DEPAN

Sungguh, kadang kejujuran itu terasa sangat menyakitkan, tetapi katakanlah dan luruskanlah saja niatmu

Hisablah dirimu sebelum di hisab Allah dan jangalah menyibukkan diri menghisab apalagi menghisap orang lain

Memang nikmat berbagi dalam kebaikan & kebenaran (modifikasi dari KZ)

Salah satu tugas dalam hidup ini begitu sederhana, hanya bersabar dan besyukur (AFF)

Orang yang melewatkan satu hari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardu yang ia lakukan atau kemuliaan yang ia wariskan atau pujian yang ia hasilkan atau kebaikan yang ia tanamkan atau ilmu yang ia dapatkan,maka sungguh-sungguh ia telah durhaka pada harinya dan menganiaya diri. (Dr. Yusuf Al-qardhawi)

-----------------------------

http://refleksirifa.blogspot.com/

https://rifateashahihbukhari.blogspot.com

http://www.facebook.com/ridwan.farid.3990

id.linkedin.com/pub/ridwan-farid/6/17b/164

------------------------------------

YM & Gtalk : rifa120

Kamis, 08 Oktober 2015

Jika Anda bahagia

 Hadiah diri Anda  kebahagiaan dengan:
1. Selalu bersilaturahmi dengan  orang yang dicintai dan teman-teman
2. Terlibat dalam aktivitas kreatif
3. Bebuat baik terhadap orang lain 

Karena jika Anda bahagia maka :

1. gen dalam tubuh Anda bahagia
2. Sel-sel dan Jaringan dalam tubuh Anda bahagia
3. Sistem kekebalan tubuh Anda bahagia
4. Hati Anda bahagia
5. Anda memiliki keseimbangan  tubuh  yang baik
6. Anda  aktif secara fisik
7. Rasa sakit Anda akan  terasa lebih baik
8. Teman Anda akan lebih bahagia
9. Anda lebih kreatif
10. Anda menjadi lebih efektif dalam karya
11. Bahkan kemungkinan hidup Anda akan lebih lama
- Orang  yg bahagia memiliki sel sehat dan lebih muda usia biologisnya
- Orang bahagia memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat dengan risiko yang lebih rendah terhadap infeksi
- Orang bahagia memiliki risiko lebih rendah terkena serangan jantung
- Kebahagiaan Meningkat  keseimbangan aktivitas simpatis dan parasimpatis
- Orang bahagia lebih disiplin terhadap latihan fisik
- Kebahagiaan menurunkan aktivitas rasa sakit dalam jaringan otak
- Kebahagiaan Anda mempengaruhi teman Anda, teman dari teman Anda, bahkan teman dari temannya teman Anda 
- Emosi positif melebarkan kemampuan berpikir & meningkatkan kreativitas
- Kebahagiaan meningkatkan produktivitas
- Kebahagiaan dikaitkan dengan peningkatan umur panjang dalam beberapa penelitian




Kebalikan dari bahagia bukan hanya tidak bahagia tetapi rasa tertekan, rasa marah, sakit dan bahkan serangan jantung




------------------
1. When you're happy, your genes are happy
2. When you're happy, your cells and tissues are happy
3. When you're happy, your immune system is happy
4. When you're happy, your heart is happy
5. When you're happy, you have good autonomic balance
6. When you're happy, your get physically active
7. When you're happy, your pain gets better
8. When you're happy, your friend gets happier
9. When you're happy, your are more creative
10. When you're happy, your become more effective at works
11. When you're happy, your even live longer possibility

The opposite of happy isn't just unhappy
The opposite of happy is distressed angry, sick and even heart attack

-Happier people have healthier and younger cells for their biological age
- Happier people have stronger immune system with lower risk of infections
-Happy people have lower risk of heart attack
-Happiness increases vagal tone and balances sympathetic and parasympathetic activity
- Happier people are more disciplined about physical exercise
- Happiness decreases activity in the brain's paint network
- Your Happiness touches our friend, friend's friend, and friend's friend’s friend
- Positive emotions boarded thinking & enhance creativity
- Happiness enhances productivity
- Happiness is associated with enhanced longevity in multiple research studies

When your add life to your years, you add years to your life. Remember that 40% your happines depends on the choices you make

Gift yourself happiness by :
1. Connecting with loved ones and friends
2. Engaging in creative activity
3. Caring for others

Rabu, 07 Oktober 2015

Sugestiologi

Kata-kata adalah Sugesti bagi orang yang mendengarkan.

Sugesti paling gampang masuk pada saat kondisi otak kita Teta

Berfikir bisa menjadi benteng untuk orang tidak mudah tersugesti

Untuk menghilangkan efek2 buruk bisa dilakukan  dengan metoda hipnoterapy

Sugesti : meyakinkan, menanamkan.

Dalam Terapi  ada 2 nazhab

Mazhab gali akar  --> menggali apa penyebabnya  untuk cari solusi
Mazhab Menimpa --> Memberikan sugesti untuk menimpa hal buruk dimasa lalu

Seringlah mensugesti diri hal yang positif dalam kondisi Teta

Paling banyak manusia kehilangan rasa berharga sehingga hidupnya ataupun apa yang dilakukan tidak maksimal

Salah satu bentuk sedekah buat orang lain adalah memberikan kata-kata baik dengan harapan masuk kedalam fikiran dan hati  sehingga memberikan sugesti positif yang akan berpengaruh pada kehidupannya.

Maka selalu lah mengeluarkan kalimat positif baik saat serius mapun saat bercanda.


Selasa, 06 Oktober 2015

Sirah Nabawiah-Edisi Lengkap



SIRAH NABAWIAH

Dirangkum oleh Kang Teddy Tedjakusuma dari buku karangan Syeikh Syafiyyur Rahman Mubarakfuri  

 
Kelahiran dan Masa Kecil Muhammad saw (1)
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (QS Al-Ahzab: 71).
Nabi Muhammad saw lahir di tengah-tengah keluarga Bani Hasyim, di kota Mekkah, Negeri Arab, pada hari Senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awwal (sebagian pendapat menyatakan 12 Rabi’ul Awwal), bertepatan dengan tanggal 20 April 571 M.  Ibunya bernama Aminah binti Wahab, sedangkan ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muththalib.  Muhammad saw lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya tersebut telah meninggal sebelum ia lahir.  Nama “Muhammad” diberikan oleh kakeknya yang bernama Abdul Muththalib.  Saat kelahiran bayi Muhammad ia sedang melakukan thawaf di Ka’bah.  Begitu mendengar kabar gembira tentang kelahiran cucunya tersebut, ia langsung mengambil sang bayi dan membawanya ke depan Ka’bah, kemudian berdo’a dan bersyukur atas kelahiran cucunya tersebut.  Ia kemudian menamainya “Muhammad”.
Sudah merupakan kebiasaan kaum Arab yang hidup di perkotaan untuk mencari ibu susu bagi anak-anaknya dan menitipkan mereka pada ibu-ibu susu itu untuk tinggal di pedesaan, agar anak-anaknya terhindar dari berbagai penyakit peradaban di kota, memperkuat fisik mereka, dan agar mereka dapat mempelajari Bahasa Arab yang fasih sejak kecil.  Demikian juga bayi Muhammad dititipkan oleh Abdul Muththalib kepada seorang wanita dari Bani Sa’d bin Bakr, yang bernama Halimah binti Abu Dzuaib.
Karena kehendak Allah, diambilnya bayi Muhammad saw oleh Ibu Halimah banyak mendatangkan berkah bagi keluarga dan kaumnya, walau pada awalnya tak ada wanita yang berminat mengambilnya sebagai anak susu, berhubung statusnya sebagai anak yatim sehingga mereka (para wanita calon ibu susu itu) tak dapat mengharapkan imbalan dari ayah si bayi.  Berkah yang dimaksu di antaranya, kambing-kambing keluarga Halimah banyak mengeluarkan susu, sehingga mereka tak pernah kekurangan susu, sedangkan kambing-kambing keluarga lain tidak mengeluarkan susu karena kondisi bumi perkampungan Bani Sa’d yang tandus.
Ketika Muhammad saw berusia 4 atau 5 tahun dan masih tinggal dengan Ibu Halimah, terjadilah suatu peristiwa yang aneh pada dirinya.  Pada saat ia sedang menggembala kambing bersama seorang anak Halimah, ia didatangi oleh dua orang laki-laki yang berpakaian putih, yang kemudian menangkapnya, membawanya ke suatu tempat, dan membelah dadanya.  Mereka kemudian mengambil segumpal darah hitam dari hatinya dan membuangnya.  Salah seorang dari kedua laki-laki itu berkata, “Inilah bagian syetan yang ada dalam tubuhmu.” 
Imam Muslim meriwayatkan bahwa kedua laki-laki itu adalah malaikat dan salah seorangnya adalah malaikat Jibril.  Setelah kejadian itu, karena khawatir akan keselamatan Muhammad saw, Ibu Halimah mengembalikan Muhammad saw ke ibu kandungnya Aminah.
Suatu waktu, Aminah bermaksud berziarah ke kuburan mendiang suaminya di Yatsrib (Madinah).  Ia pergi bersama putranya Muhammad saw, pembantunya yang bernama Ummu Aiman, dan mertuanya Abdul Muththalib.  Muhammad saw waktu itu berusia lebih kurang 6 tahun.
Takdir Allah Swt tak dapat dihalangi, dalam perjalanan pulang ke Mekkah setelah ziarah tersebut, Aminah jatuh sakit dan meninggal di sebuah dusun bernama Abwa’.  Demikianlah, pada usia 6 tahun Muhammad saw telah menjadi seorang yatim-piatu, tak punya ayah dan tak punya ibu. 


KHADIJAH (2)
Abdul Muththalib kemudian membawa pulang Muhammad saw ke Mekkah.  Sejak itu dipeliharanya dan disayanginya Muhammad saw lebih dari anak-anaknya.  Namun ketika Muhammad saw berusia 8 tahun 2 bulan, Abdul Muththalib meninggal dunia.  Sebelum kematiannya, ia berpesan kepada paman Muhammad saw yaitu adik mendiang ayahnya, yang bernama Abu Thalib, untuk memeliharanya.
Sejak itu Muhammad saw dipelihara dengan sangat baik oleh pamannya Abu Thalib, bahkan pamannya itu mengutamakan Muhammad dibandingkan dengan anak-anaknya sendiri.  Lebih dari 40 tahun Abu Thalib memuliakan dan melindungi beliau.  Demi beliau, Abu Thalib menjalin persahabatan dan melakukan permusuhan dengan orang lain.  Tentang hal ini akan kita bahas nanti (insya Allah).
Banyak peristiwa menarik seputar kehidupan Muhammad saw pada waktu beliau dipelihara oleh pamannya itu, yang menunjukkan tanda-tanda keistimewaan beliau.  Salah satunya adalah ketika pamannya meminta hujan lewat perantaraan beliau.  Suatu waktu kota Mekkah dan sekitarnya dilanda kekeringan karena hujan lama tidak turun.  Orang-orang Quraisy kemudian mendatangi Abu Thalib agar beliau memintakan hujan.  Beliau kemudian keluar dari rumahnya bersama seorang anak, yaitu Muhammad saw, dan menyandarkan anak itu di dinding Ka’bah.  Saat itu tidak ada awan yang menggumpal di langit.  Tetapi, awanpun kemudian datang dari berbagai penjuru, dan lama-lama turunlah hujan lebat.  Lembah-lembah memancarkan air, dan tanah-tanah menjadi subur.  Berkenaan dengan itu Abu Thalib berkata bahwa ia telah meminta hujan melalui pribadi anak tersebut, yaitu Muhammad saw, seorang anak yatim piatu yang tak berharga.
Pada waktu Muhammad saw berusia 12 tahun ia dibawa oleh Abu Thalib untuk berdagang ke Syam (Syria sekarang).  Dalam perjalanan tersebut mereka melewati sebuah tempat bernama Bashra, di mana tinggal seorang pendeta yang dikenal dengan nama Bahira, yang nama aslinya adalah Jarjis.  Bahira kemudian mengundang rombongan Abu Thalib ke rumahnya dan memperlakukannya sebagai tamu.  Ia kemudian berkata kepada Abu Thalib bahwa anak yang dibawanya (yaitu Muhammad saw) adalah pemimpin seluruh alam, dan diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.  Waktu Abu Thalib bertanya apa dasarnya pendeta Bahira berkata demikian, Bahira menjawab bahwa ia telah melihat ketika rombongan tersebut turun dari bukit, seluruh batu dan pohon bersujud.  Batu-batu dan pohon-pohon tersebut tidak akan bersujud kecuali pada seorang nabi.  Atas anjuran Bahira, Abu Thalib tak jadi membawa Muhammad saw ke Syam, dan memulangkan Muhammad saw beserta beberapa pembantunya ke Mekkah, untuk mencegah kalau-kalau ia diperlakukan jahat oleh orang-orang Yahudi di Syam.
Pada waktu Muhammad saw berusia 15 tahun, terjadi sebuah perang bernama perang Fijjar, antara suku Quraisy dan suku Qais Ailan. Perang tersebut disebut perang Fijjar karena melanggar kehormatan tanah suci dan bulan-bulan Haram (yaitu Dzulqa’adah, Dzulhijjah, dan Rajab).  Perang tersebut diikuti oleh Muhammad saw.  Beliau membantu paman-paman beliau untuk mempersiapkan anak-anak panah.  Di awal siang Qais memenangkan pertempuran, namun di sore hari Quraisy-lah yang menang.
Demikianlah Muhammad saw tumbuh di bawah asuhan pamannya Abu Thalib.  Ia tidak memiliki pekerjaan tertentu, namun pernah bekerja sebagai penggembala kambing.  Ketika beliau berusia 25 tahun, beliau pergi ke Syam untuk membawa barang dagangan seorang saudagar wanita Quraisy bernama Khadijah.  Khadijah menawarkan pekerjaan tersebut kepada Muhammad saw setelah mendengar kejujuran dan kemuliaan akhlaknya dari orang-orang sekitar.  Dalam perjalanan ini Muhammad saw ditemani oleh pembantu Khadijah yang bernama Maisarah.   
Sepulang dari Syam, Khadijah melihat keuntungan dan berkah pada harta yang dititipkannya kepada Muhammad saw, dan ia menerima laporan dari Maisarah tentang akhlak dan kejujuran Muhammad saw.  Mendengar penuturan ini dan setelah menilai sendiri kepribadian Muhammad saw, Khadijah berhasrat untuk menikah dengannya.  Ia adalah seorang janda yang terpandang di kalangan suku Quraisy, dan selama ini telah banyak pemuka Quraisy yang melamarnya namun tak pernah dihiraukannya. 

PERINTAH DAKWAH (3)
Beberapa waktu setelah pertemuan malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad saw, Khadijah ra mengajak Rasulullah saw untuk pergi menemui Waraqah bin Naufal, salah seorang anak paman Khadijah, yang memeluk agama Nasrani.  Ia dapat menulis dalam huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil dalam bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan kehilangan penglihatannya.  Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya di gua Hira’.  Setelah mendengar penuturan Rasulullah saw, Waraqah berkata, “Itu adalah malaikat yang pernah diutus Allah kepada Musa.  Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa!  Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu!”
Rasulullah saw bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?” Waraqah menjawab, “Ya. Tak seorangpun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali diperangi.  Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang kamu hadapi itu, pasti kamu kubantu sekuat tenagaku.”  Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia.
Setelah wahyu pertama turun, selama beberapa hari Rasulullah saw tidak mendapatkan wahyu.  Terhentinya wahyu ini menimbulkan kesedihan yang mendalam pada diri Rasulullah saw, dan berulang kali menimbulkan keinginan untuk menjatuhkan diri dari puncak gunung.  Setiap kali sampai ke puncak gunung dan hendak menjatuhkan diri dari tempat tersebut, Jibril menampakkan diri kepada beliau dan mengatakan, “Wahai Muhammad, kamu adalah benar-benar Rasulullah!”  Seketika itu, hati beliau menjadi tentram, lalu pulang.  Ketika beliau merasakan kembali masa kekosongan wahyu tersebut, timbul lagi keinginannya untuk melakukan perbuatan yang serupa.  Dan ketika sampai di puncak gunung, Jibril menampakkan diri lagi dan mengatakan kalimat yang serupa.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Jabir bin Abdillah bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw menceritakan tentang masa kekosongan wahyu, beliau bersabda, “Ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit.  Ketika kepala kuangkat, kulihat malaikat yang datang kepadaku di gua Hira’ sedang duduk di kursi antara langit dan bumi.  Aku merasa ketakutan sehingga jatuh ke tanah. Aku segera pulang menemui istriku dan kukatakan kepadanya, ‘Selimutilah aku, selimutilah aku, selimutilah aku,’  Kemudian, Allah menurunkan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang berselimut, …. serta jauhilah perbuatan dosa.’  Sejak itu, wahyu diturunkan secara berkelanjutan.
Sebelum kita membahas lebih lanjut kehidupan risalah dan nubuwah (kenabian), kita perlu mengetahui klasifikasi wahyu yang merupakan sumber risalah dan dakwah.  Ketika menyebutkan tentang tingkatan wahyu, Ibnu Qayyim berkata:
1.Mimpi yang benar. 
2.Wahyu yang dibisikkan oleh malaikat ke dalam hati beliau tanpa terlihat oleh beliau
3.Malaikat datang kepada Rasulullah saw dalam wujud seorang lelaki, lalu berbicara kepada beliau sampai beliau memahami apa yang disampaikannya.  Dalam keadaan seperti ini, malaikat tersebut terkadang dilihat oleh para sahabat.
4. Jibril datang kepada beliau seperti bunyi lonceng.  Tingkatan wahyu seperti ini merupakan tingkat yang terberat bagi beliau, sebab Jibril merasuk ke dalam tubuh beliau.  Jika hal itu terjadi ketika beliau sedang mengendarai onta, maka ontanya berlutut karena merasa ditimpa beban yang berat.
5. Rasulullah saw melihat Jibril dalam bentuk aslinya, lalu Jibril mewahyukan kepada beliau apa saja yang dikehendaki oleh Allah untuk disampaikan kepada beliau.
6. Wahyu yang disampaikan secara langsung oleh Allah kepada beliau, ketika beliau berada di atas langit, pada malam Isra Mi’raj, yaitu tentang kewajiban shalat.
7. Firman Allah kepada beliau tanpa perantaraan malaikat , sebagaimana Allah berbicara kepada Musa bin Imran.  Tingkatan seperti ini telah terjdi pada diri Musa berdsarkan nash Al-Quran, dan terjadi pula pada diri Rasulullah saw berdasarkan hadits Isra. 
Wahyu kedua yang diterima Rasulullah saw adalah sebagai berikut:
“Wahai orang yang berselimut! Bangunlah, dan berilah peringatan.  Agungkanlah Tuhanmu, bersihkanlah pakaianmu, tinggalkan perbuatan dosa (menyembah berhala), dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh balasan yang lebih banyak.  Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah. (Al-Muddatstsir:1-7).
Ayat-ayat tersebut berisi perintah yang secara lahiriah sederhana namun memiliki tujuan yang jauh dan pengaruh yang kuat.
1.       Puncak pemberian peringatan adalah tidak membiarkan seorang pun di antara orang-orang yang berada di alam wujud ini untuk menyalahi keridhaan Allah, yaitu dengan memberikan berbagai peringatan terhadap siksa-siksa-Nya yang mengerikan, sehingga timbul rasa gentar dan kegoncangan dalam hatinya.
2.       Puncak mengagungkan Allah adalah tidak memberikan seorang pun di muka bumi ini untuk berbuat kesombongan, yaitu dengan mematahkan kekuatannya, sehingga tidak ada kesombongan dan kebesaran yang tersisa di muka bumi ini selain kebesaran Allah Ta’ala.
3.       Puncak dari pembersihan pakaian dan meninggalkan perbuatan dosa adalah mencapai pembersihan lahir dan batin serta pembersihan jiwa dari segala jenis noda dan kotoran, secara sempurna.  Sehingga jiwa manusia berada di bawah naungan rahmat Allah, pemeliharaan, pengawasan, petunjuk, dan cahaya-Nya.  Di samping itu, dapat menjadi figure bagi masyarakat di hadapan hati yang menyimpang, sehingga seluruh perhatian dunia terpusat kepadanya.
4.       Puncak tidak memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak adalah tidak menganggap perbuatan dan jerih payahnya sebagai suatu perbuatan yang besar. Tetapi, senantiasa berupaya dengan sungguh-sungguh dalam setiap amal, pengorbanan, kemudian melupakan semua itu.  Yakni, tidak merasa bahwa dirinya telah melakukannya.
5.       Ayat tersebut mengisyaratkan hal-hal yang akan disampaikan selanjutnya yakni adanya gangguan-gangguan orang-orang yang menentang. 
Masa hidup Muhammad saw dapat dibagi menjadi dua fase, masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, yaitu:
1.       Fase Mekkah, kira-kira selama tiga belas tahun.
2.       Fase Madinah, kira-kira selama sepuluh tahun.
Fase Mekkah dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1.       Tahapan dakwah secara rahasia, selama tiga tahun.
2.       Tahapan dakwah secara terang-terangan terhadap penduduk Mekkah, mulai tahun keempat kenabian sampai akhir tahun kesepuluh kenabian.
3.       Tahapan dakwah di luar Mekkah, berlangsung dari tahun kesepuluh kenabian sampai hijrah ke Madinah.



DAKWAH NABI SAW KEPADA KAUM KERABAT (5)
Fase pertama dakwah dilakukan oleh Rasulullah saw secara diam-diam.  Hal ini disebabkan Makkah adalah markas bagi agama orang-orang Arab, tempat pelayan-pelayan Ka’bah, pengurus berhala-berhala yang disucikan oleh seluruh Arab, sehingga sulit untuk melakukan perbaikan di sana, dan memerlukan tekad kuat menghadapi berbagai cobaan, musibah dan bencana.  Karena itu dakwah secara diam-diam dilakukan oleh Rasulullah saw agar penduduk Makkah tidak dikejutkan oleh hal-hal yang dapat membangkitkan kemarahannya.
Pada tahap awal, Rasulullah saw menawarkan Islam pada orang-orang yang paling dekat dengannya, keluarganya, dan teman-temannya.  Orang-orang yang pertama kali masuk Islam ini kemudian dikenal dengan istilah as-Sabiqunal Awwalun.  Orang yang pertama beriman adalah istri Nabi yaitu Khadijah binti Khuwailid, disusul oleh budak beliau Zaid bin Haritsah, putra paman beliau Ali bin Abi Thalib (pada saat itu masih kanak-kanak dan hidup di bawah tanggungan Rasulullah saw), dan teman dekat beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq.  Setelah itu Abu Bakar ash-Shiddiq ikut menyebarkan Islam dan atas ajakan beliau masuk Islam pula: Utsman bin Affan, az-Zubair bin Awwan, Abdur Rahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.  Delapan orang itulah yang menjadi pelopor Islam. 
Keseluruhan pengikut awal Islam berjumlah lebih dari empat puluh orang, termasuk Bilal bin Rabah, Abu Ubaidah bin Jarrah, al-Arqam bil Abil arqam, ubaidah bin al-Harits, dan Fathimah binti al-Khatab (saudara Umar bin Khattab). 
Sejalan dengan masuknya orang-orang tersebut ke dalam pangkuan Islam, ayat-ayat Quran pun turun secara berkelanjutan.  Ayat-ayat dan surat-surat yang turun pada saat itu adalah ayat-ayat yang pendek, memiliki perhentian yang indah, penyampain yang tenang dan sejalan dengan kondisi saat itu yang sensitive. Isi ayat-ayat di masa ini berkisar pada pembersihan jiwa, celaan terhadap jiwa-jiwa yang dikotori oleh noda-noda dunia, dan penggamabaran terhadap surga dan neraka.
Pada masa ini pula shalat diperintahkan, walau tidak sama dengan shalat yang dilakukan setelah peristiwa Isra Mi’raj.  Dikatakan bahwa shalat yang diwajibkan adalah shalat sebelum terbitnya mataahari dan shalat sebelum terbenamnya.  Rasulullah saw melakukan shalat ini bersama para sahabatnya di lorong-lorong bukit agar tidak terlihat oleh kaum musyrikin Quraisy.
Meskipun dilakukan secara diam-diam, ternyata dakwah yang dilakukan Rasulullah saw akhirnya diketahui juga oleh orang-orang Qurasy.  Namun mereka tidak menaruh perhatian terhadapnya.  Mungkin mereka menganggap bahwa Muhammad adalah salah seorang dari para pemeluk agama yang selalu berbicara tentang ketuhanan dan hak-haknya.
Setelah tiga tahun berlalu, turunlah wahyu yang memerintahkan Rasulullah saw berdakwah secara terang-terangan kepada kaumnya.  Ayat yang pertama kali turun memerintahkan dakwah secara terang-terangan adalah firman Alla Ta’ala:
“Dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat”. (asy-Syu’ara. 26: 214)
Surat ini memuat kisah tentang Musa as di awal kenabiannya sampai hijrahnya bersama Bani Israil, dan selamatnya meraka dri kejaran Fir’aun dan bala tentaranya hingga tenggelamnya Fir’aun.  Kisah ini disampaikan kepada Rasulullah saw tatkala beliau diperintahkan menyeru kaumnya ke jalan Allah.  Tujuannya agar beliau dan para sahabatnya memperoleh gambaran tentang hal-hal yang akan mereka hadapi ketika melakukan dakwah secara terang-terangan, seperti pendustaan dan penindasan, dan agar mereka dapat mengetahui secara jelas tentang persoalan mereka sejak memulai dakwah mereka.  Surat ini juga memuat akibat akhir yang akan diperoleh orang-orang yang mendustakan para rasul, seperti kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, kaum Ibrahim, kaum Luth, dan penduduk Aikah, selain tambahan kisah Fir’aun dan kaumnya.  Tujuannya agar orang-orang yang melakukan pendustaan mengetahui akibat yang akan mereka jalani, berupa adzab Allah.  Di samping itu, agar orang-orang mukmin mengetahui bahwa kesudahan yang baik itu untuk mereka.
Setelah turunnya ayat di atas Rasulullah saw mengundang Bani Hasyim ke rumahnya.  Mereka pun datang bersama Bani al-Muththalib bin Abdi Manaf, semuanya empat puluh lima orang lelaki.  Abu Lahab, salah seorang paman beliau, yang saat itu hadir berkata, “Hai Muhammad.  Mereka ini adalah paman-pamanmu dan anak-anak dari paman-pamanmu.  Berbicaralah dan janganlah main-main.  Ketahuilah, kaum kerabatmu tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi bangsa Arab.  Aku berhak mencegahmu, cukuplah bagimu perlindungan dari sanak family ayahmu.  Jika kamu tetap berbuat seperti apa yang telah kamu lakukan, mereka akan lebih mudah menyerangmu daripada suku-suku Quraisy lainnya, dan pasti akan dibantu oleh seluruh orang Arab.  Sesungguhnya aku tidak pernah melihat seseorang yang datang membawa sesuatu yang lebih buruk daripada yang kamu bawa.”
Dalam pertemuan itu, Rasulullah saw tidak menjawab sepatah kata pun.  Kemudian beliau mengundang mereka lagi untuk kedua kalinya.  Dalam pertemuan tersebut, beliau berkata:
“Seorang utuasan tidak akan membohongi keluarganya.  Demi Allah yang tidak ada Ilah kecuali Dia, aku adalah Rasulullah, khususnya kepada kalian dan seluruh manusia pada umumnya.  Demi Allah, kalian pasti akan mati sebagaimana kalian tidur, dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana kalian bangun tidur.  Segala perbuatan yang kalian lakukan pasti akan diperhitungkan. Kemudian, tidak ada tempat lain kecuali surga yang kekal dan neraka yang kekal juga selama-lamanya.”
Abu Thalib menyahut, “Dengan senang hati, kami akan membantumu; kami menerima nasihatmu; dan kami pun mempercayai kata-katamu.  Mereka yang berkumpul ini adalah sanak family ayahmu, dan aku hanyalah salah seorang dari mereka.  Hanya saja, aku adalah orang yang paling cepat menyambut keinginanmu.  Jalankan terus apa yang diperintahkan kepadamu.  Demi Allah, aku akan selalu melindungimu, tetapi aku tidak dapat meninggalkan agama Abdul Mutthalib.”
Abu Lahab menyahut, “Demi Allah, itu sikap yang buruk.  Cegahlah dia (Muhammad) sebelum orang lain berbuat terhadap kalian.”  Abu Thalib menjawab, “Demi Allah, dia akan kami bela selama kami masih hidup.”

DAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (6)
Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri di atas bukit Shafa dan berseru memanggil semua suku di Mekkah, sehingga orang-orang Quraisy pun berkumpul mendatangi beliau.  Setelah itu beliau berkata kepada mereka, “Seandainya kuberitahukan kepada kalian bahwa di lembah sana terdapat pasukan berkuda yang hendak menyerang kalian, apakah kalian mempercayaiku?” Mereka menyahut, “Ya, kami belum pernah melihat kamu berdusta.”  Beliau saw melanjutkan, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang sangat pedih.”  Mendengar kata-kata Rasulullah saw Abu Lahab yang hadir saat itu memprotes, “Sungguh celaka kamu sepanjang hari, hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami?!”.  Demikianlah penentangan Abu Lahab terhadap dakwah Rasulullah, dan sehubungan dengan itu Allah berfirman, “Binasalah kedua belah tangan dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS Al Lahab: 1)
Demikianlah Rasulullah selanjutnya menyampaikan risalah Islam secara terbuka ke seluruh penjuru Mekkah.  Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 94: “Dan sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu, dan janganlah kamu pedulikan orang-orang musyrik.”  Rasulullah menyerang segala bentuk khurafat syirik dan kebohongan-kebohongannya serta menyebutkan hakikat berhala-berhala dan berbagai kelemahannya, dan kesesatan orang-orang yang menyembah berhala.  Namun seperti sudah diduga penduduk Mekkah menyambut dakwah Rasulullah ini dengan luapan amarah, keheranan dan ancaman.   Bagi mereka dakwah Rasulullah bagai petir yang membelah awan, menggelagar dan menggoncangkan suasana yang tenang.  Hal itu mereka lakukan karena mereka mengetahui bahwa keimanan itu menolak ketuhanan selain Allah, dan bahwa mereka tidak memiliki pilihan terhadap diri dan harta mereka, apalagi terhadap orang lain.  Hal ini berarti mencabut kekuasaan mereka atas orang-orang Arab, dan mencegah mereka untuk berbuat zhalim terhadap orang-orang lemah serta kejahatan yang mereka lakukan. Namun di sisi lain mereka juga bingung, karena mereka tahu betul bahwa orang yang mereka tentang adalah orang yang jujur dan terpercaya, contoh terbaik bagi nilai-nilai kemanusiaan dan akhlaq yang mulia.  Apa yang harus mereka lakukan?
Akhirnya mereka pun memutuskan untuk menemui paman Rasulullah saw, Abu Thalib, dan mengadukan Rasulullah saw yang telah menghina tuhan-tuhan mereka, mencela agama mereka, dan menganggap sesat nenek moyang mereka. Mereka meminta agar Abu Thalib mengambil alih urusan ini.  Namun Abu Thalib dengan lemah lembut menolak tuntutan mereka dan berpendirian bahwa Rasulullah saw berhak untuk meneruskan ajakannya.
Cara lain yang dilakukan orang-orang Quraisy untuk merintangi seruan Rasulullah kepada Islam adalah dengan mempengaruhi para jemaah haji yang berziarah ke Mekkah di musim haji.  Sebelumnya mereka berunding, apa yang akan mereka katakan tentang Muhammad saw kepada para jemaah haji tersebut.  Sebagian mereka mengusulkan agar Muhammad saw dikatakan sebagai seorang dukun.  Yang lain mengusulkan agar Muhammad saw dikatakan sebagai seorang gila.  Yang lain lagi mengusulkan agar dia dikatakan sebagai seorang penyair.  Ada juga yang mengusulkan dia dikatakan sebagai seorang tukang sihir, karena perkataannya dapat menyihir dan memisahkan seseorang dari bapaknya atau saudaranya atau istrinya atau keluarga.  Namun mereka semua menyadari bahwa tak ada satu pun dari sebutan-sebutan itu yang cocok diterapkan bagi Muhammad saw.  Bagaimanapun mereka harus mengambil sebuah keputusan, dan istilah “tukang sihir” lah yang mereka anggap paling cocok untuk diterapkan pada Muhammad saw.  Maka mereka pun melaksanakan rencana mereka, dan mulai menyebarkan fitnah tentang Muhammad saw kepada para jema’ah haji yang berziarah ke Mekkah di musim haji.  Orang yang paling bertanggung jawab atas gerakan ini adalah Abu Lahab.  Akibatnya orang-orang Arab yang datang berhaji, setelah mendengar persoalan ini, membawa berita ini ke tempat asalnya masing-masing dan akhirnya persoalan tentang Muhammad saw ini tersebar ke seluruh negeri Arab.
Demikianlah orang-orang Quraisy tak pernah kehilangan cara untuk menentang seruan Rasulullah saw untuk beriman kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.  Di antara cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:
1.       Mencemooh dan menghina, melecehkan, mendustakan dan menertawakan, dengan tujuan merendahkan kaum muslimin dan menghina kekuatan spiritual mereka.
2.       Membuat buruk citra ajaran beliau, melancarkan propaganda-propaganda palsu dan lemah di sekitar ajaran tersebut dan pribadi beliau.  Tentang Al-Quran, mereka mengatakan, “Dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, dimintanya untuk dituliskan, maka dibacakan dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang. “ (Al Furqan:5)
3.       Menyaingi Al-Quran dengan dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, dan menyibukkan manusia dengan dongeng-dongeng tersebut sehingga lalai dari Al-Quran.
4.       Berusaha untuk memadukan antara Islam dan jahiliyah, bersikap lunak agar Muhammad saw juga bersikap lunak, agar beliau mau berkompromi dengan mereka, sebagaimana diabadikan dalam Al-Quran, “Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu.” (Al-Quran)
Ternyata setelah sekian lama usaha orang-orang Quraisy untuk menghalangi dakwah Rasulullah saw tidak berhasil sama sekali, dan beliau saw tetap melaksanakan dakwahnya.  Hal ini makin menimbulkan kebencian mereka, dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengambil cara kekerasan.  Mereka mulai menindas orang-orang muslim, menyiksa orang-orang yang baru masuk Islam terutama kaum yang lemah.  Di antara orang-orang muslim yang mengalami penyiksaan dan penindasan ini adalah:
-Paman Utsman bin Affan yang dibungkus dengan daun korma, kemudian diasapi dari bawahnya.
-Bilal bin Rabbah seorang budak berkulit hitam yang dijemur di atas padang pasir dalam keadaan terlentang saat matahari sedang terik, kemudian ditindih dengan batu besar.  Hal ini dilakukan oleh majikannya sendiri.
-Amar bin Yasir beserta ayah dan ibunya yang diseret ke tengah padang pasir yang sedang panas-panasnya, lalu disiksa dengan kejam.  Bahkan ibu Ammar, Sumayyah, setelah disiksa oleh Abu Jahal ditusuk jantungnya dengan tombak hingga meninggal, dan dia-lah wanita sekaligus orang pertama yang syahid dalam Islam.
Demikianlah penindasan dan penyiksaan dilakukan orang-orang musyrik Quraisy terhadap kaum muslimin terutama yang berasal dari golongan lemah.  Namun mereka tak bisa melakukan hal seperti ini kepada Rasulullah saw sendiri, karena beliau berada dalam lindungan pamannya, Abu Thalib, orang yang disegani di kalangan masyarakat Mekkah.

HIJRAH KE HABASYAH (7)
Sejak dilakukannya penindasan oleh kaum musyrikin Quraisy terhadap kaum muslimin khususnya yang berasal dari golongan lemah, Rasulullah saw melarang kaum muslimin untuk menyatakan keislaman mereka, dan tidak berkumpul dengan mereka kecuali dengan sembunyi-sembunyi.  Mereka biasanya berkumpul secara rahasia di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam yang terletak di atas bukit Shafa, sebagai markas dakwah dan tempat berkumpul kaum muslimin.
Namun demikian penyiksaan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin tidak berhenti malah semakin hebat.  Sehingga keadaan di Mekkah tak lagi cocok bagi kaum muslimin untuk menjalankan agamanya.  Dalam keadaan tersebut, turunlah surat Al-Kahfi yang di dalamnya terkandung tiga kisah.  Kisah pertama yaitu kisah Ashabul Kahfi (para penghuni gua) yang memberikan isyarat untuk melakukan hijrah dari pusat kekafiran ketika dikhawatirkan timbul fitnah terhadap agama. 
Wa idzi’tazaltumuuhum wamaa ya’buduuna illallaahu fa wuu ilalkahfi yansyurlakum rabbukum min rahmatihii wa yuhayyi lakum min amrikum mirfaqaa
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat perlindungan ke dalam gua itu, niscaya Tuhan kamu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (al-Kahfi:16)
Kisah kedua yaitu kisah Khidr dan Musa memberikan isyarat bahwa keadaan tidak senantiasa berjalan dan memberikan hasil sesuai dengan lahiriahnya, bahkan boleh jadi hasil yang diperoleh berlawan sekali dengan kondisi lahiriahnya. Hal ini menunjukkan bahwa peperangan yang dilancarkan kaum musyrikin akan berbalik total; thagut-thagut musyrik tersebut jika tidak beriman akan dituntut di hadapan kaum muslimin yang lemah dan terusir tersebut.
Kisah ketiga adalah kisah Dzul Qarnain yang memberikan isyarat bahwa bumi itu milik Allah dan akan diwariskan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. 
Kemudian, turun pula surat Az-Zumar yang mengisyaratkan tentang hijrah, dan menyatakan bahwa bumi Allah itu tidak sempit.  Allah berfirman:
“Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas.  Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az Zumar: 10)
Rasulullah saw telah mengetahui bahwa Najasyi, raja Habasyah (Ethiopia sekarang), adalah seorang raja yang adil, dan tidak ada seorang pun di sisinya yang terzhalimi.  Maka beliau memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke sana.  Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian, berangkatlah rombongan pertama para sahabat ke Habasyah.  Kelompok tersebut terdiri atas 12 (dua belas) laki-laki dan 4 (empat) wanita (total 16 orang).  Kelompok tersebut dipimpin oleh Utsman bin Affan yang didampingi oleh istrinya Ruqayyah binti Muhammad saw.  Tentang keduanya, Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya keduanya adalah keluarga pertama yang berhijrah di jalan Allah, setelah Ibrahim dan Luth alaihimas salam”
Mereka pun keluar dari Mekkah secara sembunyi-sembunyi di tengah-tengah kegelapan malam.  Mereka keluar menuju pantai Syu’aibah, dan berlayar menuju Habasyah.  Sesampainya di Habasyah mereka tinggal di sana dalam keadaan aman. 
Sementara itu di Mekkah ada suatu kejadian yang unik.  Kaum musyrikin suatu saat mendengarkan bacaan Al-Quran yang dibacakan oleh Nabi, yaitu surat An-Najm, walaupun sesungguhnya mereka bersepakat dan melarang orang lain untuk mendengarkan bacaan Al-Quran.  Namun ketika mereka mendengarkan bacaan Rasulullah, mereka lupa akan kesepakatan itu.  Mereka tertegun ketika beliau memperdengarkan ayat-ayat dari surat An-Najm, sampai ayat terakhir sebagai berikut:
Fasjuduu lillaahi wa’buduu
“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)” (An-Najm: 62).  Nabi saw pun bersujud setelah membaca surat ini.  Maka, kaum musyrikin itu tidak mampu menahan diri untuk ikut bersujud.  Pada hakikatnya, goncangan kebenaran telah menghancurkan rasa ingkar yang ada di dalam jiwa orang-orang yang angkuh dan pengejek; mereka tidak mampu menahan diri untuk bersujud kepada Allah.  Setelah itu mereka menyesal dan mencari alasan yang dibuat-buat tentang mengapa mereka bersujud.
Berita tentang kejadian ini sampai ke kaum muslimin yang telah berhijrah ke Habasyah, namun dalam bentuk lain.  Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam.  Tentu saja mereka merasa sangat bergembira mendengar berita ini, dan mereka pun pulang ke Mekkah pada bulan Syawwal tahun yang sama.  Tetapi, setelah mereka sampai di dekat Mekkah dan mengetahui persoalannya dengan jelas, sebagian mereka ada yang kembali ke Habasyah.  Tidak ada seorang pun dari mereka yang masuk ke Mekkah kecuali dengan sembunyi-sembunyi, atau dalam perlindungan salah seorang tokoh Quraisy.
Karena penyiksaan terhadap kaum muslimin tidak berhenti malah semakin hebat, Rasulullah saw menyuruh kembali kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah.  Hijrah kedua ini diikuti oleh 83 (delapan puluh tiga lelaki) dan 19 (sembilan belas) wanita (jadi totalnya 102 orang).  
Setelah mengetahui perihal hijrahnya kaum muslimin ke Habasyah, kaum musyrikin Quraisy menjadi amat gusar.  Mereka kemudian mengutus dua tokohnya yang gagah dan cerdas, yaitu Amru bin al-Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah (keduanya belum masuk Islam saat itu).  Kaum Quraisy mengutus mereka untuk membawa hadiah-hadiah kepada Najasyi dan para pembesar kerajaan.
Sesampainya mereka di Habasyah mereka menyerahkan hadiah-hadiah tersebut kepada para pembesar kerajaan, dan memberikan keterangan yang dapat menghasut mereka untuk mengusir kaum muslimin.  Para pembesar kerajaan pun bersepakat untuk memohon kepada Najasyi agar mengusir kaum muslimin dari Habasyah.  Setelah para pembesar Habasyah itu menghadap kepada rajanya, Najasyi memerintahkan untuk mengadakan sebuah pertemuan besar untuk memeriksa dengan baik perkara kaum muslimin tersebut. 
Maka berkumpullah seluruh pembesar kerajaan di istana, dan kemudian kaum muslimin diperintahkan untuk memasuki istana tersebut.  Amr dan Abullah ikut berada di sana.  Raja Najasyi pun mengadakan persidangan untuk menanyakan berbagai perkara sehubungan dengan agama baru yang dibawa oleh kaum muslimin dari Mekkah itu.  Dalam hal ini yang menjadi juru bicara kaum muslimin adalah Ja’far bin Abi Thalib.  Setelah persidangan dilakukan di mana di dalamnya kaum muslimin menjelaskan tentang ajaran baru mereka yang memerintahkan segala perbuatan baik dan melarang perbuatan buruk, maka Najasyi pun memahami dan membenarkan ajaran baru tersebut sebagai ajaran yang tidak berbeda dengan yang ia anut.  Bahkan, ketika ia menanyakan perihal Isa Al Masih, dan Ja’far menjawabnya dengan membacakan surat Maryam, pembacaan surat itu demikian menyentuh hati raja dan para pembesar sampai mereka meneteskan air matanya dan membasahi jenggot-jenggotnya dengan air mata mereka.  Najasyi kemudian menegaskan bahwa ajaran agama yang dibawa oleh kaum muslimin pada dasarnya sama dengan ajaran yang ia anut, dan karenanya kaum muslimin berhak hidup di tanah Habasyah tanpa gangguan.  Ia mengembalikan hadiah-hadiah itu kepada Amr dan Abdullah, dan mereka pun pulang ke Mekkah dengan menanggung rasa malu. 

