DEPAN

Sungguh, kadang kejujuran itu terasa sangat menyakitkan, tetapi katakanlah dan luruskanlah saja niatmu

Hisablah dirimu sebelum di hisab Allah dan jangalah menyibukkan diri menghisab apalagi menghisap orang lain

Memang nikmat berbagi dalam kebaikan & kebenaran (modifikasi dari KZ)

Salah satu tugas dalam hidup ini begitu sederhana, hanya bersabar dan besyukur (AFF)

Orang yang melewatkan satu hari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardu yang ia lakukan atau kemuliaan yang ia wariskan atau pujian yang ia hasilkan atau kebaikan yang ia tanamkan atau ilmu yang ia dapatkan,maka sungguh-sungguh ia telah durhaka pada harinya dan menganiaya diri. (Dr. Yusuf Al-qardhawi)

-----------------------------

http://refleksirifa.blogspot.com/

https://rifateashahihbukhari.blogspot.com

http://www.facebook.com/ridwan.farid.3990

id.linkedin.com/pub/ridwan-farid/6/17b/164

------------------------------------

YM & Gtalk : rifa120

Selasa, 06 Oktober 2015

Sirah Nabawiyah-TAHUN DUKA CITA (9)



SIRAH NABAWIAH
Dirangkum oleh Kang Teddy Tedjakusuma dari buku karangan Syeikh Syafiyyur Rahman Mubarakfuri 





 TAHUN DUKA CITA (9)

