mereka adalah orang-orang Ibrani yang datang ke Hijaz, yaitu tanah
orang-orang Arab. Mereka tidak menyatu dengan orang-orang Arab, dan membanggakan
keturunan mereka, yaitu keturunan Israel (Yahudi). Mereka sangat menghina dan
merendahkan orang-orang Arab, dan menamakan orang-orang Arab dengan sebutan
Ummiyyin, yaitu orang-orang liar yang hidupnya sederhana, rendahan dan
terbelakang. Orang-orang Yahudi ini adalah orang-orang yang mahir dalam hal mencari
penghasilan. Mereka menguasai perdagangan biji-bijian, korma, khamar, dan
pakaian. Mereka juga memakan riba. Mereka
adalah orang-orang yang gigih dalam melakukan makar dan kerusakan, menaburkan
benih-benih permusuhan di tengah-tengah para kabilah Arab yang berdampingan,
dan menghasut mereka dengan cara yang tersembunyi. Maka, kabilah-kabilah Arab di Yatsrib (yang
kemudian menjadi Madinah) selalu dalam kondisi perang darah yang berlanjut. Ketika melihat api peperangan hampir padam,
orang-orang Yahudi segera menyulutnya kembali. Setelah berhasil menghasut, mereka tinggal
menonton dan melihat apa yang menimpa orang-orang Arab itu, dan memberikan
pinjaman besar dan berbunga kepada para kabilah yang sedang berperang, agar
tidak menghentikan peperangan karena sulitnya biaya peperangan. Masing-masing kabilah Yahudi ini bersekutu
dengan kabilah-kabilah Arab yang berperang di Yatsrib. Di Yatsrib terdapat tiga
kabilah Yahudi yang terkenal, yaitu Bani Qainuqa’ yang bersekutu dengan kabilah
Khazraj, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah yang bersekutu dengan kabilah
Aus. Orang-orang Yahudi memandang Islam dengan penuh kebencian dan kedengkian,
karena Rasulullah saw tidak berasal dari keturunan mereka. Di samping itu, dakwah Islam adalah dakwah
yang menyerukan kepada kebaikan, menyatukan berbagai hati, memadamkan api
permusuhan, dan menyerukan untuk terikat dengan makanan yang halal dan harta
yang baik. Makna dari semua itu adalah
seluruh kabilah Yatsrib akan bersatu; dan ketika itu, harus terlepas dari
cengkeraman Yahudi.
Adapun dari luar Madinah,
kekuatan terbesar yang memusuhi Islam adalah orang-orang musyrikin
Quraisy. Setelah kaum Muslimin berhijrah ke Madinah, kaum Quraisy merampas tanah,
rumah dan harta mereka, menghalangi istri-istri dan keturunan mereka dari
berhijrah, bahkan memenjarakan dan menyiksa orang-orang yang dapat diperlakukan
demikian. Sebagai penguasa dan pemimpin
agama di tengah-tengah orang Arab, karena berstatus sebagai penghuni tanah suci
dan penjaga Baitullah, mereka memperdayakan kaum musyrikin yang ada di jazirah
Arab untuk memusuhi penduduk Madinah, sehingga Madinah berada dalam kondisi
semi pemboikotan. Karena itu suasana
perang betul-betul terasa antara para thagut Makkah dan kaum Muslimin di negeri
mereka yang baru di Madinah.
Demikianlah sekilas gambaran
kondisi yang dihadapi oleh Rasulullah saw.
Kembali ke kehidupan awal Nabi di Madinah, langkah pertama yang
dilakukan oleh Rasulullah saw setelah tiba di Madinah adalah mendirikan masjid
Nabawi. Masjid Nabawi bukanlah sebagai tempat shalat semata, namun juga sebagai
tempat kaum Muslimin menerima ajaran-ajaran Islam dan bimbingannya, dan sebagai
tempat untuk mengatur seluruh persoalan, dan juga sebagai parlemen untuk
mengadakan musyawarah.
Di awal jirah ini pula, adzan
disyari’atkan, suara seruan yang menggema di angkasa, setiap hari lima kali,
dan menggoncang seluruh pelosok kota Madinah. Kisah
mimpi Abdullah bin Zaid bin Adi Rabbah dalam kaitannya dengan pensyariatan
adzan sudah terkenal, dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, dan
Ibnu Khuzaimah.
Kemudian, Rasulullah saw
mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Beliau mempersaudarakan mereka
atas prinsip tolong menolong. Mereka saling memberikan hak waris setelah
kematiannya, yang berlaku sampai perang Badar.
Di samping menjalin ikatan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum
Anshar, Rasulullah saw juga mengadakan perjanjian untuk menyingkirkan segala
dendam jahiliyah dan permusuhan antar kabilah, di antaranya untuk menjadi umat
yang satu di hadapan umat lain, menolak kezhaliman, kejahatan dan permusuhan,
tidak membunuh sesama orang mukmin, memberlakukan qishash bagi pelaku
pembunuhan, dan mengembalikan segala pekara kepada Allah dan Rasul-Nya.
Setelah meletakkan fondasi
masyarakat Islam yang baru di Madinah, Rasulullah juga mengatur hubungan dengan
orang-orang non muslim. Dalam hal ini
beliau bertujuan menciptakan suasana aman, damai, dan tenteram. Beliau menyusun
undang-undang toleransi yang belum pernah ada sebelumnya di alam yang penuh
dengan fanatisme kesukuan. Perjanjian
tersebut kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah, yang di antara isinya adalah
orang-orang Muslim dan non-muslim (khususnya Yahudi) wajib tolong menolong
untuk menghadapi orang-orang yang memerangi mereka, tidak boleh berbuat jahat
terhadap sekutunya, wajib memberikan pertolongan kepada orang yang dizhalimi,
tak boleh menolong orang-orang Quraisy dan orang-orang yang menolong mereka,
dan lain-lain.
---
Sementara itu, kaum musryikin
Quraisy makin marah dengan perkembangan kaum muslimin di Mekkah. Mereka kemudian mengirim surat kepada
Abdullah bin Ubay yang ketika itu masih musyrik dan dalam kapasitasnya sebagai
pemimpin orang-orang Anshar sebelum hijrah.
Dalam surat tersebut mereka mengatakan, bahwa jika Abdullah bin Ubay dan
kawan-kawannya kaum musyrik Madinah tetap melindungi Muhammad yaitu musuh
orang-orang Quraisy, maka mereka (orang-orang Quraiy) akan memerangi mereka
(Abdullah bin Ubay dan kelompoknya) dan merampas wanita-wanita mereka.
Dengan datangnya surat itu Abdullah bin Ubay
bangkit melaksanakan perintah saudara-saudaranya kaum musyrikin Mekkah, karena
di dalam hatinya telah terdapat rasa dengki kepada Nabi saw yang dipandangnya
telah merampas kekuasaanya. Kemudian ia
mengumpulkan teman-temannya para penyembah berhala dan bersepakat untuk
memerangi Rasulullah saw. Setelah berita
itu sampai kepada Nabi saw, beliau segera menemui mereka dan berkata,
“Sesungguhnya kami telah mendengar ancaman orang-orang Quraisy terhadap
kalian. Tipu daya mereka terhadap kalian
tidaklah lebih dahsyat daripada tipu daya kalian terhadap diri kalian
sendiri.Kalian ingin memerangi anak-anak kalian dan saudara-saudara kalian.”
Setelah mendengar ucapan Nabi
saw tersebut, mereka bubar. Abdullah bin
Ubay menahan keinginannya untuk memerangi kaum Muslimin ketika itu. Tetapi, ia tetap melakukan persekongkolan
dengan kaum musryikin Quraisy. Setiap
kali mendapatkan kesempatan selalu ia gunakan untuk melancarkan permusuhan di
antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin.
Orang-orang Yahudi bergabung bersamanya, dan membantunya dalam melaksanakan
rencana tersebut. Tetapi, demikianlah kebijaksanaan Nabi saw yang dapat
memadamkan api permusuhan mereka yang tidak ada henti-hentinya.
Selanjutnya: Permusuhan antara
kaum musryikin Mekkah dan kaum muslimin makin meningkat dan berujung pada sebuah
peperangan besar.
PERANG BADAR (1)
Dalam upayanya untuk menghalangi dakwah
Islam di Madinah, kaum Quraisy mengirim surat ancaman kepada kaum muslimin,
yang bunyinya sbb: “Janganlah kalian merasa bahwa kalian telah lolos dari kami
menuju Yatsrib. Kami akan mendatangi
kalian, akan menyerang kalian dan merampas istri-istri kalian di tengah-tengah negeri
kalian.” Dengan adanya ancaman ini Rasulullah
saw sering berjaga malam. Pernah suatu malam
ada anak panah yang menyasar kepada mereka, yang dilemparkan oleh orang-orang
Arab. Karenanya kaum muslimin tidak tidur
kecuali dengan membawa senjata, dan di pagi hari mereka tetap menyandang senjata.
Dalam situasi yang gawat itu Allah mengizinkan kaum muslimin untuk berperang,
dalam ayat Al-Quran: “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa
menolong mereka.” (Al-Hajj:39). Setelah
turun ayat ini Rasulullah berusaha meluaskan daerah pertahanan kaum muslimin,
yaitu dengan membentangkan kekuasaan kaum muslimin pada jalur perdagangan dari
Mekkah ke Syam. Ini dilakukan dengan
mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah yang berdekatan dengan jalur
perdaganan tersebut, dan melakukan ekspedisi-ekspedisi (patrol) secara
bergantian ke jalur tersebut. Banyak
ekspedisi dilakukan kaum muslimin untuk mencegat kafilah Quraisy yang pergi
menuju atau datang dari Syam. Tercatat
sekitar sembilan ekspedisi yang dilakukan kaum muslimin, dan emapat di
antaranya berujung pada peperangan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin
Quraisy.
Dalam sebuah perang yang bernama
perang Dzil Usyairah, kaum muslimin berusahan mencegat sebuah kafilah Quraisy
yang dipimpin Abu Sufyan, yang membawa seribu onta berisi penuh muatan
barang-barang berharg yang nilainya tidak kurang dari lima puluh ribu dinar
emas. Kafilah itu hanya dikawal oleh
sekitar empat puluh orang. Rasulullah
berangkat bersama sekitar 315 orang.
Rasulullah tidak memaksa siapapun untuk ikut berangkat dalam peperangan
tersebut, karena tidak terlintas dalam fikiran beliau bahwa beliau akan
berhadapan dengan pasukan Mekkah.
Mereka hanya membawa tujuh puluh onta yang dikendarai secara
bergantian. Kabar tentang keberangkatan
pasukan muslimin ini sampai di telinga Abu Sufyan lewat mata-matanya, kemudian
ia mengirimkan kabar ke Mekkah lewat seorang kurir. Penduduk Mekkah langsung bersiap-siap dan
memobilisasi sekitar seribu tiga ratus prajurit, untuk memukul kaum muslimin. Mereka memiliki sekitar seratus kuda dan enam
ratus perisai (jumlah onta tidak diketahui).
Panglima perangnya adalah Abu Jahal bin Hisyam.
Sementara itu Abu Sufyan yang
telah mengetahui pasukan muslim Madinah, berusaha untuk lari dari kejaran kaum
muslimin. Ia bersama kafilahnya kemudian
mengambil jalan lain, yaitu kea rah barat menuju pantai, meninggalkan jalan
utama yang melewati Badar. Dengan
demikian ia telah menyelematkan kafilahnya dari cengkeraman pasukan Madinah,
dan kemudian mengirim kembali kurir untuk member kabar ke pasukan Mekkah. Pasukan Mekkah yang sedang berada di sebuah
tempat bernama Al-Juhfah, menerima surat dari Abu Sufyan yang berisi pesan
kepada mereka, bahwa sebaiknya mereka kembali saja ke Mekkah, karena ia (Abu
Sufyan) dan kafilahnya telah berhasil lolos dari kejaran pasukan Madinah.