HAMZAH DAN UMAR MASUK ISLAM (8)
Dalam usahanya untuk membendung dakwah Rasulullah saw, kaum musyrikin Quraisy mendatangi paman Nabi, Abu Thalib, dan memintanya untuk menghentikan kegiatan keponakannya itu, karena menurut mereka Muhammad saw telah menjelek-jelekkan kepercayaan mereka dan mencerca tuhan-tuhan mereka.  Tak lupa mereka pun mengancam Abu Thalib bila tidak memenuhi permintaan itu.  Abu Thalib pun mendatangi Rasulullah saw dan menyampaikan permintaan mereka. 
Mendengar ucapan pamannya itu, Rasulullah merasa sedih karena merasa pamannya tak sanggup lagi menolongnya, namun beliau kemudian berkata, “Demi Allah, seandainya mereka itu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku menghentikan urusan ini (urusan dakwah), aku tidak akan berhenti sebelum Allah memenangkan agama-Nya atau aku binasa karenanya.” Mendengar perkataan Rasulullah ini Abu Thalib berkata, “Kemenakanku, pergilah dan katakan apa saja yang kamu sukai.  Demi Allah, kamu tidak akan kuserahkan kepada siapapun juga, selamanya.”
Kaum musyrikin Quraisy tidak berhenti di sini.  Mereka datang lagi kepada Abu Thalib untuk mencegah dakwah Rasululullah.  Mereka datang membawa seorang pemuda yang bernama Amarah bin al-Walid bin al-Mugirah.  Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, pemuda ini adalah pemuda yang paling tampan di antara pemuda-pemuda Quraisy.  Ambillah pemuda ini, dan jadikanlah sebagai anak Anda.  Namun serahkan kepada kami kemenakan Anda yang menentang agama Anda dan agama nenek moyang Anda, meninggalkan kelompok masyarakat Anda, dan menjelek-jelekkan kepercayaan mereka, untuk kami bunuh.  Sungguh sama, seorang laki-laki ditukar dengan seorang laki-laki.”  Mendengar perkataan ini Abu Thalib menolak permintaan mereka dan mengatakan tawaran itu sebagai tawaran yang buruk. Bagaimana ia mengambil seorang pemuda untuk ia beri makan dan sebagai gantinya ia memberikan anaknya sendiri untuk mereka bunuh.
Setelah gagal dengan berbagai cara untuk menghalangi dakwah Rasulullah, kaum Quraisy pun sampai pada pemikiran untuk membunuh Nabi saw.  Salah seorang yang melakukan hal ini adalah Utaibah bin Abu Lahab, yang datang kepada beliau, kemudian menyakiti beliau, dan meludahi wajah beliau, namun ludahnya tak sampai pada wajah beliau.  Ketika itu, Nabi saw mendoakan keburukan untuknya, beliau berkata, “Ya Allah, kuasakanlah salah seorang singa-Mu kepadanya.”  Doa tersebut dikabulkan Allah.  Suatu hari ketika Utaibah melakukan perjalanan dengan teman-temannya dan sampai di wilayah Syam, di tengah malam mereka dikepung oleh seekor singa.  Singa itu menerkam Utaibah di hadapan teman-temannya.
Ada lagi orang yang menyiksa Rasulullah, ia adalah Uqbah bin Abi Mu’ith. Ia menginjak leher beliau ketika beliau sedang bersujud, sehingga kedua matanya hampir keluar.
Usaha lain untuk membunuh Nabi dilakukan Abu Jahal.  Suatu hari ia mengambil batu, kemudian duduk menanti Rasulullah saw.  Rasulullah datang sebagaimana biasanya lalu melakukan shalat.    Ketika beliau sedang sujud, Abu Jahal mengangkat batu itu, kemudiian menuju ke arah beliau.  Namun ketika ia telah sampai ke dekat Rasulullah saw, ia berbalik ketakutan dan kedua tangannya tak sanggup lagi menahan batu itu sehingga ia melemparkannya.  Ketika ditanya oleh kaumnya yang saat itu menyaksikan, apa yang terjadi dengan dirinya, Abu Jahal menjawab bahwa ia telah melihat di dekat Rasulullah seekor onta jantan.  Ia sama sekali belum pernah melihat onta jantan seperti itu, baik kepala, pangkal leher maupun taringnya.  Onta itu hampir menerkamnya.  Setelah itu dalam sebuah riwayat Rasulullah mengatakan bahwa yang dilihat oleh Abu Jahal itu adalah malaikat Jibril as.  Seandainya Abu Jahal mendekatinya, Jibril pasti akan menerkamnya.
Dalam suasana gelap yang diliputi oleh berbagai kezhaliman, cahaya petir menerangi jalan orang-orang muslim yang tertindas.  Yakni Hamzah bin Abdul Muththalib memeluk Islam, pada akhir tahun kenabian.  Suatu hari, Abu Jahal melewati Rasulullah saw di bukit Shafa, kemudian memaki-maki dan menghina beliau, dan akhirnya memukul kepala beliau dengan batu sampai bercucuran darah.  Seseorang kemudian melaporkan hal ini kepada Hamzah ketika Hamzah baru pulang dari berburu dan masih memegang busur panahnya.  Mendengar kabar ini Hamzah langsung mendatangi Abu Jahal, dan berkata kepadanya, “Kamu berani memaki-maki kemenakanku?  Ketahuilah, aku telah memeluk agamanya.”  Kemudian Hamzah memukulnya dengan busur dengan pukulan yang kuat.  Abu Jahal tak melawannya, mungkin karena sadar dengan perbuatannya atau karena tidak berani menghadapi Hamzah.  Begitulah, awalnya Hamzah memeluk Islam  karena tak sudi kemenakannya dihina dan disiksa orang, namun Allah kemudian membukakan dadanya sehingga ia menjadi orang yang berpegang teguh pada Islam dan menjadi pahlawan Islam di perang-perang yang dilalui kaum muslimin kelak.
Cahaya petir lain muncul lebih terang daripada cahaya petir yang pertama, di tengah suasana gelap kezhaliman yang meliputi kaum muslimin, adalah masuk Islamnya Umar Ibnul Khaththab, pada tahun keenam kenabian.  Ia adalah orang yang berwatak keras, dan banyak mengganggu kaum muslimin dalam menjalankan agamanya.  Namun di sisi lain ia juga berada dalam keraguan, dan sering berfikir bahwa bukan tidak mungkin Islam adalah agama yang benar. Suatu hari ia keluar dari rumahnya sambil menyandang pedang dengan tujuan membunuh Nabi saw.  Di tengah jalan ia bertemu seseorang yang mengatakan bahwa kenapa ia akan melakukan hal itu, tidakkah ia (Umar) tahu bahwa adiknya sendiri dan suaminya telah masuk Islam.  Mendengar perkataan ini Umar langsung berbalik arah dan mendatangi adiknya, Fatimah,  di rumahnya.  Ternyata di rumahnya Fatimah dan suaminya sedang membaca Al-Quran surat Taha dari lembaran-lembaran Quran (shahifah).  Umar yang telah mendengarnya dari luar masuk ke rumah dan bertanya apa yang sedang mereka lakukan.  Karena tahu karakter Umar mereka tidak mengaku telah membaca Al-Quran.  Adik iparnya berkata kepadanya bagaimana seandainya kebenaran tidak berada pada agama yang dipeluk Umar.  Mendengar perkataan ini Umar menendang suami Fatimah dengan kencang, dank ketika Fatimah hendak menolong suaminya Umar pun menampar adiknya itu sampai berdarah. 
Fatimah yang kesakitan akhirnya berkata, “Umar, jika kebenaran berada di luar agamamu, saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”  Mendengar ini dan setelah reda dari marahnya serta merasa malu telah menampar adiknya sendiri, ia kemudian meminta Fatimah untuk memberikan lembaran yang selama ini disembunyikannya.  Adiknya kemudian memintanya untuk mandi karena lembaran itu tak dapat disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci.  Setelah mandi Umar membaca lembaran tersebut.   “Bismillahirrahmanirrahim.” Umar berkata, “nama-nama yang baik dan suci”.  Ia melanjutkan, “Taha. Maa anzalnaa ‘alaikal qurana litasqaa.. sampai pada ayat “Innanii laa ilaaha illa ana fa’budnii wa aqimish shalaati lidzikrii”  (Taha.  Tidaklah Kami turunkan Al-Quran ini kepadamu untuk membuatmu susah.....  Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain Aku.  Maka, sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku)”  Umar tergetar membaca ayat-ayat ini, dan berkata, “Alangkah bagusnya kata-kata ini , dan alangkah mulianya.  Antarkan aku kepada Muhammad.” 
Umar pun diantar ke tempat di mana Rasulullah sedang berada, dan masuk Islam.  Memang sebelum kejadian ini Rasulullah pernah berdoa kepada Allah sebagai berikut, “Ya Allah muliakanlah Islam dengan salah seorang yang paling Engkau cintai di antara dua orang: Umar bin Khaththab atau Abu Jahal.”  Ternyata doa Rasulullah saw tersebut jatuh kepada Umar bin Khattab.  

TAHUN DUKA CITA (9)
Setelah masuknya Hamzah dan Umar ke dalam pangkuan Islam, awan kegelapan mulai tersingkap dan kaum musyrikin mulai sadar dari sikap mereka yang selalu menimpakan siksaan terhadap kaum muslimin.  Mereka berusaha menawarkan kepada Nabi saw segala hal yang mungkin menjadi tuntutan beliau, untuk menghentikan dakwahnya. 
Suatu hari Utbah bin Rabi’ah, seorang tokoh cendekiawan Quraisy, menemui Nabi Muhammad saw. Ia kemudian berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai putra saudaraku, jika dengan dakwah yang Anda lakukan itu Anda ingin mendapatkan harta kekayaan, maka kami akan mengumpulkan harta kekayaan yang ada pada kami untuk Anda, sehingga Anda menjadi orang yang terkaya di kalangan kami.  Jika Anda menginginkan kehormatan dan kemuliaan, Anda akan kami angkat sebagai pemimpin, dan kami tidak akan memutuskan persoalan tanpa persetujuan anda sebagai raja kami.  Jika Anda tidak sanggup menangkal jin yang merasuk ke dalam diri Anda, kami bersedia mencari tabib yang sanggup menyembuhkan Anda dan untuk itu kami tidak akan menghitung-hitung berapa biaya yang diperlukan sampai Anda sembuh.”  Mendengar penawaran Utbah itu Nabi membacakan ayat-ayat Al-Quran tentang hakikat dakwah yang dibawakan oleh Nabi hingga beliau sampai pada ayat sajadah dan beliau pun bersujud.  Utbah kembali pada kaumnya dan memberitakan percakapan antara dirinya dengan Rasululullah.  Ia menyatakan bahwa apa yang ia dengar dari Muhammad saw bukanlah syair, sihir, ataupun mantera dukun, melainkan sebuah berita yang menggemparkan.  Maka ia menyarankan agar kaum Quraisy membiarkan Muhammad mendakwahkan ajarannya.  Mendengar penuturan Utbah ini kaum Quraisy menjawab, “Demi Allah, Muhammad telah mensihirmu, wahai Abul Walid, dengan perkataanya.”
Sementara itu Abu Thalib, paman Nabi, sering merenung tentang apa yang dialami oleh keponakannya, ancaman-ancaman dari kaum Quraisy yang mengintainya, seperti usaha Abu Jahal untuk membunuhnya, Uqbah bin Abi Mu’ith yang mencekik kemenakannya, dan Umar bin Khaththab yang keluar dari rumahnya dengan menyandang pedang untuk membunuhnya.  Semua itu ia renungkan dan ia mencium rencana jahat dari kaum Quraisy terhadap keponakannya itu.  Maka ia kemudian mengumpulkan keluarganya dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib, anak-anak Abdu Manaf, dan mengajak mereka untuk melindungi dan membela kemenakannya itu.  Mereka menyambut seruan Abu Thalib tersebut, baik yang muslim maupun yang kafir, karena fanatisme kesukuan mereka, kecuali Abu Lahab.  Ia memisahkan diri dari mereka, dan bergabung dengan orang-orang Quraisy.
Setelah mengetahui adanya perjanjian di antara Bani Muththalib dan Bani Hasyim untuk melindungi dan membela Muhammad saw, kaum Quraisy kebingungan.  Sebab mereka tahu apabila mereka membunuh Muhammad, maka lembah Mekkah akan mengalirkan darah mereka.  Bahkan, boleh jadi akan menyebabkan lenyapnya mereka.  Mereka menyadari akan hal itu, maka mereka beralih kepada kezhaliman yang lain, bukan membunuh, melainkan lebih pedih dari apa yang mereka lakukan sebelumnya.  Mereka berkumpul di daerah Bani Kinanah, untuk melakukan persekongkolan terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib.  Mereka bersekongkol untuk tidak menikah dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak melakukan jual beli dengan mereka, tidak masuk ke dalam rumah mereka, dan tidak berbicara dengan mereka, sehingga mereka menyerahkan Muhammad saw kepada kaum musyrikin untuk dibunuh.  Kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah naskah perjanjian, dan digantungkan di dalam Ka’bah.  Maka, Bani Hasyim dan Bani Muththalib, baik yang mukmin maupun yang kafir, bergabung menjadi satu, kecuali Abu Lahab.  Mereka dikucilkan di perkampungan Abu Thalib, pada malam pertama bulan Muharram tahun ketujuh dari kenabian.
Pengepungan makin ketat, dan bahan-bahan makanan diblokade oleh kaum musyrikin.  Kaum musyrikin tidak membiarkan bahan makanan yang masuk ke Mekkah.  Setiap kali ada makanan yang masuk ke Mekkah, mereka segera menyerbu dan membelinya, sehingga Bani Muththalib dan Bani Hasyim mengalami kesulitan hidup.  Mereka terpaksa makan dedaunan dan kulit binatang, dan dari balik lembah pemukiman tersebut terdengar tangis bayi-bayi mereka karena kelaparan.  Mereka tidak bisa keluar dari pemukiman untuk membeli kebutuhan-kebutuhan mereka, kecuali pada bulan-bulan haram (suci), karena mereka dapat membeli makan dari kafilah yang datang ke Mekkah dari luar daerah, tapi penduduk Mekkah menghasut mereka untuk menaikkan harga barang-barang dagangan mereka sehingga kaum Muslimin tidak dapat membelinya.
Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun.  Pada bulan Muharram, tahun kesepuluh kenabian terjadilah pembatalan perjanjian tersebut, sebab orang-orang Quraisy bimbang terhadap perjanjian tersebut, antara rela dan benci.  Maka orang-orang yang membenci perjanjian tersebut berusaha untuk membatalkan perjanjian tersebut.  Allah Swt menurunkan pertolongannya. Yaitu dengan mengirim rayap untuk memakan seluruh isi perjanjian yang digantungkan di dalam Ka’bah itu, kecuali tulisan “Bismikallahumma” (Dengan menyebut Asma-Mu ya Allah).  Maka pembatalan perjanjian telah berhasil dilakukan, dan Rasulullah beserta para sahabatnya keluar dari lembah pemukiman.  Kaum musyrikin sebenarnya telah melihat salah satu tanda kenabian beliau, namun mereka seperti yang dikabarkan oleh Allah: “Wa iy yarau aayatay yu’ridhuu wayaquuluu sihrum mustamir” (Dan, jika mereka [orang-orang musyrikin] melihat suatu tanda [mu’jizat] mereka berpaling dan berkata, ‘Ini adalah sihir yang terus menerus.’) (Al-Qamar:2)
Setelah peristiwa pemboikotan itu, Abu Thalib yang usianya telah melewati 80 tahun sakit dan makin bertambah sakitnya, akibat berbagai peristiwa berat yang ia alami terutama pemboikotan yang telah melemahkan tulang-tulangnya.  Tak lama kemudian ia pun meninggal dunia, pada bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian, enam bulan setelah keluar dari lembah pemukiman tempat pemboikotan.  Sebelum wafatnya, Nabi saw mendatangi beliau dan berkata, “Paman, katakanlah laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang dapat saya jadikan hujjah untuk membela Anda di sisi Allah.”  Namun Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah yang saat itu sedang ada di dekatnya pula berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?”  Keduanya terus berbicara kepada Abu Thalib sehingga pada akhirnya Abu Thalib mengucapkan bahwa dia berada di atas agama Abdul Muththalib.  Kemudian Rasulullah saw berkata, “Aku akan memohonkan ampunan untuk Anda selama tidak dilarang.” Namun turunlah ayat Al-Quran, “Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musryik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”.  Demikianlah Abu Thalib yang selama hidupnya merupakan pelindung Nabi meninggal dalam keadaan tetap berada di atas agama nenek moyangnya.  Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Abbas bin Abdul Muththalib paman Nabi yang lain bertanya kepada Nabi, “Pertolongan apa yang dapat kamu berikan kepada pamanmu Abu Thalib yang telah melindungimu dan marah karena kamu?” Beliau menjawab, “Di berada di neraka yang paling atas.  Seandainya bukan karena aku, dia berada di neraka paling bawah.”
Setelah Abu Thalib wafat, dua atau tiga bula kemudian Ummul mu’minin Khadijah ra wafat pula, pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian.  Saat itu ia berumur enam puluh lima tahun, sedang Rasulullah berusia lima puluh tahun.  Khadijah adalah nikmat yang Allah karuniakan kepada Rasulullah saw.  Selama seperempat abad, ia hidup mendampingi Rasulullah saw, menghiburnya ketika beliau sedang gelisah, mendukungnya pada sat beliau mengalami kehidupan yang sulit, membantunya dalam menyampaikan risalah, turut serta dalam memikul beban perjuanganyang pahit, dan membantunya dengan jiwa dan hartanya.  Rasulullah bersbda, “Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari aku, membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan aku, membantuku dengan hartanya ketika orng-orang tidak membantu, Allah mengaruniai aku anak-anaknya, dan tidak mengaruniai anak selain darinya.”
Sepeninggal Abu Thalib dan Khadijah kaum Quraisy bertambah leluasa melancarkan penyiksaan kepada beliau, sampai orang awam Quraisy berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah saw.  Pernah Rasulullah pulang ke rumahnya dalam keadaan berlumuran darah.  Ia berkata kepada putrinya yang menangis melihat keadaan beliau, “Janganlah engkau menangis wahai anakku, sesungguhnya Allah akan menolong bapakmu.”  Beliau juga berkata, “Orang-orang Quraisy tidak dapat menimpakan sesuatu yang tidak saya sukai sehingga Abu Thalib meninggal.”
Demikian kesedihan yang dialami Rasulullah saw mulai dari pemboikotan sampai meninggalnya dua orang yang ia cintai, pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah.  Beliau menamakan tahun ini sebagai “Tahun Duka Cita”, karena begitu hebatnya penderitaan di jalan dakwah pada tahun ini.

DAKWAH KEPADA KABILAH-KABILAH ARAB (10)
Pada bulan Syawwal di tahun kesepuluh kenabian, setelah meninggalnya Khadijah, Rasulullah saw menikahi Saudah bin Zam’ah. Saudah termasuk orang yang telah lama memeluk Islam, dan ikut berhijrah ke Habasyah dalam rombongan yang kedua.  Saudah adalah janda dari Sukran bin Amru, yang juga berhijrah bersama Saudah namun meninggal di Habasyah.  Setelah itu, Rasulullah meminangnya dan menikahinya.  
Pada bulan yang sama Rasululullah saw keluar menuju Tha’if.  Jarak antara Tha’if dan Mekkah sekitar enam puluh mil.  Perjalanan tersebut beliau tempuh dengan berjalan kaki, pulang-pergi.  Beliau ditemani oleh Zaid bin Haritsah, budak beliau yang kemudian beliau angkat sebagai anak.  Setiap melewati suatu kabilah di jalan, beliau serukan Islam kepada mereka, namun tidak ada seorang pun yang menyambutnya.  Rasulullah berada di Tha’if selama sepuluh hari.  Selama itu, beliau mendatangi dan mengajak seluruh pemuka mereka.  Namun mereka mengatakan, “Keluarlah kamu dari daerah kami!”  Kemudian, mereka mengerahkan orang-orang bodoh mereka.  Ketika hendak keluar, beliau diikuti oleh orang-orang bodoh itu dan budak-budak mereka yang berteriak-teriak mencaci-maki beliau.  Mereka berbaris sambil melempari beliau dengan batu sehingga kedua sandalnya terwarnai dengan darah.  Zaid bin Haritsah berusaha keras melindungi beliau dengan dirinya walaupun ia sendiri terluka pada kepalanya.  Dalam penuturannya kepada ‘Aisyah, Rasulullah bercerita tentang apa yang beliau alami di Thai’fi: “Dalam perjalanan pulang ke Mekkah dari Tha’if, aku mengangkat kepalaku dan terlihat awan yang menaungiku.  Ternyata di atas Jibril memanggilku, dan berkata, ‘Allah telah mengutus seorang malaikat pengurus gunung kepadamu untuk kamu perintahkan sesuai dengan kehendakmu terhadap mereka (penduduk Tha’if).  Malaikat pengurus gunung itupun memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku, lalu berkata, ‘Muhammad, begitulah, terserah kamu.  Jika kamu mau, akan aku tutupkan kepada mereka dua gunung Mekkah (yaitu gunung Abu Qubais dan gunung Qa’iqa’an yang saling berhadapan).”  Namun Rasulullah berkata, “Janganlah kau lakukan, tetapi saya berharap semoga Allah ‘Azza wa Jalla melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang hanya beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
Demikian jawaban Rasulullah terhadap tawaran malaikat pengurus gunung itu, yang darinya tampak jelas kepribadian beliau yang sangat istimewa dan akhlak beliau yang mulia.  Beliau tidak mendendam kepada orang-orang yang telah melukainya melainkan mendoakan kebaikan untuk mereka.   
Pada bulan Dzul Qa’adah tahun kesepuluh kenabian, Rasulullah saw kembali ke Mekkah, untuk memulai menawarkan Islam kepada kabilah-kabilah dan pribadi-pribadi, sehubungan dengan hampir tibanya musim haji.  Pada musim haji itu, orang-orang berdatangan ke Mekkah dari berbagai penjuru dengan berjalan kaki dan mengendarai onta.  Maka Rasulullah saw pun memanfaatkan kesempatan tersebut.  Beliau mendatangi setiap kabilah, untuk menawarkan Islam dan berdakwah kepada mereka.  Ada sekitar 15 (lima belas) kabilah yang didatangi Rasulullah pada waktu itu. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang menyambut seruan beliau tersebut. 
Di samping kepada kabilah-kabilah, Rasulullah saw juga menawarkan Islam kepada pribadi-pribadi.  Di antara orang-orang yang beliau ajak tersebut, ada yang menyambutnya dengan baik, dan beberapa orang lelaki beriman kepadanya, tidak lama setelah musim haji berakhir.  Di antara mereka adalah:
1.       Suwaid bin Shamit, seorang penyair dari Yatsrib (Madinah).  Ia datang ke Mekkah dalam rangka melakukan haji dan umrah, kemudian diserukan Islam kepadanya oleh Rasulullah saw.  Ketika beliau membacakan Al-Quran dan menyerukan Islam kepadanya, ia berkata, “Sesungguhnya ini adalah perkataan yang bagus.”  Ia masuk Islam pada awal tahun kesebelas kenabian.   
2.       Iyyas bin Mu’adz, seorang pemuda dari Yatsrib.  Awalnya ia datang ke Mekkah bersama rombongan kabilah Aus, dalam rangka mencari sekutu di antara orang-orang Quraisy untuk menghadapi kabilah Khazraj yang memang telah bermusuhan dalam waktu yang lama dengan kabilah Aus.  Setelah ia dan rombongannya pulang ke Yatsrib, Iyyas meninggal.  Namun sebelum kematiannya, ia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.  Kaumnya tidak meragukan bahwa Iyyas mati dalam keadaan muslim.  
3.       Abu Dzar al-Ghifari, salah seorang penduduk Yatsrib.  Ia datang sendirian ke Mekkah khusus unuk menemui Rasulullah saw yang telah ia dengar mengaku sebagai seorang nabi.  Setelah menemui Rasulullah dan mendapat penerangan tentang Islam dari beliau ia pun masuk Islam.  Setelah itu, walau diperintah Nabi untuk menyembunyikan keislamannya, Abu Dzar datang ke tempat berkumpulnya orang-orang Quraisy dan menyatakan keislamannya.  Kontan saja ia dihajar oleh mereka dan hampir saja dibunuh, kalau tidak ditolong oleh Abbas, yang mengatakan bahwa Abu Dzar adalah seseorang yang berasal dari Ghifar, tempat lalu lintas perdagangan suku Quraisy.  Kalau sampai Abu Dzar mati di tangan suku Quraisy, pasti mereka akan kesulitan melintasi  Ghifar.  Akhirnya mereka pun melepaskan Abu Dzar. 
4.       Tufail bin Amru ad-Dausi, seorang terhormat, pimpinan kabilah Daus.  Setelah menemui Rasulullah ia pun menerima seruannya dan masuk Islam. Tufail kemudian pulang ke kabilahnya dan mulai mendakwahkan Islam kepada orang tua dan istrinya serta kaumnya kepada Islam, sehingga kelak ia mengislamkan sekitar tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari kaumnya.  Kelak ia ikut berjuang mempertahankan Islam dan mati syahid dalam perang Yamamah.
5.       Dhamad al-Azdi, seseorang dari Bani Azd Syanu’ah dari Yaman.  Ia adalah seorang yang suka merukyah (menyembuhkan orang gila). Ketika ia datang ke Mekkah, ia mendengar dari orang-orang bodoh tentang Muhammad saw yang katanya orang gila.  Ia kemudian datang kepada Nabi Muhammad dengan maksud menyembuhkannya (dalam fikirannya).  Namun ketika ia menemui beliau dan mendengar kata-kata beliau tentang Islam, ia justru menjadi tertarik dan berkata, “Aku telah mendengar perkataan dukun, perkataan tukang sihir, dan perkataan penyair.  Namun aku belum pernah mendengar perkataan seperti perkataanmu ini.  Perkataan itu telah mencapai lautan.  Ulurkan tanganmu, aku akan membai’atmu atas Islam. “  Dhamad pun kemudian membai’at beliau. 
Pada musim haji tahun kesebelas dari kenabian (Juli 620 M), dakwah Islam menemukan bibit-bibit yang baik.  Tidak lama kemudian, bibit-bibit tersebut berubah menjadi pohon yang tinggi, dijadikan sebagai tempat bernaung oleh kaum Muslimin dari berbagai kezhaliman, selama bertahun-tahun. 
Pada suatu malam, dalam perjalanannya bersama Abu Bakar dan Ali untuk mendakwahkan Islam secra diam-diam kepada kabilah-kabilah, Rasulullah saw bertemu dengan enam orang pemuda yang berasal dari Yatsrib, dari kabilah Khazraj.  Atas persetujuan mereka, Nabi pun kemudian mulai menjelaskan hakikat Islam kepada mereka berikut dakwahnya, mengajak mereka kepada Allah Azza Wa Jalla, dan membacakan Al-Quran kepada mereka. 
Para pemuda itu adalah cendekiawan Yatsrib. Mereka telah mengalami perang saudara yang belum lama berlalu, yaitu peperangan antara kaum Khazraj dan kaum Aus, suatu peperangan yang apinya terus berkobar.  Mereka berharap semoga dakwah Rasulullah saw ini menjadi penyebab bagi terhentinya peperangan tersebut.  Mereka berkata, “Sesungguhnya kami adalah kaum yang masih memiliki rasa permusuhan satu sama lain.  Mudah-mudahan Allah menyatukan kami melalui Anda.  Kami akan mendatangi kaum kami dengan membawa apa yang telah kami terima dari Anda.  Apabila Allah menyatukan mereka melalui Anda, maka tidak ada orang yang lebih mulia daripada Anda.”  Para pemuda itupun menyatakan keislamannya kepada Rasulullah, dan setelah pulang ke Madinah, mereka mendakwahkan Islam kepada kaum mereka, sehingga di antara rumah-rumah kaum mereka (yang kemudian disebut kaum Anshar) tidak ada satu rumah pun yang tidak menyebutkan Rasulullah.
----
ISRA MI’RAJ DAN PERJANJIAN AQABAH PERTAMA (11)

Ketika Nabi saw berada dalam suatu fase yang ketika itu dakwah beliau berada di antara keberhasilan dan penyiksaan, dan beliau hanya melihat bintang kecil yang bersinar di langit yang tinggi, terjadilah peristiwa Isra dan Mi’raj, pada sekitar tahun ketiga belas kenabian.  Isra adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Palestina, sedangkan Mi’raj adalah naiknya Nabi Muhammad dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha.  Dalam perjalanan ini Nabi saw menaiki kendaraan bernama Buraq dan ditemani oleh Malaikat Jibril.  Allah memperjalankan hambanya ini untuk mmperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Isra ayat 1: “Subhaanalladzii asraa bi’abdihii lailam minal masjidil haraami ilal masjidil aqshalladzii baaraknaa haulahuu linuriyahuu min aayaatinaa. Innahuu huwas samii’ul bashiir.” (Maha Suci Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang di sekitarnya teleh diberkahi, agar Ia memperlihatkan padanya sebagian tanda-tanda kekuasan-Nya.  Sesungguhnya Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” 

Dalam perjalanan Mi’raj Nabi menaiki 7 (tujuh) lapis langit, dan bertemu dengan para nabi di masing-masing lapisan tersebut, yaitu nabi-nabi sbb: Nabi Adam as, Nabi Yahya as dan Nabi Isa as, Nabi Yusuf as, Nabi Idris as, Nabi Harun as, Nabi Musa as, dan Nabi Ibrahim as. Setelah itu Nabi naik ke Sidratul Muntaha dan menerima perintah shalat dari Allah Swt.  Awalnya beliau diperintahkan untuk shalat 50 kali sehari, namun kemudian setelah kembali dan melewati Nabi Musa, Nabi Musa menyarankan agar Nabi Muhammad saw minta keringanan.  Beliau kembali kepada Allah dan meminta keringanan, sehingga Allah swt mengurangi kewajiban shalat menjadi 40 kali.  Demikian seterusnya Nabi bolak-balik antara Musa dan Allah Swt sampai Allah memerintahkan shalat hanya 5 kali sehari, yang setelah itu Nabi Muhammad merasa malu untuk meminta lagi keringanan. 

Dalam peristiwa ini Nabi Muhammad saw juga menyaksikan surga dan neraka.  Di neraka beliau melihat siksaan yang ditimpakan kepada para pemakan anak yatim, pemakan riba, pezina, dan wanita yang menasabkan anak-anak mereka kepada para lelaki yang bukan bapak dari anak-anak itu.  Keesokan harinya beliau mengabarkan hal ini kepada kaumnya, maka semakin bertambahlah pendustaan dan permusuhan kepada beliau.  Ketika beliau diminta memberikan bukti-bukti tentang kebenaran peristiwa yang beliau alami ini, maka beliau menceritakan tentang keadaan Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha), juga tentang kafilah Quraisy yang beliau lihat dalam perjalanan berangkat dan pulang.  Walaupun hal-hal tersebut benar adanya, kaumnya tetap mengingkarinya dan makin menentangnya.  Hanya Abu Bakar ra saja yang membenarkan cerita beliau ini, dan karenanya Abu Bakar digelari ash-shiddiq karena membenarkan peristiwa itu ketika manusia mendustakannya.

Hikmah peristiwa Isra Mi’raj adalah agar Nabi Muhammad saw merasa yakin dengan risalah yang diamanatkan oleh Allah swt kepada beliau, sebab melihat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt dengan mata kepala sendiri tentu tidak sama dengan hanya mendengar berita saja.  Sehingga, Nabi memiliki kesabaran yang tidak dimiliki oleh orang lain, dalam meniti jalan Allah; dan seluruh kekuatan dunia di hadapannya tidak lebih dari sayap seekor nyamuk.  Mereka tidak peduli ketika kekuatan dunia tersebut menghadapapi mereka dengan berbagai ujian dan penyiksaan.

Dalam episode sebelumnya diceritakan tentang enam orang penduduk Yatsrib yang telah memeluk Islam pada musim haji tahun kesebelas kenabian, dan mereka berjanji kepada Rasulullah saw untuk menyebarkan risalah beliau di tengah-tengah kaum mereka. 
Sebagai hasilnya, pada musim haji tahun kedua belas kenabian (Juli 621 M) dua belas orang datang menemui Rasulullah saw.  Di antara dua belas orang itu terdapat lima dari enam orang yang pernah menemui Rasulullah saw pada tahun sebelumnya.  Satu orang yang tidak ikut hadir dari enam orang itu adalah Jabir bin Abdillah bin Ri’ab.  Tujuh orang lainnya dari kedua belas orang itu adalah: Mu’adz bin al-Harits, Dzakwan bin Abdul Qais, Ubadah bin Shamit, Yadsid bin Tsa’labah, Al Abbas bin Ubadah, Abul Haitsam bin at-Tihan, dan Uwaim bin Sa’idah.  Dua belas orang yang itu menemui Rasulullah saw di Aqabah, Mina.  Imam Bukhari meriwayatkan dari jalur Ubadah bin Tsamit bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kemarilah!  Berbaiatlah kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak akan berdusta untuk menutup-nutupi apa yang ada di depan atau di belakangmu, dan tidak akan membantah perintahku dalam hal kebaikan.  Jika kamu memenuhi janji, pahalanya terserah kepada Allah.  Jika kamu melanggar sesuatu dari janji itu, lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu merupakan kafarat baginya.  Jika kamu melanggar sesuatu dari janji itu, kemudian Allah menghendaki, Allah akan menyiksanya, atau memberi ampunan menurut kehendak-Nya.”  Kemudian mereka pun berbaiat kepada beliau.    Peristiwa ini dikenal sebagai Perjanjian Aqabah pertama.

Setelah dilaksanakannya baiat tersebut dan musim haji berakhir, Nabi saw mengutus duta pertama ke Madinah, yang diikutsertakan bersama orang-orang yang telah berbaiat tersebut.  Tujuannya untuk mengajarkan hukum-hukum Islam dan pemahaman tentang agama kepada kaum Muslimin yang ada di ssana, dan menyebarkan Islam di tengah-tengah orang-orang yang masih menganut kemusyrikan.  Untuk tugas ini, beliau memilih salah seorang pemuda Islam dari as-Sabiqunal Awwalun, yaitu Mush’ab bin Umair al-Abdari ra.

Mush’ab bin Umair tinggal di rumah As’ad bin Zararah.  Keduanya kemudian menyebarkan Islam di tengah-tengah penduduk Yatsrib, dengan penuh semangat.  Dengan kegiatan penyebarannya ini tidak ada satu perkampungan pun di antara perkampungan-perkampungan kaum Anshar kecuali di dalamnya terdapat lelaki dan wanita muslim, kecuail di perkampungan Bani Umayyah bin Zaid, Khuthamah dan Wail, sebab di tengah-tengah mereka terdapat ahli syair yang bernama Qais bin al-Aslat yang ditaati oleh penduduk sekitarnya, yang telah mencegah mereka untuk memeluk Islam hingga terjadi peperangan Khandaq, yaitu tahun kelima Hijrah.

Menjelang datangnya musim haji berikutnya, yaitu musim haji tahun ketiga belas kenabian, Mush’ab bin Umair kembali ke Mekkah membawa berita gembir kepada Rasulullah saw.  Ia menceritakan kepada belaiu perihal kabilah-kabilah Yatsrib berikut kebaikan dan kekuatan mereka.

BAIAT AQABAH KEDUA DAN PERSIAPAN HIJRAH (12)
Pada musim haji tahun ketiga belas kenabian (Juni 622H) tujuh puluh lebih kaum muslimin dari penduduk Yatsrib datang untuk menunaikan manasik haji.  Mereka datang bersama rombongan haji kaum mereka dari kaum musyrikin.  Kaum muslimin saling bertanya di antara sesama mereka di perjalanan, “Sampai kapan kita membiarkan Rasulullah saw dihardik dan diancam ketika beliau berkeliling berdakwah di bukit-bukit Mekkah?”  Setelah sampai di Mekkah, terjadilah kontak rahasia antara mereka dan Nabi saw sehingga terjadilah kesepakatan antara kedua pihak untuk berkumpul di lembah yang berada di pinggir Aqabah, dan pertemuan itu dilakukan secara rahasia, di tengah-tengah kegelapan malam. 
Setelah semuanya hadir, dimulailah pembicaraan untuk menetapkan perjanjian keagamaan dan militer.  Perihal isi bai’at tersebut telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir secara rinci.  Jabir berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang perlu kami nyatakan kepada Anda dalam pembicaraan ini?”  Beliau menjawab:
1.       Berjanji untuk taat dan setia kepadaku baik dalam keadaan sibuk maupun senggang.
2.       Berjanji untuk tetap berinfaq baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit.
3.       Berjanji untuk tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
4.       Berjanji untuk tetap teguh membela kebenaran kepada Allah, tanpa rasa takut dicela oleh orang yang mencela.
5.       Berjanji untuk tetap membantuku dan membelaku apabila aku telah berada di tengah-tengah kalian, sebagaimana kalian membela diri kalian sendiri dan anak istri kalian. Dengan demikian, kalian akan memperoleh surga.
Kaum muslimin menyepakati isi baiat tersebut, Al-abbas bin Ubadah salah seorang yang hadir berkata, “Tahukah kalian, untuk apa kalian berbaiat kepada orang ini?” Mereka menjawab, “Ya, kami mengetahui.” Dia berkata, “Kalian berbai’at kepada beliau untuk memerangi orang-orang berkulit merah dan hitam.  Apabila suatu saat nanti harta kalian habis dan pemimpin-pemimpin kalian terbunuh, lalu kalian menyerahkan beliau kepada musuh-musuhnya, maka sejak sekarang tinggalkan saja dia.  Demi Allah, jika kalian melakukan hal itu, sesungguhnya hal itu adalah sehina-hina dunia dan akhirat.  Tetapi, apabila kalian bersungguh-sungguh untuk setia kepadanya dan kepada agama yang diserukannya, meskipun harta kalian habis dan pemimpin-pemimpin kalian terbunuh, ikutilah dia.  Demi Allah, hal itu adalah sebaik-baik dunia dan akhirat.”  Mereka berkata, “Kami akan mengikutinya meskipun harta kami habis dan pemimpin-pemimpin kami terbunuh.  Balasan apa yang akan kami peroleh, wahai Rasulullah,  jika kami melakukan hal itu?”  Beliau menjawab, “Surga.” 
Setelah menyetujui isi bai’at itu, dimulailah pelaksanaan bai’at dengan berjabat tangan.  Satu persatu di antara tujuh puluh orang kaum muslimin itu berjabatan tangan dengan Rasulullah saw.  Ada dua orang wanita yang hadir dalam bai’at tersebut, yakni Nasibah binti Ka’b dan Asm’a binti Amru.  Rasulullah membai’at mereka hanya dengan perkataan dan tidak bersalaman dengan mereka karena beliau tak pernah berjabat tangan dengan wanita asing (bukan muhrimnya).
Itulah bai’at Aqabah kedua yang dikenal dengan bai’at Aqabah kubra yang berhasil dilaksanakan dalam suasana yang penuh dengan rasa cinta dan loyal di antara sesama kaum mukmin, serta kepercayaan dan keberanian. Untuk meniti jalan tersebut seorang mukmin dari penduduk Yatsrib berpihak kepada saudara-saudaranya yang lemah yang berada di Mekkah, membelanya, marah terhadapa orang yang menzhaliminya, dan dalam kalbunya timbul perasaan sayang kepada saudaranya yang ia cintai karena Allah.
Demikianlah bai’at Aqabah berhasil dilaksanakan, dan Islam berhasil mendirikan suatu negara di tengah-tengah gurun sahara yang dipenuhi oleh kekufuran dan kejahilan.  Hal ini merupakan prestasi terpenting yang diraih oleh Islam sejak awal dakwahnya.  Setelah perjanjian ini Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Yatsrib. 
Hijrah bukan sekadar mengorbankan segala kepentingan dan harta benda dan menyelematkan diri semata, tetapi juga kesadaran bahwa di tengah jalan mungkin saja dirampok, bahkan mungkin pula akan direnggut nyawanya.  Hijrah juga berarti perjalanan ke masa depan yang masih belum jelas, di samping kesulitan dan penderitaan yang akan dialami di kemudian hari. Kaum muslimin yang pertama-tama melakukan hijrah di antaranya: Abu Salamah (yang kemudian disusul oleh istri dan anaknya), Shuhaib, Umar bin Khattab.  Mereka dihalang-halangi oleh kaum musryikin Quraisy untuk keluar dari Mekkah.  Namun demikian, kaum muslimin tetap keluar meninggalkan Mekkah secara silih berganti.  Setelah dua tahun lebih dari bai’at Aqabah Kubra, tidak ada kaum muslimin yang tersisa di Mekkah, kecuali Rasulullah saw, Abu Bakar, Ali, dan orang-orang yang ditahan oleh kaum musyrikin secara paksa. 
Kaum musyrikin melihat para sahabat Nabi telah keluar meniggalkan Mekkah membawa istri, anak dan harta ke Yatsrib.  Karena itu mereka sangat cemas, terbayang di hadapan mereka bahaya besar yang mengancam eksistensi paganism dan perekonomian mereka. Di samping mengetahui kesempurnaan kepemimpinan Nabi serta tekad dan pengorbanan yang dimiliki oleh para sahabat beliau, kaum musyrikin juga mengetahui bahwa Madinah adalah tempat strategis bagi perdagangan yang melewati pantai-pantai laut merah, dari Yaman ke Syam.  Tidaklah tersembunyi bahaya besar yang mengancam orang-orang Quraisy bila dakwah Islam terpusat di Madinah dan penduduknya melakukan perlawanan terhadap mereka.
Pada hari Kamis tanggal 26 hafar tahun keempat belas kenabian, di pagi hari menjelang siang, kaum Quraisy mendakan sebuah pertemuan, dan pertemuan tersebut merupakan pertemuan terpenting dalam sejarah mereka.  Pertemuan tersebut dihadiri oleh seluruh wakil dan kabilah-kabilah Quraisy, untuk mempelajari rencana pasti yang secara tepat dapat membinasakan pembawa panji dakwah Islam dan mematikan cahaya dakwah Islam secara total.  Setelah mereka mengajukan dan membahas berbagai pendapat, maka salah satu pendapat akhirnya disepakati oleh mereka.  Pendapat ini adalah pendapat gembong penjahat Mekkah, yaitu Abu Jahal bin Hisyam.  Ia berkata, “Aku berpendapat hendaknya kalian mengambil seorang pemuda yang berkedudukan terhormat, kuat dan perkasa dari setiap kabilah Quraisy.  Setiap pemuda itu kita beri sebilah pedang yang ampuh, kemudian secara bersama-sama mendatangi Muhammad, lalu membunuhnya dengan serentak.  Jika pembunuhan itu berhasil, tanggung jawab atas kematiannya terbagi rata di antara semua kabilah Quraisy, sehingga Bani Abdi Manaf tidak akan berani melancarkan serangan pembalasan terhadap seluruh kaum mereka.  Bagi mereka hanya ada satu kemungkinan, yaitu menuntut diyat (denda). 
Setelah keputusan untuk membunuh Muhammad saw ditetapkan, malaikat Jibril turun kepada beliau membawa wahyu Allah Swt, mengabarkan kepadanya persekongkolan orang-orang Quraisy, dan mengabarkan bahwa Allah Swt telah mengizinkan beliau untuk keluar dari Mekkah serta menentukan waktu keberangkatannya dengan mengatakan, “Pada malam ini, janganlah kamu tidur di atas ranjang tempat kamu biasa tidur.”
Pada siang hari itu pula, para gembong penjahat Quraisy sibuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan rencana yang telah ditetapkan oleh Parlemen Mekkah pada pagi hari.  Untuk melaksanakan rencana tersebut, dipilihlah sebelas orang di antara gembong-gembong tersebut, termasuk di dalamnya Abu Jahal bin Haisyam dan Abu Lahab.  Waktu yang telah ditetapkan untuk melaksanakan makar tersebut adalah tengah malam.  Maka mereka pun menunggu sampai jam nol.  Tetapi Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, dapat berbuat sekehendak-Nya, dan Dia memberikan perlindungan kepada hamba-Nya.

HIJRAH KE MADINAH (13)
Allah berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 30:
Wa idz yamkuru bikal ladziina kafaruu liyutsbituuka au yaqtulluka au yukhrijuuka. Wayamkuruuna wayamkurullaah.  Wallahu khairul maakiriin.
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu.  Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggaggalkan tipu daya itu.  Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.”
Malam itu, Nabi saw menyuruh Ali untuk tidur di tempat tidurnya dan memakai selimut yang biasa ia pakai.  Pada tengah malam Rasulullah saw pergi keluar rumahnya dan melewati orang-orang Quraisy itu yang sudah lama mengintai rumahnya.  Beliau mengambil segenggam tanah dan ditaburkan ke kepala mereka sambil membaca ayat:
Waja’alnaa min baini aidiihim saddaw wamin khalfihim saddan faaghsyainaahum fahum laa yubshiruun.
“Dan kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), serta Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (Yasin:9).
Maka, Allah pun menutup mata mereka sehingga mereka tidak dapat melihat beliau.  Kemudian beliau berjalan menuju rumah Abu Bakar.  Setelah itu, mereka keluar menuju goa Tsur, ke arah Yaman.  Sementara orang-orang kafir Quraisy gagal melaksanakan rencananya ketika mereka membuka selimut di tempat tidur Nabi mereka mendapati Ali yang sedang tidur dan bukannya Nabi saw yang tadinya hendak mereka bunuh.
Ada beberapa peristiwa menarik sehubungan dengan hijrah beliau ke Madinah, di antaranya sebagai berikut:
1.       Dalam perjalanan, untuk menghindari kejaran orang-orang kafir Quraisy, Nabi saw bersama Abu Bakar bersembunyi di sebuah gua di gunung Tsur, karenanya dikenal sebagai gua Tsur.  Gua tersebut sangat sempit.  Ketika mereka sudah berada di dalam gua orang-orang Quraisy mendekati gua itu, demikian dekat sehingga seandainya mereka melihat ke bawah mereka pasti melihat Nabi dan Abu Bakar di dalam gua itu. Abu Bakar sangat khawatir menghadapi situasi ini, namun Nabi saw berkata, “Wahai Abu Bakar, jangan kamu kira kita hanya berdua, Allah bersama kita.”  Orang-orang Quraisy itu pun kembali, padahal jarak antara mereka dengan Nabi dan Abu Bakar itu sangat dekat.
2.       Para pemimpin Quraisy kalap dengan kenyataan bahwa Rasulullah saw telah lolos dari cengkeraman mereka.  Maka mereka berusaha mencari berbagai cara untuk mengejarnya, salah satunya adalah dengan mengumumkan bahwa barangsiapa yang berhasil menangkap Nabi saw akan diberi hadiah berupa seratus ekor unta.  Salah seorang yang tertarik dengan hadiah ini adalah Suraqah bin Malik, dan dia berusaha mengejar Nabi saw dengan berkuda.  Namun ketika ia sudah berada dekat di belakang Nabi dan Abu Bakar yang juga berkuda, kudanya terantuk batu dan terpelanting.  Ia membangunkan kudanya dan berusaha mengejar lagi mereka namun sekali lagi kudanya terperosok ke tanah dan terpelanting.  Akhirnya ia pun mengurungkan niatnya, dan berfikir bahwa Muhammad saw adalah pihak yang akan menang.  Ia kemudian berbicara baik-baik dengan Nabi dan memberi tahu perihal diyat yang diberlakukan untuk beliau, dan kemudian kembali ke Mekkah.  Sepanjang perjalanan ia menghalangi orang-orang yang berusaha untuk mengejar Nabi.  Demikianlah kisah tentang Suraqah bin Malik, yang di pagi hari berjuang membunuh Nabi dan Abu Bakar, namun di sore harinya ia berbalik menjadi pelindung mereka.
3.       Dalam perjalanan itu, Rasulullah saw melewati rumah Ummu Ma’bad, beliau adalah seseorang yang suka memberi makan dan minum orang-orang yang melewatinya.  Beliau melihat seekor kambing milik Ummu Ma’bad yang katanya tidak mengeluarkan susu.  Beliau mengambil kambing itu, memnyebut nama Allah, berdoa, dan kemudian atas izin Ummu Ma’bad memerah susunya.  Maka, kambing itupun menjadi berisi dan mengeluarkan air susu yang banyak sampai memenuhi sebuah bejana.  Nabi kemudian membagikan susu itu untuk Ummu Ma’bad, Abu Bakar dan dirinya saw.
4.       Di tengah perjalanan, Nabi saw berjumpa dengan Buraidh, pemimpin salah satu kabilah Quraisy yang keluar dalam rangka mencarai Nabi saw dan Abu Bakar dengan harapan mendapatkan hadiah dari orang-orang Quraisy.  Setelah berjumpa dengan Nabi saw dan diajak bicara oleh beliau, akhirnya ia dan tujuh puluh orang dari kaumnya memeluk Islam.
Pada hari Senin tanggal 8 Rabiul Awwal tahun keempat belas kenabian, sekitar 10 hari sejak meninggalkan Mekkah, Rasulullah saw tiba di Quba, sebuah tempat dekat Yatsrib.  Kaum Muslimin yang setiap hari menunggu mereka menjemput beliau, bertakbir dan memberikan penghormatan kepada beliau.  Mereka mengerumuni beliau, dan beliau diliputi oleh rasa ketenangan.
Rasulullah saw singgah di Quba selama empat hari.  Di sana, beliau mendirikan masjid Quba.  Masjid ini adalah masjid pertama yang didirikan setelah kenabian yang didasarkan atas ketakwaan.  Pada hari kelima Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar bergerak menuju Madinah.  Hari itu adalah hari Jumat, tanggal 13 Rabi’ul Awwal tahun keempat belas kenabian atau tahun pertama Hijriah.  Setelah melakukan shalat Jumat, Nabi saw masuk ke Yatsrib. 
Hari itu adalah hari yang sangat bersejarah.  Suara tahmid menggema di rumah-rumah.  Sebagai ungkapan rasa gembira, anak-anak kaum Anshar mengalunkan baitu-bait syair sebagai berikut:
Bulan purnama telah bersinar menerangi kami
Dari Tasniyyat Wada’
Kita wajib bersyukur atas kedatangan seorang da’i
Yang menyeru kepada Allah
Wahai (Nabi) yang diutus kepada kami
Engkau datang membawa perkara yang ditaati

Kaum Anshar tidak semuanya kaya raya, tetapi setiap mereka mengharapkan Rasulullah saw tinggal di rumahnya.  Setiap kali beliau melewati rujmah orang-orang Anshar, mereka mengambil tali kekang kendaraannya dan berkata, “Mari menuju kekuatan, senjata, dan perlindungan.”  Namun beliau berkata, “Lepaskanlah, sebab ia diperintah”.  Onta beliau terus berjalan sampai di suatu tempat, lalu berderum.  Tampat beliau turun ini adalah tempat Bani an-Najjar paman-paman Nabi saw dari pihak ibunya dan itu atas taufik Allah kepada ontanya.  Beliau ingin tinggal di tengah-tengah paman-paman beliau untuk menghormati mereka.  Nantinya di tempat itulah didirikan Masjid Nabawi yang kita kenal sekarang.
Sampai di sini, berakhirlah bagian kehidupan Rasulullah saw dan dakwah Islam pada fase Mekkah, dan dimulailah fase kehidupan dan perjuangan dakwah beliau di Madinah.



KEHIDUPAN AWAL DI MADINAH

Pertama-tama perlu diketahui kondisi masyarakat Madinah pada saat Rasulullah saw tiba di Madinah.   Ada tiga golongan yang beliau hadapi, yakni sebagai berikut:

(1) Para sahabat beliau ra, yang terdiri atas Kaum Anshar (orang-orang muslim Madinah) dan kaum Muhajirin (orang-orang yang ikut berhijrah ke Madinah).  Kaum Anshar karena berada di dalam negeri sendiri bersama harta mereka tidak punya keperluan selain rasa aman di dalam kelompoknya.  Sebelumnya, di antara kaum Anshar ini terdapat permusuhan sengit sejak dahulu kala, yaitu permusuhan antara suku Aus dan suku Khazraj.  Sedang kaum Muhajirin tidak memiliki semua yang dimiliki oleh kaum Anshar.  Mereka datang ke Madinah tanpa membawa apa-apa.  Setiap hari jumlah mereka bertambah, sebab setiap orang yang masuk Islam di Mekkah diizinkan untuk berhijrah.  Madinah bukanlah negeri yang kaya raya, maka dengan perpindahan kaum Muhajirin ini perekonomian Madinah menjadi goncang, di samping berbagai kekuatan yang memusuhi Islam melakukan semacam pemboikotan ekonomi, yang menyebabkan barang-barang impor berkurang, dan keadaan pun menjadi gawat; 

(2) Kaum musyrikin yang belum beriman, mereka termasuk inti dari kabilah-kabilah di Madinah.  Mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap kaum Muslimin.  Di antara mereka masih ada yang dihinggapi keraguan untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka, dan tidak menyembunyikan permusuhannya terhadap Islam dan kaum Muslimin.   Namun di antara mereka ada juga yang menyembunyikan permusuhannya kepada Rasulullah saw dan kaum Muslimin, tetapi tidak mampu menghadapi kaum Muslimin, bahkan terpaksa menampakkan rasa cinta, karena kondisi yang tidak memungkinkan. Di antara tokoh mereka adalah Abdullah bin Ubay.  Sebelum kedatangan Nabi, kabilah Aus dan Khazraj telah bersepakat untuk menjadikannya pemimpin.  Hampir saja ia menjadi raja Madinah, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan Muhammad Rasulullah saw dan berpalingnya masyarakat dari dirinya menuju Rasulullah saw.  Karena itu walaupun menampakkan keislamannya setelah perang Badar, ia menyembunyikan permusuhannya kepada Rasulullah saw dan sering melakukan makar manakala mendapat kesempatan.  Abdullah bin Ubay dan para pendukungnya ini yang kemudian dikenal sebagai kaum munafiq;

(3) Golongan ketiga adalah orang-orang Yahudi.  Mereka adalah orang-orang Ibrani yang datang ke Hijaz, yaitu tanah orang-orang Arab. Mereka tidak menyatu dengan orang-orang Arab, dan membanggakan keturunan mereka, yaitu keturunan Israel (Yahudi).  Mereka sangat menghina dan merendahkan orang-orang Arab, dan menamakan orang-orang Arab dengan sebutan Ummiyyin, yaitu orang-orang liar yang hidupnya sederhana, rendahan dan terbelakang.  Orang-orang Yahudi ini adalah orang-orang yang mahir dalam hal mencari penghasilan.  Mereka menguasai perdagangan biji-bijian, korma, khamar, dan pakaian.  Mereka juga memakan riba.  Mereka adalah orang-orang yang gigih dalam melakukan makar dan kerusakan, menaburkan benih-benih permusuhan di tengah-tengah para kabilah Arab yang berdampingan, dan menghasut mereka dengan cara yang tersembunyi.  Maka, kabilah-kabilah Arab di Yatsrib (yang kemudian menjadi Madinah) selalu dalam kondisi perang darah yang berlanjut.  Ketika melihat api peperangan hampir padam, orang-orang Yahudi segera menyulutnya kembali.  Setelah berhasil menghasut, mereka tinggal menonton dan melihat apa yang menimpa orang-orang Arab itu, dan memberikan pinjaman besar dan berbunga kepada para kabilah yang sedang berperang, agar tidak menghentikan peperangan karena sulitnya biaya peperangan.  Masing-masing kabilah Yahudi ini bersekutu dengan kabilah-kabilah Arab yang berperang di Yatsrib.  Di Yatsrib terdapat tiga kabilah Yahudi yang terkenal, yaitu Bani Qainuqa’ yang bersekutu dengan kabilah Khazraj, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah yang bersekutu dengan kabilah Aus.  Orang-orang Yahudi memandang Islam dengan penuh kebencian dan kedengkian, karena Rasulullah saw tidak berasal dari keturunan mereka.  Di samping itu, dakwah Islam adalah dakwah yang menyerukan kepada kebaikan, menyatukan berbagai hati, memadamkan api permusuhan, dan menyerukan untuk terikat dengan makanan yang halal dan harta yang baik.  Makna dari semua itu adalah seluruh kabilah Yatsrib akan bersatu; dan ketika itu, harus terlepas dari cengkeraman Yahudi.

Adapun dari luar Madinah, kekuatan terbesar yang memusuhi Islam adalah orang-orang musyrikin Quraisy.  Setelah kaum Muslimin berhijrah ke Madinah, kaum Quraisy merampas tanah, rumah dan harta mereka, menghalangi istri-istri dan keturunan mereka dari berhijrah, bahkan memenjarakan dan menyiksa orang-orang yang dapat diperlakukan demikian.  Sebagai penguasa dan pemimpin agama di tengah-tengah orang Arab, karena berstatus sebagai penghuni tanah suci dan penjaga Baitullah, mereka memperdayakan kaum musyrikin yang ada di jazirah Arab untuk memusuhi penduduk Madinah, sehingga Madinah berada dalam kondisi semi pemboikotan.  Karena itu suasana perang betul-betul terasa antara para thagut Makkah dan kaum Muslimin di negeri mereka yang baru di Madinah.

Demikianlah sekilas gambaran kondisi yang dihadapi oleh Rasulullah saw.  Kembali ke kehidupan awal Nabi di Madinah, langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw setelah tiba di Madinah adalah mendirikan masjid Nabawi.  Masjid Nabawi bukanlah sebagai tempat shalat semata, namun juga sebagai tempat kaum Muslimin menerima ajaran-ajaran Islam dan bimbingannya, dan sebagai tempat untuk mengatur seluruh persoalan, dan juga sebagai parlemen untuk mengadakan musyawarah.

Di awal jirah ini pula, adzan disyari’atkan, suara seruan yang menggema di angkasa, setiap hari lima kali, dan menggoncang seluruh pelosok kota Madinah.  Kisah mimpi Abdullah bin Zaid bin Adi Rabbah dalam kaitannya dengan pensyariatan adzan sudah terkenal, dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah.

Kemudian, Rasulullah saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar.  Beliau mempersaudarakan mereka atas prinsip tolong menolong.  Mereka saling memberikan hak waris setelah kematiannya, yang berlaku sampai perang Badar.  Di samping menjalin ikatan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, Rasulullah saw juga mengadakan perjanjian untuk menyingkirkan segala dendam jahiliyah dan permusuhan antar kabilah, di antaranya untuk menjadi umat yang satu di hadapan umat lain, menolak kezhaliman, kejahatan dan permusuhan, tidak membunuh sesama orang mukmin, memberlakukan qishash bagi pelaku pembunuhan, dan mengembalikan segala pekara kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Setelah meletakkan fondasi masyarakat Islam yang baru di Madinah, Rasulullah juga mengatur hubungan dengan orang-orang non muslim.  Dalam hal ini beliau bertujuan menciptakan suasana aman, damai, dan tenteram.  Beliau menyusun undang-undang toleransi yang belum pernah ada sebelumnya di alam yang penuh dengan fanatisme kesukuan.  Perjanjian tersebut kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah, yang di antara isinya adalah orang-orang Muslim dan non-muslim (khususnya Yahudi) wajib tolong menolong untuk menghadapi orang-orang yang memerangi mereka, tidak boleh berbuat jahat terhadap sekutunya, wajib memberikan pertolongan kepada orang yang dizhalimi, tak boleh menolong orang-orang Quraisy dan orang-orang yang menolong mereka, dan lain-lain.
---

Sementara itu, kaum musryikin Quraisy makin marah dengan perkembangan kaum muslimin di Mekkah.  Mereka kemudian mengirim surat kepada Abdullah bin Ubay yang ketika itu masih musyrik dan dalam kapasitasnya sebagai pemimpin orang-orang Anshar sebelum hijrah.  Dalam surat tersebut mereka mengatakan, bahwa jika Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya kaum musyrik Madinah tetap melindungi Muhammad yaitu musuh orang-orang Quraisy, maka mereka (orang-orang Quraiy) akan memerangi mereka (Abdullah bin Ubay dan kelompoknya) dan merampas wanita-wanita mereka.

Dengan datangnya surat itu Abdullah bin Ubay bangkit melaksanakan perintah saudara-saudaranya kaum musyrikin Mekkah, karena di dalam hatinya telah terdapat rasa dengki kepada Nabi saw yang dipandangnya telah merampas kekuasaanya.  Kemudian ia mengumpulkan teman-temannya para penyembah berhala dan bersepakat untuk memerangi Rasulullah saw.  Setelah berita itu sampai kepada Nabi saw, beliau segera menemui mereka dan berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengar ancaman orang-orang Quraisy terhadap kalian.  Tipu daya mereka terhadap kalian tidaklah lebih dahsyat daripada tipu daya kalian terhadap diri kalian sendiri.Kalian ingin memerangi anak-anak kalian dan saudara-saudara kalian.”

Setelah mendengar ucapan Nabi saw tersebut, mereka bubar.  Abdullah bin Ubay menahan keinginannya untuk memerangi kaum Muslimin ketika itu.  Tetapi, ia tetap melakukan persekongkolan dengan kaum musryikin Quraisy.  Setiap kali mendapatkan kesempatan selalu ia gunakan untuk melancarkan permusuhan di antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin.  Orang-orang Yahudi bergabung bersamanya, dan membantunya dalam melaksanakan rencana tersebut. Tetapi, demikianlah kebijaksanaan Nabi saw yang dapat memadamkan api permusuhan mereka yang tidak ada henti-hentinya.

Selanjutnya: Permusuhan antara kaum musryikin Mekkah dan kaum muslimin makin meningkat dan berujung pada sebuah peperangan besar.



PERANG BADAR (1)
Dalam upayanya untuk menghalangi dakwah Islam di Madinah, kaum Quraisy mengirim surat ancaman kepada kaum muslimin, yang bunyinya sbb: “Janganlah kalian merasa bahwa kalian telah lolos dari kami menuju Yatsrib.  Kami akan mendatangi kalian, akan menyerang kalian dan merampas istri-istri kalian di tengah-tengah negeri kalian.”  Dengan adanya ancaman ini Rasulullah saw sering berjaga malam.  Pernah suatu malam ada anak panah yang menyasar kepada mereka, yang dilemparkan oleh orang-orang Arab.  Karenanya kaum muslimin tidak tidur kecuali dengan membawa senjata, dan di pagi hari mereka tetap menyandang senjata. Dalam situasi yang gawat itu Allah mengizinkan kaum muslimin untuk berperang, dalam ayat Al-Quran: “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.  Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka.” (Al-Hajj:39).  Setelah turun ayat ini Rasulullah berusaha meluaskan daerah pertahanan kaum muslimin, yaitu dengan membentangkan kekuasaan kaum muslimin pada jalur perdagangan dari Mekkah ke Syam.  Ini dilakukan dengan mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah yang berdekatan dengan jalur perdaganan tersebut, dan melakukan ekspedisi-ekspedisi (patrol) secara bergantian ke jalur tersebut.  Banyak ekspedisi dilakukan kaum muslimin untuk mencegat kafilah Quraisy yang pergi menuju atau datang dari Syam.  Tercatat sekitar sembilan ekspedisi yang dilakukan kaum muslimin, dan emapat di antaranya berujung pada peperangan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin Quraisy.
Dalam sebuah perang yang bernama perang Dzil Usyairah, kaum muslimin berusahan mencegat sebuah kafilah Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan, yang membawa seribu onta berisi penuh muatan barang-barang berharg yang nilainya tidak kurang dari lima puluh ribu dinar emas.  Kafilah itu hanya dikawal oleh sekitar empat puluh orang.  Rasulullah berangkat bersama sekitar 315 orang.  Rasulullah tidak memaksa siapapun untuk ikut berangkat dalam peperangan tersebut, karena tidak terlintas dalam fikiran beliau bahwa beliau akan berhadapan dengan pasukan Mekkah.   Mereka hanya membawa tujuh puluh onta yang dikendarai secara bergantian.  Kabar tentang keberangkatan pasukan muslimin ini sampai di telinga Abu Sufyan lewat mata-matanya, kemudian ia mengirimkan kabar ke Mekkah lewat seorang kurir.  Penduduk Mekkah langsung bersiap-siap dan memobilisasi sekitar seribu tiga ratus prajurit, untuk memukul kaum muslimin.  Mereka memiliki sekitar seratus kuda dan enam ratus perisai (jumlah onta tidak diketahui).  Panglima perangnya adalah Abu Jahal bin Hisyam.
Sementara itu Abu Sufyan yang telah mengetahui pasukan muslim Madinah, berusaha untuk lari dari kejaran kaum muslimin.  Ia bersama kafilahnya kemudian mengambil jalan lain, yaitu kea rah barat menuju pantai, meninggalkan jalan utama yang melewati Badar.  Dengan demikian ia telah menyelematkan kafilahnya dari cengkeraman pasukan Madinah, dan kemudian mengirim kembali kurir untuk member kabar ke pasukan Mekkah.  Pasukan Mekkah yang sedang berada di sebuah tempat bernama Al-Juhfah, menerima surat dari Abu Sufyan yang berisi pesan kepada mereka, bahwa sebaiknya mereka kembali saja ke Mekkah, karena ia (Abu Sufyan) dan kafilahnya telah berhasil lolos dari kejaran pasukan Madinah.
Dengan adanya surat dari Abu Sufyan ini sebagian pasukan Quraisy berniat untuk kembali ke Mekkah.  Namun niat ini dihalangi oleh pemimpin mereka yaitu Abu Jahal, yang berkata, “Demi Allah, kita tidak akan pulang sebelum tiba di Badar.  Di sana kita akan tinggal selama tiga hari, memotong ternak, makan-makan, minum khomer, dan menyaksikan perempuan-perempuan menyanyikan lagu-lagu hiburan.  Biarlah semua orang Arab mendengar cerita tentang perjalanan kita sehingga mereka tetap takut kepada kita selama-lamanya.”  Akhirnya pasukan Mekkah pun melanjutkan perjalanan, meskipun sekitar tiga ratus orang dari mereka memisahkan diri dan kembali ke Mekkah, sehingga jumlah mereka tinggal sekitar seribu orang.
Sementara itu Rasulullah yang sedang berada di sebuah lembah bernama Dzafran, telah mengetahui kabar tentang lolosnya kafilah Abu Sufyan dan tentang pasukan besar Mekkah.  Rasulullah saw tak punya pilihan untuk menghindar dari pertempuran berdarah, mau tidak mau maju terus dengan penuh keberanian.  Karena kalau kaum muslimin mundur, maka sudah pasti posisi militer dan kekuatan politik Quraisy akan bercokol di wilayah tersebut, dan setiap orang yang membenci Islam akan berani berbuat kejahatan di wilayah tersebut.  Beliau kemudian mengumpulkan seluruh sahabatnya dalam sebuah Majelis Tinggi Militer untuk meminta kesepakatan dari mereka tentang sikap yang perlu diambil.  Para pemimpin kaum muslimin seperti Abu Bakar dan Umar dari kelompok Muhajirin serta Sa’d bin Mu’adz dari kaum Anshar menyampaikan pendapat mereka, yang intinya mereka tidak akan meninggalkan Rasulullah, mereka akan tetap bersama Rasulullah meskipun harus berperang.  Rasulullah gembira dengan jawaban mereka, dan mereka pun membulatkan tekad untuk menghadapi pasukan Mekkah dalam pertempuran.
Singkat cerita kedua pasukan itupun berhadapan di Badar.  Hari itu tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriah.  Rasulullah saw berdoa kepada Allah, “Wahai Allah, orang-orang Quraisy telah datang dengan kesombongan mereka; mereka memusuhi-Mu dan mendustakan Rasul-Mu.  Wahai Allah (kami mengharapkan) pertolongan-Mu yang telah Engkau janjikan kepadaku.  Wahai Allah, binasakanlah mereka pagi ini.”
Peperangan diawali dengan perang tanding antara tiga pemimpin Quraisy dan tiga pemimpin muslimin.  Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah dan Al-Walid bin Utbah dari pasukan Quraisy masing-masing berhadapan dengan Ubaidah bin al-Harits, Hamzah bin Abdul Muththalib, dan Ali bin Abi Thalib dari pasukan muslimin.  Dalam perang tanding itu Hamzah dan Ali berhasil menewaskan lawannya masing-masing, sedangkan Utbah dan Ubaidah masing-masing berhasil melukai lawannya, namun Hamzah dan Ali akhirnya berhasil menewaskan Utbah. Ubaidah yang terpotong kakinya akhirnya syahid sekitar lima hari setelah perang usai.
Hasil perang tanding ini menjadi permulaan yang buruk bagi kaum musyrikin.  Mereka pun marah, kemudian menyerang kaum muslimin secara serentak.  Rasulullah kembali memohon kepada Rabb-nya akan pertolongan yang telah dijanjikan-Nya: “Wahai Allah, tunaikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku.  Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon janji-Mu.”  Ketika perang berkecamuk, beliau berdoa kembali, “Wahai Allah, kalau pasukan (kaum muslimin) ini sampai binasa hari ini, Engkau tidak akan disembah lagi setelah ini.”  Allah pun menjawab doa beliau, dengan menurunkan ayat Al-Quran, “Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.  Kelak Aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir.”  (Al-Anfal:12).  Allah kemudian menurunkan para malaikat-Nya untuk menolong orang-orang mukmin.