Mengungkap Hubungan Historis
Hadramaut dan Nusantara
Peta Konflik Yaman dan
Kebijakan Pascaevakuasi (1)
Konflik Yaman berimbas pada ratusan pelajar Indonesia yang menuntut ilmu, di
berbagai lembaga pendidikan di negeri ujung selatan Jazirah Arabia tersebut.
Sebagian pelajar telah dievakuasi, namun banyak yang masih bertahan di sana.
Berikut tulisan Ustadz Faris Khoirul Anam, Lc, M.Hi, Alumni Universitas
al-Ahgaff, Yaman yang juga Sekretaris Jenderal Persatuan Pelajar Indonesia
(PPI) Yaman (2002-2003), disampaikan secara khusus kepada Malang Post.
Memahami konflik yang terjadi di Yaman saat ini, harus dipetakan dua hal
mendasar, yaitu peta geografis konflik dan peta ideologis Yaman. Kedua pemetaan
ini berguna untuk menilai konflik tersebut secara tepat, karena terkait secara
tidak langsung dengan pelajar dan warga negara Indonesia (WNI) di negeri Ratu
Bilqis itu.
Dilihat dari geografis Yaman, warga negara Indonesia di negeri ini pada umumnya
berada di empat wilayah di Yaman, yaitu Ibukota Sana’a, Hudaidah, Hadramaut,
dan Aden. Meski terdapat pelajar di wilayah selain keempat kota itu, namun
jumlahnya tidak besar. Sementara dari semua wilayah tersebut, pelajar Indonesia
banyak terpusat di Hadramaut. Dapat dikatakan, dari sekitar total empat ribu
WNI di Yaman, 75 persen terfokus di Hadramaut.
Operasi Badai Penghancur (Ashifat al-Hazm) yang digelar aliansi
negara-negara Arab pimpinan Arab Saudi, selama ini terjadi di Sana’a, Hudaidah,
dan Aden. Oleh karena itu, WNI yang dievakuasi pada tahap pertama, adalah
mereka yang tinggal di Sana’a dan Hudaidah. Sementara WNI yang berada di Aden,
proses evakuasi tidak selancar penyelamatan WNI di Sana’a dan Hudaidah, karena
kondisi keamanan di kota pelabuhan itu. Namun dikabarkan Senin (13/4), sekitar
90 WNI di Aden telah terevakuasi, melalui Jibouti yang ada di Afrika. Antara
Aden dan Jibouti, ‘hanya’ dipisah oleh Laut Merah.
Bagaimana dengan pelajar Indonesia di Hadramaut? Secara geografis,
sebenarnya letak Hadramaut jauh dari wilayah konflik, yaitu sekitar 1.300 Km.
Namun, rupanya pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk mengevakuasi
pelajar yang berada di provinsi yang memiliki ikatan historis dengan Nusantara
ini. Selama ini, pelajar Indonesia menuntut ilmu di tiga perguruan yang
terdapat di Hadramaut, yaitu Rubath Tarim, Darul Mushthafa, dan Universitas
al-Ahgaff.
Secara ideologi, ketiga perguruan di Hadramaut itu sama sekali tidak terkait
dengan dua pihak yang bertikai. Baik Rubath Tarim, Darul Mushthafa, dan
Universitas al-Ahgaff, memiliki paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang moderat,
sehingga sejak lama menjadi tujuan belajar masyarakat Indonesia.
Dari ketiganya, perguruan yang paling tua adalah Rubath Tarim. Usianya lebih
dari satu abad. Masyarakat Indonesia, terutama dari kalangan habaib (keturunan
Nabi Muhammad SAW), sejak lama menjadikan Rubath Tarim sebagai tempat belajar.
Beberapa ulama kesohor dari Indonesia merupakan alumni lembaga pendidikan
yang berada di pusat kota Tarim ini. Sebut saja Habib Muhammad bin Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi, Jakarta. Sementara dari Malang, ulama masyhur yang
merupakan alumni Rubath Tarim adalah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih,
pendiri Ma’had Darul Hadits al-Faqihiyah Jalan Aris Munandar.
Pendidikan di Yaman sempat terhenti di masa komunisme di wilayah Selatan.
Namun sejak paham ini tumbang dan negeri ini aman, sejak 1995, berdiri
lembaga-lembaga pendidikan baru, misalnya Darul Mushthafa dan Universitas
al-Ahgaff tersebut.
Meski secara geografis berjauhan dari wilayah konflik, dan secara ideologis
tidak terkait sama sekali dengan kedua kubu yang bertikai, namun sebagian
pelajar Indonesia memutuskan mengikuti evakuasi yang dicanangkan pemerintah
dalam beberapa tahap.
Pelajar Indonesia di Fakultas Syariah Universitas al-Ahgaff, Tarim, yang
mengikuti evakuasi sejumlah 325 orang. Sementara di Ibukota Provinsi Hadramaut,
Mukalla, total mahasiswa yang dievakuasi, baik dari Universitas al-Ahgaff,
Universitas Imam Syafi’i, dan pekerja Indonesia sekitar 150 orang.
Sedangkan dari Darul Mushthafa, pelajar yang mengikuti evakuasi sekitar 60
orang. Itu artinya, masih lebih banyak yang memilih tetap tinggal dan belajar
di perguruan Islam asuhan Habib Umar bin Salim bin Hafizh ini.
Alasan keikutsertaan pelajar dalam evakuasi adalah karena permintaan orang
tua di tanah air. “Sebagian mereka memang ingin pulang, atau diminta pulang
karena kekhawatiran orang tuanya,” kata Faiz Nur Kholis, Mantan Ketua PPI Yaman
yang baru kembali ke tanah air sekitar satu bulan, dalam acara Temu Kangen
Alumni Universitas al-Ahgaff, di Pesantren Progresif Bumi Shalawat, Lebo Kota
Sidoarjo Jatim, Ahad (12/4).
Menurut mahasiswa pascasarjana al Ahgaff asal Brebes Jawa Tengah ini, Rektor
al Ahgaff Prof Abdullah Muhammad Baharun memang tidak melarang mahasiswa
Indonesia untuk pulang ke tanah air. Menurut Faiz, mahasiswa yang khawatir,
entah itu kekhawatiran dari pihak orang tua, memang dipersilakan pulang tanah
air. Namun yang merasa tenang, hendaknya menunggu dan melanjutkan studinya di
Hadramaut.
Hadramaut sampai saat ini pun kondisinya aman, termasuk ibukota provinsi
Mukalla. Meski sempat ada pengeboman salah satu penjara di kota di bibir laut
Arab ini, namun kejadian itu tidak ada kaitannya dengan konflik yang ada di
Sana’a dan sekitarnya.
Ashfiyaurrahman, mahasiswa pascasarjana Universitas al-Ahgaff yang tidak
mengikuti evakuasi, dalam pesan yang dikirimkan via ponsel menyatakan, kondisi
di Mukalla saat ini kondusif dan warga pun beraktifitas seperti biasa.
Nasib Pendidikan Pelajar yang Dievakuasi
Pada Ahad (12/4), puluhan alumni Universitas al Ahgaff menggelar pertemuan
di Pesantren Progresif Bumi Shalawat, Lebo Kota Sidoarjo, Jatim. Pada pertemuan
tersebut, diagendakan beberapa acara, yaitu evaluasi program kegiatan alumni
dan pernyataan sikap terkait evaluasi sebagian pelajar Indonesia di Yaman.
Sebelumnya, Kamis (9/4), pelajar Indonesia di Hadramaut melayangkan Surat
Terbuka kepada presiden, menteri, para cendekia, dan masyarakat Indonesia
secara umum. Surat itu ditandatangani pimpinan lima organisasi pelajar
Indonesia di Hadramaut, yaitu Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI
NU), Front Mahasiswa Islam (FMI), Forum Lingkar Pena (FLP), Asosiasi Mahasiswa
Indonesia (AMI) al-Ahgaff, dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Hadramaut.
Isinya memohon kebijakan pemerintah Indonesia untuk menjamin fasilitas dan
biaya pelajar yang dievakuasi, yang akan kembali ke Yaman saat kondisi negara
tersebut dinilai aman.
Menegaskan surat ini, Himpunan Alumni dan Mahasiswa al-Ahgaff (HIMMAH) di
Indonesia, mengeluarkan surat permohonan senada kepada pemerintah Indonesia.
Permohonan jaminan biaya kembali ke Yaman saat kondisi dinilai aman tersebut
berdasarkan beberapa pertimbangan: pertama, keberlangsungan pendidikan mereka
di Yaman merupakan hal penting, selain keselamatan jiwa mereka.
Kedua, tidak semua pelajar yang mengikuti evakuasi tersebut berasal dari
keluarga mampu, sehingga diperlukan bantuan pemerintah untuk memfasilitasi
keberlanjutan pendidikan mereka.
Ketiga, Hadramaut secara umum, dan Tarim secara khusus, memiliki hubungan
historis-agamis dengan umat Islam Indonesia sejak era masuk dan berkembangnya
Islam di tanah air, berdasarkan paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang rahmatan lil
‘alamin, tawazun (berimbang), tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), sehingga
menjadi pertimbangan utama mereka untuk menempuh pendidikan di salah satu
propinsi di Yaman ini.
Menurut ketua HIMMAH Jatim, Aria Muhammad Ali, poin ketiga ini perlu
ditegaskan. Sebab, terdapat pihak yang mengarahkan para pelajar yang dievakuasi
itu untuk melanjutkan pendidikan di tempat atau negara lain.
“Pelajar Indonesia belajar di Hadramaut, Yaman itu memiliki pertimbangan
sendiri. Selain masalah teknis, di mana mereka sudah melewati sekian semester
masa studi, iklim dan lingkungan pendidikan di sana juga sangat kondusif.
Antara Hadramaut dan Nusantara memiliki ikatan sejarah yang sangat kuat,” jelas
Aria.
“Paham keagamaan, bahkan tradisi keagamaan antara Indonesia dan Hadramaut
juga punya banyak persamaan,” pungkas putra Gus Ali Tulangan Sidoarjo ini.
Jadi Rujukan Dakwah dan
Pendidikan Agama (2)
Pada lima belas tahun terakhir, populasi pelajar dan mahasiswa Indonesia di
Yaman, terutama di Propinsi Hadramaut, mengalami peningkatan pesat. Jumlah
mereka dalam lingkup kawasan Timur Tengah, merupakan yang terbesar setelah
Mesir dan Saudi Arabia. Mengapa Hadramaut menjadi tujuan pendidikan WNI, dan
bila dinilai aman, mereka masih berkeinginan melanjutkan belajar di sana?
Mengikuti data pemilu 2004, dari sekitar 800 masyarakat Indonesia, 600 jiwa
berstatus sebagai pelajar. Di tahun 2015, jumlah WNI di negeri ini melonjak
menjadi sekitar empat ribu jiwa. Polanya sama, didominasi oleh pelajar.
Peningkatan jumlah pelajar hingga tahun 2015 ini, selain disebabkan keamanan
yang kian membaik, juga karena munculnya institusi-institusi pendidikan baru
pada pertengahan 90-an. Setelah “lelah” dengan perang saudara dan terlepas dari
penguasaan rezim komunis di Yaman Selatan, muncul institusi-institusi baru
seperti Darul Mustafa dan Universitas al-Ahgaff di Hadramaut, Universitas
al-Iman di Ibu Kota Sana’a, Institut Darul Ulum di Propinsi Hudaidah. Bahkan di
tahun 2014, berdiri universitas baru yang juga menjadi tujuan belajar
masyarakat Indonesia, yaitu Universitas Imam Syafi’i di Mukalla, Hadramaut.
Hadramaut menjadi rujukan keilmuan masyarakat tanah air, tak lepas dari
hubungan historis-agamis antara kedua wilayah. Bahkan, hubungan itu telah
berlangsung sekian abad, sebelum negara Indonesia berdiri. Ikatan tersebut
setidaknya terjalin melalui tiga hal, yaitu dakwah Islam, pendidikan, dan
perdagangan.
Walisongo atau Walisanga yang dikenal sebagai penyebar Islam di tanah Jawa
pada abad ke 15 dan 16, leluhur mereka berasal dari Hadramaut. Walaupun masih
ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah),
Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tempat tersebut lebih merupakan
jalur penyebaran para muballigh, daripada merupakan asal-muasal mereka yang
sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi bahwa
Walisongo keturunan Hadramaut, diberikan oleh Muhammad al-Baqir, dalam bukunya
Thariqah Menuju Kebahagiaan.
Al-Baqir memiliki sekian bukti, di antaranya penjelasan L.W.C van den Berg,
Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886. Dalam
bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886), ia
menyebut secara spesifik abad ke-15 sebagai era maraknya kedatangan juru dakwah
dari Arab. Abad ini merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian
besar Walisongo di pulau Jawa. Sebagaimana abad ini jauh lebih awal dari abad
ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut
yang bermarga Assegaf, al-Habsyi, al -Haddad, al-Aydrus, al-Atas, al-Jufri, bin
Syihab, bin Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Kedua, hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab
Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan
Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan
dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang
sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Ketiga, kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawwuf dan
mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba dan Barzanji,
beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya
terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu dan Mindanao,
Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di
Indonesia dikarang oleh Zainuddin al-Malabary dari Malabar, isinya memasukkan
pendapat-pendapat baik kaum fuqaha (yuris atau ahli fikih) maupun kaum Sufi.
Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut
adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i
dengan pengamalan tasawwuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
Teori-teori tersebut menegaskan pendapat terkuat bahwa sebagian besar
Walisongo adalah keturunan Hadramaut, Yaman. Karena itu, pendapat lainnya
dianggap lemah dan tidak berdasar.
Membaca silsilah keturunan Walisongo, akan terbaca nama Abdul Malik bin
Alwi. Dialah pria yang hijrah dari Hadramaut ke India, lalu keturunannya
memasuki Nusantara sejak abad ke-14. Ia merupakan keturunan al-Imam al-Muhajir,
seorang keturunan Rasulullah yang hijrah dari Basrah, Irak, ke Hadramaut Yaman,
sehingga wilayah tandus ini “dibanjiri” para keturunan Nabi Muhammad.
Walisongo sangat dikenal masyarakat Hadramaut, terutama oleh tokoh
masyarakatnya. Mereka menyebutnya al-auliya al-tis’ah (para wali yang
sembilan).
Faris Khoirul Anam, Lc, M.Hi, Alumni Universitas al-Ahgaff, Yaman.
Putra Indonesia Jadi Orang Besar
di Yaman (3)
Pada periode selanjutnya, keturunan al-Imam al-Muhajir, yaitu ‘alawiyin atau
dikenal dengan nama habaib, makin membanjiri Nusantara. Hal ini terjadi
khususnya pada abad ke-18 M. van den Berg secara khusus menyorot saat-saat
banyaknya imigran Hadramaut berdatangan.
Pria yang pernah menjadi penasihat Belanda dalam soal Islam/Arab, dalam
risetnya itu membuat beberapa kesimpulan. Menurutnya, sebelum 1859 tidak
tersedia data jelas mengenai jumlah orang Arab yang bermukim di Hindia Belanda.
Di dalam catatan statistik resmi, mereka dirancukan dengan orang Benggali
(India) dan orang asing beragama Islam.
Sejak 1870, dengan dimulainya pelayaran kapal uap kedatangan para imigran
Hadramaut makin meningkat. Natalie Mobini Kesheh dalam Hadrami Awakening – Kebangkitan
Hadhrami di Indonesia menuyebut, kemudahan fasillitas ini didukung pula dengan
dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869.
Para habaib, kata van den Berg, cenderung cepat berasimilasi dengan penduduk
setempat. Ia menyimpulkan, keturunan Arab mulai datang secara massal ke Hindia
Belanda pada tahun-tahun terakhir abad ke-18. Sedangkan kedatangan mereka di
pantai Malabar (India) jauh lebih awal.
Peningkatan ini, sebut Kesheh, tercermin dari gambaran berbagai sensus sejak
1885 yang mengindikasikan bahwa saat itu terdapat 20.501 muhajir Arab tinggal
di daerah jajahan Belanda: 10.888 muhajir Arab di Jawa dan Madura, serta 9.613
muhajir Arab di luar pulau. Hal ini menunjukkan peningkatan 45 persen dan 96
persen berturut-turut dalam periode 15 tahun sejak 1870.
Mayoritas imigran berasal dari wilayah Katiri, salah satu dinasti yang
pernah berkuasa di Hadramaut, khususnya dari lembah yang membentang antara kota
Shibam dan Tarim.
Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih
ke Palembang dan Pontianak. Keturunan Arab mulai banyak menetap di Pulau Jawa
pada 1820, sedangkan di Indonesia Timur pada 1870. Pendudukan Singapura oleh
Inggris pada 1819, dan kemajuan besar negara pulau ini dalam bidang perdagangan
dan ekonomi, membuat koloni Inggris ini menggantikan peran Aceh sebagai
perhentian pertama kedatangan para imigran Hadramaut.
Memang tidak ada kesepakatan atas pernyataan dari mana asal-usul Hadrami di
Indonesia. Namun yang jelas imigran tersebut berasal dari berbagai lapisan
masyarakat, yakni Sayyid (keturunan Imam Ahmad bin Isa), masyayikh (sarjana),
qaba-il (anggota suku), dan masakin (orang miskin atau tidak bekerja).
Menurut Alwi Syahab, di Hadramaut, menurut taksiran pada 1366 H, keturunan
Imam Ahmad al-Muhajir, berjumlah 70 ribu jiwa, terdiri dari 200 marga. Jumlah
ini diyakini jauh lebih kecil dibandingkan keturunannya yang bermukim di
Indonesia.
Mereka umumnya datang dari Hadramaut tanpa istri. Di tanah Nusantara, mereka
kemudian menikahi wanita-wanita setempat. Karena itulah mereka menyebut pribumi
Indonesia dengan akhwal yang berarti saudara dari ibu.
Konon, banyak di antara istri penduduk setempat itu kemudian dibawa ke
Hadramaut. Sekembalinya mereka di Tanah Air mereka membuat nasi kebuli dengan
bumbu-bumbu Hadramaut. Padahal di Hadramaut sebagian besar penduduk tidak makan
nasi, melainkan masakan dari gandum.
Ikatan historis antara Indonesia dengan Hadramaut juga dibuktikan dengan
penggunaan beberapa kata Bahasa Indonesia dan Jawa dalam bahasa ‘ammiyah
(prokem) masyarakat Hadramaut hingga saat ini. Seperti kata kemul (jawa),
selimut, sarung, sambal, kerupuk, plafon, dan sebagainya. Marga-marga habaib di
Indonesia akan ditemui pula di Hadramaut, seperti Mauladdawilah, al-Segaff, bin
Syaikh Abu Bakar, al-Attas, al-Jufri, bin Syihab, al-Hamid, al-Masyhur, dan
sebagainya.
Beberapa ulama Indonesia memunyai hubungan erat dengan tokoh-tokoh ulama di
Hadramaut. Ziarah dan silaturahim tetap berkesinambungan sampai saat ini. Terutama
saat ziarah Akbar Nabiyullah Hud ‘alaihissalam pada bulan Sya’ban.
Sebagaimana ulama Hadramaut juga sering berdakwah ke berbagai tempat di
Indonesia, seperti Pengasuh Rubath Tarim Habib Salim bin Abdullah al-Syathiri,
Pengasuh Darul Musthafa Tarim Habib Umar bin Muhammad bin Hafizh, Rektor
Universitas al-Ahgaff Prof Habib Abdullah Muhammad Baharun, Rektor Universitas
al-Imam al-Syafi’i Syaikh Muhammad Ali Ba’athiyyah, dan lainnya.
Bila dicermati, kegiatan bertabligh di Indonesia hingga saat ini, tetap berada
di tangan para kyai dan alawiyin. Mereka tersebar di pelosok-pelosok kepulauan
Indonesia. Alawiyin yang lebih dikenal dengan sebutan “sayid”, “habib”, “ayib”
ini tetap dicintai di mana-mana dan memegang peranan rohani, sebagaimana juga
di negara Islam lain. Kebiasaan dan tradisi alawiyin diikuti dalam perayaan
maulid Nabi, haul, nikah, upacara-upacara kematian, dan sebagainya.
Hubungan historis antara Hadramaut dan Nusantara dibuktikan dengan fakta
unik lainnya. Sebagian putera Indonesia, beberapa di antaranya menjadi orang
besar di Yaman. Setelah masa studi, mereka tidak menetap kembali di tanah air.
Sebut saja Habib Zain bin Abdul Qodir bin Smith, seorang ulama Yaman, penulis
kitab produktif dan Pengasuh Rubat al Madinah Al Munawwarah, Saudi Arabia. Ulama
ini lahir di Bogor, Jawa Barat.
Selain itu, terdapat nama Syaikh Fadlal bin Abdurrahman Ba Fadlal, penulis
kitab Manahil al-Irfan, Ketua Majlis Fatwa Tarim Hadramaut hingga tahun 2000.
Pria ini dilahirkan di Cirebon Jawa Barat.
Tak hanya ulama, putra Indonesia juka sukses menjadi negarawan di Yaman.
Misalnya Umar Rasyid Baragba, mantan Menteri Perminyakan Yaman. Ia dilahirkan
dan dibesarkan di Tulungagung, Jawa Timur.
Faris Khoirul Anam, Lc, M.Hi, Alumni Universitas al-Ahgaff, Yaman.
Sumber (hati2 terdeteksi virus oleh Mc Afee)
http://mosleminfo.com/khazanah/mengungkap-hubungan-historis-hadramaut-dan-nusantara-bagian-1/
http://mosleminfo.com/khazanah/mengungkap-hubungan-historis-hadramaut-dan-nusantara-bagian-2/
http://mosleminfo.com/khazanah/mengungkap-hubungan-historis-hadramaut-dan-nusantara-bagian-3/