Setelah masuknya Hamzah dan Umar ke dalam pangkuan Islam, awan kegelapan mulai tersingkap dan kaum musyrikin mulai sadar dari sikap mereka yang selalu menimpakan siksaan terhadap kaum muslimin.  Mereka berusaha menawarkan kepada Nabi saw segala hal yang mungkin menjadi tuntutan beliau, untuk menghentikan dakwahnya. 
Suatu hari Utbah bin Rabi’ah, seorang tokoh cendekiawan Quraisy, menemui Nabi Muhammad saw. Ia kemudian berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai putra saudaraku, jika dengan dakwah yang Anda lakukan itu Anda ingin mendapatkan harta kekayaan, maka kami akan mengumpulkan harta kekayaan yang ada pada kami untuk Anda, sehingga Anda menjadi orang yang terkaya di kalangan kami.  Jika Anda menginginkan kehormatan dan kemuliaan, Anda akan kami angkat sebagai pemimpin, dan kami tidak akan memutuskan persoalan tanpa persetujuan anda sebagai raja kami.  Jika Anda tidak sanggup menangkal jin yang merasuk ke dalam diri Anda, kami bersedia mencari tabib yang sanggup menyembuhkan Anda dan untuk itu kami tidak akan menghitung-hitung berapa biaya yang diperlukan sampai Anda sembuh.”  Mendengar penawaran Utbah itu Nabi membacakan ayat-ayat Al-Quran tentang hakikat dakwah yang dibawakan oleh Nabi hingga beliau sampai pada ayat sajadah dan beliau pun bersujud.  Utbah kembali pada kaumnya dan memberitakan percakapan antara dirinya dengan Rasululullah.  Ia menyatakan bahwa apa yang ia dengar dari Muhammad saw bukanlah syair, sihir, ataupun mantera dukun, melainkan sebuah berita yang menggemparkan.  Maka ia menyarankan agar kaum Quraisy membiarkan Muhammad mendakwahkan ajarannya.  Mendengar penuturan Utbah ini kaum Quraisy menjawab, “Demi Allah, Muhammad telah mensihirmu, wahai Abul Walid, dengan perkataanya.”
Sementara itu Abu Thalib, paman Nabi, sering merenung tentang apa yang dialami oleh keponakannya, ancaman-ancaman dari kaum Quraisy yang mengintainya, seperti usaha Abu Jahal untuk membunuhnya, Uqbah bin Abi Mu’ith yang mencekik kemenakannya, dan Umar bin Khaththab yang keluar dari rumahnya dengan menyandang pedang untuk membunuhnya.  Semua itu ia renungkan dan ia mencium rencana jahat dari kaum Quraisy terhadap keponakannya itu.  Maka ia kemudian mengumpulkan keluarganya dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib, anak-anak Abdu Manaf, dan mengajak mereka untuk melindungi dan membela kemenakannya itu.  Mereka menyambut seruan Abu Thalib tersebut, baik yang muslim maupun yang kafir, karena fanatisme kesukuan mereka, kecuali Abu Lahab.  Ia memisahkan diri dari mereka, dan bergabung dengan orang-orang Quraisy.
Setelah mengetahui adanya perjanjian di antara Bani Muththalib dan Bani Hasyim untuk melindungi dan membela Muhammad saw, kaum Quraisy kebingungan.  Sebab mereka tahu apabila mereka membunuh Muhammad, maka lembah Mekkah akan mengalirkan darah mereka.  Bahkan, boleh jadi akan menyebabkan lenyapnya mereka.  Mereka menyadari akan hal itu, maka mereka beralih kepada kezhaliman yang lain, bukan membunuh, melainkan lebih pedih dari apa yang mereka lakukan sebelumnya.  Mereka berkumpul di daerah Bani Kinanah, untuk melakukan persekongkolan terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib.  Mereka bersekongkol untuk tidak menikah dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak melakukan jual beli dengan mereka, tidak masuk ke dalam rumah mereka, dan tidak berbicara dengan mereka, sehingga mereka menyerahkan Muhammad saw kepada kaum musyrikin untuk dibunuh.  Kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah naskah perjanjian, dan digantungkan di dalam Ka’bah.  Maka, Bani Hasyim dan Bani Muththalib, baik yang mukmin maupun yang kafir, bergabung menjadi satu, kecuali Abu Lahab.  Mereka dikucilkan di perkampungan Abu Thalib, pada malam pertama bulan Muharram tahun ketujuh dari kenabian.
Pengepungan makin ketat, dan bahan-bahan makanan diblokade oleh kaum musyrikin.  Kaum musyrikin tidak membiarkan bahan makanan yang masuk ke Mekkah.  Setiap kali ada makanan yang masuk ke Mekkah, mereka segera menyerbu dan membelinya, sehingga Bani Muththalib dan Bani Hasyim mengalami kesulitan hidup.  Mereka terpaksa makan dedaunan dan kulit binatang, dan dari balik lembah pemukiman tersebut terdengar tangis bayi-bayi mereka karena kelaparan.  Mereka tidak bisa keluar dari pemukiman untuk membeli kebutuhan-kebutuhan mereka, kecuali pada bulan-bulan haram (suci), karena mereka dapat membeli makan dari kafilah yang datang ke Mekkah dari luar daerah, tapi penduduk Mekkah menghasut mereka untuk menaikkan harga barang-barang dagangan mereka sehingga kaum Muslimin tidak dapat membelinya.
Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun.  Pada bulan Muharram, tahun kesepuluh kenabian terjadilah pembatalan perjanjian tersebut, sebab orang-orang Quraisy bimbang terhadap perjanjian tersebut, antara rela dan benci.  Maka orang-orang yang membenci perjanjian tersebut berusaha untuk membatalkan perjanjian tersebut.  Allah Swt menurunkan pertolongannya. Yaitu dengan mengirim rayap untuk memakan seluruh isi perjanjian yang digantungkan di dalam Ka’bah itu, kecuali tulisan “Bismikallahumma” (Dengan menyebut Asma-Mu ya Allah).  Maka pembatalan perjanjian telah berhasil dilakukan, dan Rasulullah beserta para sahabatnya keluar dari lembah pemukiman.  Kaum musyrikin sebenarnya telah melihat salah satu tanda kenabian beliau, namun mereka seperti yang dikabarkan oleh Allah: “Wa iy yarau aayatay yu’ridhuu wayaquuluu sihrum mustamir” (Dan, jika mereka [orang-orang musyrikin] melihat suatu tanda [mu’jizat] mereka berpaling dan berkata, ‘Ini adalah sihir yang terus menerus.’) (Al-Qamar:2)
Setelah peristiwa pemboikotan itu, Abu Thalib yang usianya telah melewati 80 tahun sakit dan makin bertambah sakitnya, akibat berbagai peristiwa berat yang ia alami terutama pemboikotan yang telah melemahkan tulang-tulangnya.  Tak lama kemudian ia pun meninggal dunia, pada bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian, enam bulan setelah keluar dari lembah pemukiman tempat pemboikotan.  Sebelum wafatnya, Nabi saw mendatangi beliau dan berkata, “Paman, katakanlah laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang dapat saya jadikan hujjah untuk membela Anda di sisi Allah.”  Namun Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah yang saat itu sedang ada di dekatnya pula berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?”  Keduanya terus berbicara kepada Abu Thalib sehingga pada akhirnya Abu Thalib mengucapkan bahwa dia berada di atas agama Abdul Muththalib.  Kemudian Rasulullah saw berkata, “Aku akan memohonkan ampunan untuk Anda selama tidak dilarang.” Namun turunlah ayat Al-Quran, “Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musryik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”.  Demikianlah Abu Thalib yang selama hidupnya merupakan pelindung Nabi meninggal dalam keadaan tetap berada di atas agama nenek moyangnya.  Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Abbas bin Abdul Muththalib paman Nabi yang lain bertanya kepada Nabi, “Pertolongan apa yang dapat kamu berikan kepada pamanmu Abu Thalib yang telah melindungimu dan marah karena kamu?” Beliau menjawab, “Di berada di neraka yang paling atas.  Seandainya bukan karena aku, dia berada di neraka paling bawah.”
Setelah Abu Thalib wafat, dua atau tiga bula kemudian Ummul mu’minin Khadijah ra wafat pula, pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian.  Saat itu ia berumur enam puluh lima tahun, sedang Rasulullah berusia lima puluh tahun.  Khadijah adalah nikmat yang Allah karuniakan kepada Rasulullah saw.  Selama seperempat abad, ia hidup mendampingi Rasulullah saw, menghiburnya ketika beliau sedang gelisah, mendukungnya pada sat beliau mengalami kehidupan yang sulit, membantunya dalam menyampaikan risalah, turut serta dalam memikul beban perjuanganyang pahit, dan membantunya dengan jiwa dan hartanya.  Rasulullah bersbda, “Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari aku, membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan aku, membantuku dengan hartanya ketika orng-orang tidak membantu, Allah mengaruniai aku anak-anaknya, dan tidak mengaruniai anak selain darinya.”
Sepeninggal Abu Thalib dan Khadijah kaum Quraisy bertambah leluasa melancarkan penyiksaan kepada beliau, sampai orang awam Quraisy berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah saw.  Pernah Rasulullah pulang ke rumahnya dalam keadaan berlumuran darah.  Ia berkata kepada putrinya yang menangis melihat keadaan beliau, “Janganlah engkau menangis wahai anakku, sesungguhnya Allah akan menolong bapakmu.”  Beliau juga berkata, “Orang-orang Quraisy tidak dapat menimpakan sesuatu yang tidak saya sukai sehingga Abu Thalib meninggal.”
Demikian kesedihan yang dialami Rasulullah saw mulai dari pemboikotan sampai meninggalnya dua orang yang ia cintai, pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah.  Beliau menamakan tahun ini sebagai “Tahun Duka Cita”, karena begitu hebatnya penderitaan di jalan dakwah pada tahun ini.

Tidak ada komentar: