SIRAH
NABAWIAH
Dirangkum
oleh Kang Teddy Tedjakusuma dari buku karangan Syeikh Syafiyyur Rahman
Mubarakfuri
TAHUN DUKA CITA (9)
Setelah masuknya Hamzah dan Umar ke dalam
pangkuan Islam, awan kegelapan mulai tersingkap dan kaum musyrikin mulai sadar
dari sikap mereka yang selalu menimpakan siksaan terhadap kaum muslimin.
Mereka berusaha menawarkan kepada Nabi saw segala hal yang mungkin menjadi
tuntutan beliau, untuk menghentikan dakwahnya.
Suatu hari Utbah bin Rabi’ah, seorang tokoh
cendekiawan Quraisy, menemui Nabi Muhammad saw. Ia kemudian berkata kepada
Rasulullah saw, “Wahai putra saudaraku, jika dengan dakwah yang Anda lakukan
itu Anda ingin mendapatkan harta kekayaan, maka kami akan mengumpulkan harta kekayaan
yang ada pada kami untuk Anda, sehingga Anda menjadi orang yang terkaya di
kalangan kami. Jika Anda menginginkan kehormatan dan kemuliaan, Anda akan
kami angkat sebagai pemimpin, dan kami tidak akan memutuskan persoalan tanpa
persetujuan anda sebagai raja kami. Jika Anda tidak sanggup menangkal jin
yang merasuk ke dalam diri Anda, kami bersedia mencari tabib yang sanggup
menyembuhkan Anda dan untuk itu kami tidak akan menghitung-hitung berapa biaya
yang diperlukan sampai Anda sembuh.” Mendengar penawaran Utbah itu Nabi
membacakan ayat-ayat Al-Quran tentang hakikat dakwah yang dibawakan oleh Nabi
hingga beliau sampai pada ayat sajadah dan beliau pun bersujud. Utbah
kembali pada kaumnya dan memberitakan percakapan antara dirinya dengan Rasululullah.
Ia menyatakan bahwa apa yang ia dengar dari Muhammad saw bukanlah syair, sihir,
ataupun mantera dukun, melainkan sebuah berita yang menggemparkan. Maka
ia menyarankan agar kaum Quraisy membiarkan Muhammad mendakwahkan
ajarannya. Mendengar penuturan Utbah ini kaum Quraisy menjawab, “Demi
Allah, Muhammad telah mensihirmu, wahai Abul Walid, dengan perkataanya.”
Sementara itu Abu Thalib, paman Nabi, sering
merenung tentang apa yang dialami oleh keponakannya, ancaman-ancaman dari kaum
Quraisy yang mengintainya, seperti usaha Abu Jahal untuk membunuhnya, Uqbah bin
Abi Mu’ith yang mencekik kemenakannya, dan Umar bin Khaththab yang keluar dari
rumahnya dengan menyandang pedang untuk membunuhnya. Semua itu ia
renungkan dan ia mencium rencana jahat dari kaum Quraisy terhadap keponakannya
itu. Maka ia kemudian mengumpulkan keluarganya dari Bani Hasyim dan Bani
Abdul Muththalib, anak-anak Abdu Manaf, dan mengajak mereka untuk melindungi
dan membela kemenakannya itu. Mereka menyambut seruan Abu Thalib tersebut,
baik yang muslim maupun yang kafir, karena fanatisme kesukuan mereka, kecuali
Abu Lahab. Ia memisahkan diri dari mereka, dan bergabung dengan
orang-orang Quraisy.
Setelah mengetahui adanya perjanjian di antara
Bani Muththalib dan Bani Hasyim untuk melindungi dan membela Muhammad saw, kaum
Quraisy kebingungan. Sebab mereka tahu apabila mereka membunuh Muhammad,
maka lembah Mekkah akan mengalirkan darah mereka. Bahkan, boleh jadi akan
menyebabkan lenyapnya mereka. Mereka menyadari akan hal itu, maka mereka beralih
kepada kezhaliman yang lain, bukan membunuh, melainkan lebih pedih dari apa
yang mereka lakukan sebelumnya. Mereka berkumpul di daerah Bani Kinanah,
untuk melakukan persekongkolan terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
Mereka bersekongkol untuk tidak menikah dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib,
tidak melakukan jual beli dengan mereka, tidak masuk ke dalam rumah mereka, dan
tidak berbicara dengan mereka, sehingga mereka menyerahkan Muhammad saw kepada
kaum musyrikin untuk dibunuh. Kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah
naskah perjanjian, dan digantungkan di dalam Ka’bah. Maka, Bani Hasyim
dan Bani Muththalib, baik yang mukmin maupun yang kafir, bergabung menjadi
satu, kecuali Abu Lahab. Mereka dikucilkan di perkampungan Abu Thalib,
pada malam pertama bulan Muharram tahun ketujuh dari kenabian.
Pengepungan makin ketat, dan bahan-bahan makanan
diblokade oleh kaum musyrikin. Kaum musyrikin tidak membiarkan bahan
makanan yang masuk ke Mekkah. Setiap kali ada makanan yang masuk ke
Mekkah, mereka segera menyerbu dan membelinya, sehingga Bani Muththalib dan
Bani Hasyim mengalami kesulitan hidup. Mereka terpaksa makan dedaunan dan
kulit binatang, dan dari balik lembah pemukiman tersebut terdengar tangis
bayi-bayi mereka karena kelaparan. Mereka tidak bisa keluar dari
pemukiman untuk membeli kebutuhan-kebutuhan mereka, kecuali pada bulan-bulan
haram (suci), karena mereka dapat membeli makan dari kafilah yang datang ke
Mekkah dari luar daerah, tapi penduduk Mekkah menghasut mereka untuk menaikkan harga
barang-barang dagangan mereka sehingga kaum Muslimin tidak dapat membelinya.
Pemboikotan ini berlangsung selama tiga
tahun. Pada bulan Muharram, tahun kesepuluh kenabian terjadilah
pembatalan perjanjian tersebut, sebab orang-orang Quraisy bimbang terhadap
perjanjian tersebut, antara rela dan benci. Maka orang-orang yang
membenci perjanjian tersebut berusaha untuk membatalkan perjanjian
tersebut. Allah Swt menurunkan pertolongannya. Yaitu dengan mengirim
rayap untuk memakan seluruh isi perjanjian yang digantungkan di dalam Ka’bah
itu, kecuali tulisan “Bismikallahumma” (Dengan menyebut Asma-Mu ya
Allah). Maka pembatalan perjanjian telah berhasil dilakukan, dan
Rasulullah beserta para sahabatnya keluar dari lembah pemukiman. Kaum
musyrikin sebenarnya telah melihat salah satu tanda kenabian beliau, namun
mereka seperti yang dikabarkan oleh Allah: “Wa iy yarau aayatay yu’ridhuu
wayaquuluu sihrum mustamir” (Dan, jika mereka [orang-orang musyrikin] melihat
suatu tanda [mu’jizat] mereka berpaling dan berkata, ‘Ini adalah sihir yang
terus menerus.’) (Al-Qamar:2)
Setelah peristiwa pemboikotan itu, Abu Thalib
yang usianya telah melewati 80 tahun sakit dan makin bertambah sakitnya, akibat
berbagai peristiwa berat yang ia alami terutama pemboikotan yang telah melemahkan
tulang-tulangnya. Tak lama kemudian ia pun meninggal dunia, pada bulan
Rajab tahun kesepuluh kenabian, enam bulan setelah keluar dari lembah pemukiman
tempat pemboikotan. Sebelum wafatnya, Nabi saw mendatangi beliau dan
berkata, “Paman, katakanlah laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang dapat saya
jadikan hujjah untuk membela Anda di sisi Allah.” Namun Abu Jahal dan
Abdullah bin Abi Umayyah yang saat itu sedang ada di dekatnya pula berkata,
“Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?” Keduanya
terus berbicara kepada Abu Thalib sehingga pada akhirnya Abu Thalib mengucapkan
bahwa dia berada di atas agama Abdul Muththalib. Kemudian Rasulullah saw
berkata, “Aku akan memohonkan ampunan untuk Anda selama tidak dilarang.” Namun
turunlah ayat Al-Quran, “Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musryik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”. Demikianlah Abu
Thalib yang selama hidupnya merupakan pelindung Nabi meninggal dalam keadaan
tetap berada di atas agama nenek moyangnya. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa Abbas bin Abdul Muththalib paman Nabi yang lain bertanya
kepada Nabi, “Pertolongan apa yang dapat kamu berikan kepada pamanmu Abu Thalib
yang telah melindungimu dan marah karena kamu?” Beliau menjawab, “Di berada di
neraka yang paling atas. Seandainya bukan karena aku, dia berada di
neraka paling bawah.”
Setelah Abu Thalib wafat, dua atau tiga bula
kemudian Ummul mu’minin Khadijah ra wafat pula, pada bulan Ramadhan tahun
kesepuluh kenabian. Saat itu ia berumur enam puluh lima tahun, sedang
Rasulullah berusia lima puluh tahun. Khadijah adalah nikmat yang Allah
karuniakan kepada Rasulullah saw. Selama seperempat abad, ia hidup
mendampingi Rasulullah saw, menghiburnya ketika beliau sedang gelisah,
mendukungnya pada sat beliau mengalami kehidupan yang sulit, membantunya dalam
menyampaikan risalah, turut serta dalam memikul beban perjuanganyang pahit, dan
membantunya dengan jiwa dan hartanya. Rasulullah bersbda, “Dia beriman
kepadaku ketika orang-orang mengingkari aku, membenarkan aku ketika orang-orang
mendustakan aku, membantuku dengan hartanya ketika orng-orang tidak membantu,
Allah mengaruniai aku anak-anaknya, dan tidak mengaruniai anak selain darinya.”
Sepeninggal Abu Thalib dan Khadijah kaum Quraisy
bertambah leluasa melancarkan penyiksaan kepada beliau, sampai orang awam
Quraisy berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah saw. Pernah
Rasulullah pulang ke rumahnya dalam keadaan berlumuran darah. Ia berkata
kepada putrinya yang menangis melihat keadaan beliau, “Janganlah engkau
menangis
wahai
anakku, sesungguhnya Allah akan menolong bapakmu.” Beliau juga berkata,
“Orang-orang Quraisy tidak dapat menimpakan sesuatu yang tidak saya sukai
sehingga Abu Thalib meninggal.”
Demikian kesedihan yang dialami Rasulullah saw
mulai dari pemboikotan sampai meninggalnya dua orang yang ia cintai, pamannya
Abu Thalib dan istrinya Khadijah. Beliau menamakan tahun ini sebagai
“Tahun Duka Cita”, karena begitu hebatnya penderitaan di jalan dakwah pada
tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar