DEPAN

Sungguh, kadang kejujuran itu terasa sangat menyakitkan, tetapi katakanlah dan luruskanlah saja niatmu

Hisablah dirimu sebelum di hisab Allah dan jangalah menyibukkan diri menghisab apalagi menghisap orang lain

Memang nikmat berbagi dalam kebaikan & kebenaran (modifikasi dari KZ)

Salah satu tugas dalam hidup ini begitu sederhana, hanya bersabar dan besyukur (AFF)

Orang yang melewatkan satu hari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardu yang ia lakukan atau kemuliaan yang ia wariskan atau pujian yang ia hasilkan atau kebaikan yang ia tanamkan atau ilmu yang ia dapatkan,maka sungguh-sungguh ia telah durhaka pada harinya dan menganiaya diri. (Dr. Yusuf Al-qardhawi)

-----------------------------

http://refleksirifa.blogspot.com/

https://rifateashahihbukhari.blogspot.com

http://www.facebook.com/ridwan.farid.3990

id.linkedin.com/pub/ridwan-farid/6/17b/164

------------------------------------

YM & Gtalk : rifa120

Kamis, 23 Juli 2015

Antara Umar dan Khalid

Antara Umar dan Khalid
Oleh Hepi Andi Bastoni

Setelah dikalahkah oleh Khalid bin Walid dalam adu gulat, kini Umar bin Khaththab menantangnya lomba pacuan kuda. Sebagai juri sekaligus petaruh, ada Amr bin Ash, Ayasy bin Rabiah, Sofwan bin Umayyah dan Ikrimah bin Abu Jahal serta beberapa pemuda Quraisy lainnya. Saat itu, mereka belum masuk Islam meski Nabi saw telah mendapatkan wahyu.
Pada putaran pertama, Umar bin Khaththab berhasil memacu kudanya lebih cepat sehingga mampu mengalahkan Khalid bin Walid. Amr bin Ash yang dalam putaran pertama mendukung Umar dan bertaruh untuknya, juga ikut memenangkan taruhan.
Namun pada putaran kedua, ternyata Khalid bin Walid berhasil mendahului laju kuda Umar. Ini yang membuat Umar tidak terima. Tampillah Amr bin Ash sebagai penengah. Sebagai juri sekaligus petaruh, Amr berkata, “Wahai Umar, di antara kalian tidak ada yang menang. Pada putaran pertama, engkau bisa mendahulu kuda Khalid, pada putaran kedua engkau yang kalah. Jadi, di antara kalian tidak ada yang menang. Tapi di dua putaran itu saya yang menang!”
“Apa maksudmu?” tanya Umar.
“Ya, pada putaran pertama, saya bertaruh untukmu. Sebab saya lihat kudamu masih kuat dan segar. Lalu engkau menang dan taruhan saya juga menang. Pada putaran kedua, saya bertaruh untuk Khalid karena saya lihat kudamu mulai lemah dan capek. Maka, Khalid menang dan saya juga menang...” ujar Amr bin Ash sambil tertawa.
Ya, begitulah Umar bin Khaththab dan Khalid bin Walid.  Dua sosok fenomenal dengan prestasinya masing-masing. Dua sosok yang memiliki banyak kemiripan; postur tubuh yang sama tinggi dan besar, sama-sama berani dan menguasai berbagai kemampuan bela diri. Begitu mirip keduanya, sehingga jika tidak teliti, ketika berbicara kepada Umar disangka berbicara dengan Khalid.

Bagi yang membaca biografi dua tokoh ini, akan makin jelas bahwa persamaan keduanya bukan hanya roman muka dan tinggi badan tapi juga kepribadian dan kekuatan jiwa. Namun  di tengah kemiripan itu, keduanya punya karakter berbeda.

Di sinilah kita melihat kecanggihan Nabi saw memetakan potensi anak buahnya. Umar dan Khalid sama-sama berani. Siapa yang menyangkal keberanian Umar? Tapi sepanjang sejarah kita tidak menemukan riwayat Umar diangkat menjadi panglima perang. Bedakan dengan Khalid bin Walid. Belum genap tiga bulan keislamannya, dia sudah diamanahi untuk menjadi Panglima Perang Mu’tah untuk menggantikan tiga panglima yang telah syahid. Selanjutnya, karir Khalid pun berkibar sebagai panglima perang. Hampir semua perang besar melawan orang murtad di era Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalid bin Walid yang menjadi panglima.

Umar dan Khalid sama-sama berani. Tapi keberanian keduanya berbeda. Keberanian Umar lebih bersifat defensif, dan keberanian Khalid bersifat ofensif. Kedua keberanian ini sama-sama dibutuhkan dan saling melengkapi.

Bisa jadi perbedaaan ini muncul karena keduanya dilatari oleh keluarga berbeda. Umar dari Bani Adi, kabilah yang sering dijadikan  tempat  bertanya dan meminta keadilan. Kabilah ini juga dikenal mempunyai keahlian memutuskan perkara.

Sedangkan Khalid berasal dari Bani Makhzum, kabilah ahli perang dan kekerasan, biasa hidup kaya dan mewah. Di zaman Jahiliyah mereka biasa dipercayakan mengurus pasukan berkuda dan persenjataan.

Latarbelakang dua keluarga inilah yang membedakan Umar dan Khalid. Seperti dituturkan Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Abqariyatu Khalid-nya, Umar lebih cenderung pada sikap hati-hati dan bijaksana. Sedangkan Khalid bersifat mendobrak dan melawan. Umar cenderung bersifat sederhana yang terpuji. Sedangkan Khalid lebih cenderung kepada kesenangan yang tidak terlarang.

Setelah penat dengan urusan kenegaraan, Umar sering menghabiskan heningnya malam lewat tangisan taubat sehingga uraian air mata membekas di kedua pipinya. Sedangkan Khalid, di tengah istirahat perangnya, ia biasa pergi ke tempat yang teduh bersama istri yang ia cintai. Namun keduanya tetap dalam koridor yang tidak terlarang. Umar tidak menjadi laki-laki cengeng yang hilang ketegasannya. Sebaliknya, Khalid juga tidak terlena dengan malam-malamnya bersama istri. Bahkan, ada sebuah ungkapan yang menghentakkan benak kita dalam hal pandangannya terhadap wanita dan jihad. Khalid berkata, “Aku lebih mencintai malam yang dingin lagi penuh kesulitan bersama pasukan Muhajirin daripada malam aku disandingkan dengan pengantin wanita yang kucintai…” ujar Khalid.

Bagaimana pun senangnya Khalid dengan wanita cantik, tapi itu adalah kesenangan orang kuat yang sadar, bukan kesenangan orang lemah yang terlena. Ia ibarat seorang musafir yang beristirahat di pinggir oase untuk mengumpulkan kekuatannya. Bukan kesenangan orang yang menghindar lalu terlena dalam lalainya.

Bahkan, Khalid sangat tidak betah istirahat berlama-lama menanti perang melawan pasukan Persia atau Romawi. Cintanya kepada jihad di atas ibadah lainnya. Qais bin Hazim mendengar Khalid berkata, “Berjihad telah menghalangiku mempelajari Al-Qur’anul Karim.”
Demikianlah Khalid. Ia hanya ingin mengambil kesenangan yang minimal untuk mengumpulkan tenaga guna menghadapi kesulitan dan perang yang maksimal.

Umar dan Khalid meniti karirnya masing-masing. Umar sebagai negarawan sukses, Khalid gemilang sebagai panglima perang. Yang justru unik, keduanya mengakhiri hidup dengan takdir yang berbeda.

Dalam kesedihannya, Khalid wafat di tempat tidur. Di antara ratapnya ia berucap, “Aku mencari tempat kematian di berbagai tempat. Aku telah menghadapi musuh sehingga tak sejengkal pun dalam tubuhku kecuali ada bekas tebasan pedang, tusukan panah, atau tikaman tombak. Tapi sekarang, aku meninggal di tempat tidurku seperti keledai mati….”

Sedangkan Umar, pun meninggal di pembaringannya. Bedanya, Umar meninggal akibat luka parah tusukan senjata Abu Lu’lu’ al-Fairuz. Jelang syahidnya Umar berucap lirih, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kematianku bukan di tangan seorang Muslim…”

Umar dan Khalid sama-sama meninggal di tempat tidurnya. Keduanya menjemput syahid dengan cara berbeda.  Ya, keduanya syahid. Dari Sahal bin Abi Umamah bin Hanif dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi saw bersabda,
مَنْ سَأَلَ الله الشَّهَادَةَ مِنْ قَلْبِهِ صَادِقاً بَلَّغَهُ الله مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وإنْ مَاتَ على فِرَاشِهِ
“Barangsiapa yang meminta kepada Allah mati syahid dari hatinya dengan sebenarnya maka Allah akan menyampaikannya kepada kedudukan orang-orang yang mati syahid sekalipun dirinya mati di atas ranjangnya,” (HR Muslim).
Satu lagi kesamaan dua tokoh ini. Keduanya meninggal dalam keadaan sangat sederhana. Seperti dikutip Manshur Abdul Hakim dalam karyanya Khalid bin Walid Saifullah al-Maslul, Juwairiyah berkata dari Nafi’ mengatakan, “Ketika Khalid meninggal dunia, tidak ada harta apa pun yang ia miliki kecuali tempat tidur, budak laki-laki dan senjatanya.”
Umar bin Khaththab juga demikian. Bahkan, kondisi Umar lebih sederhana lagi. Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Abqariyatu Umar-nya menggambarkan, ketika meninggal dunia, untuk melunasi utang-utangnya, rumah Umar bin Khaththab harus dijual beserta seluruh isinya. Oleh pembelinya rumah tersebut diberi nama Darul Qadha’ (Rumah Pelunasan).