Dengan adanya surat
dari Abu Sufyan ini sebagian pasukan Quraisy berniat untuk kembali ke
Mekkah. Namun niat ini dihalangi oleh
pemimpin mereka yaitu Abu Jahal, yang berkata, “Demi Allah, kita tidak akan
pulang sebelum tiba di Badar. Di sana
kita akan tinggal selama tiga hari, memotong ternak, makan-makan, minum khomer,
dan menyaksikan perempuan-perempuan menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah semua orang Arab mendengar cerita
tentang perjalanan kita sehingga mereka tetap takut kepada kita selama-lamanya.” Akhirnya pasukan Mekkah pun melanjutkan
perjalanan, meskipun sekitar tiga ratus orang dari mereka memisahkan diri dan
kembali ke Mekkah, sehingga jumlah mereka tinggal sekitar seribu orang.
Sementara itu
Rasulullah yang sedang berada di sebuah lembah bernama Dzafran, telah
mengetahui kabar tentang lolosnya kafilah Abu Sufyan dan tentang pasukan besar
Mekkah. Rasulullah saw tak punya pilihan
untuk menghindar dari pertempuran berdarah, mau tidak mau maju terus dengan
penuh keberanian. Karena kalau kaum
muslimin mundur, maka sudah pasti posisi militer dan kekuatan politik Quraisy
akan bercokol di wilayah tersebut, dan setiap orang yang membenci Islam akan
berani berbuat kejahatan di wilayah tersebut.
Beliau kemudian mengumpulkan seluruh sahabatnya dalam sebuah Majelis
Tinggi Militer untuk meminta kesepakatan dari mereka tentang sikap yang perlu
diambil. Para pemimpin kaum muslimin
seperti Abu Bakar dan Umar dari kelompok Muhajirin serta Sa’d bin Mu’adz dari
kaum Anshar menyampaikan pendapat mereka, yang intinya mereka tidak akan
meninggalkan Rasulullah, mereka akan tetap bersama Rasulullah meskipun harus
berperang. Rasulullah gembira dengan
jawaban mereka, dan mereka pun membulatkan tekad untuk menghadapi pasukan
Mekkah dalam pertempuran.
Singkat cerita
kedua pasukan itupun berhadapan di Badar.
Hari itu tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriah. Rasulullah saw berdoa kepada Allah, “Wahai
Allah, orang-orang Quraisy telah datang dengan kesombongan mereka; mereka
memusuhi-Mu dan mendustakan Rasul-Mu.
Wahai Allah (kami mengharapkan) pertolongan-Mu yang telah Engkau
janjikan kepadaku. Wahai Allah, binasakanlah
mereka pagi ini.”
Peperangan
diawali dengan perang tanding antara tiga pemimpin Quraisy dan tiga pemimpin
muslimin. Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin
Rabi’ah dan Al-Walid bin Utbah dari pasukan Quraisy masing-masing berhadapan
dengan Ubaidah bin al-Harits, Hamzah bin Abdul Muththalib, dan Ali bin Abi
Thalib dari pasukan muslimin. Dalam
perang tanding itu Hamzah dan Ali berhasil menewaskan lawannya masing-masing,
sedangkan Utbah dan Ubaidah masing-masing berhasil melukai lawannya, namun
Hamzah dan Ali akhirnya berhasil menewaskan Utbah. Ubaidah yang terpotong
kakinya akhirnya syahid sekitar lima hari setelah perang usai.
Hasil
perang tanding ini menjadi permulaan yang buruk bagi kaum musyrikin. Mereka pun marah, kemudian menyerang kaum
muslimin secara serentak. Rasulullah
kembali memohon kepada Rabb-nya akan pertolongan yang telah dijanjikan-Nya: “Wahai
Allah, tunaikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon
janji-Mu.” Ketika perang berkecamuk,
beliau berdoa kembali, “Wahai Allah, kalau pasukan (kaum muslimin) ini sampai
binasa hari ini, Engkau tidak akan disembah lagi setelah ini.” Allah pun menjawab doa beliau, dengan
menurunkan ayat Al-Quran, “Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah
(pendirian) orang-orang yang telah beriman.
Kelak Aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir.” (Al-Anfal:12). Allah kemudian menurunkan para malaikat-Nya
untuk menolong orang-orang mukmin.