SIRAH
NABAWIAH
Dirangkum oleh Kang Teddy Tedjakusuma dari buku
karangan Syeikh Syafiyyur Rahman Mubarakfuri
HIJRAH KE HABASYAH (7)
Sejak dilakukannya penindasan oleh kaum musyrikin
Quraisy terhadap kaum muslimin khususnya yang berasal dari golongan lemah,
Rasulullah saw melarang kaum muslimin untuk menyatakan keislaman mereka, dan
tidak berkumpul dengan mereka kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Mereka
biasanya berkumpul secara rahasia di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam yang
terletak di atas bukit Shafa, sebagai markas dakwah dan tempat berkumpul kaum
muslimin.
Namun demikian penyiksaan kaum musyrikin terhadap
kaum muslimin tidak berhenti malah semakin hebat. Sehingga keadaan di
Mekkah tak lagi cocok bagi kaum muslimin untuk menjalankan agamanya.
Dalam keadaan tersebut, turunlah surat Al-Kahfi yang di dalamnya terkandung
tiga kisah. Kisah pertama yaitu kisah Ashabul Kahfi (para penghuni gua)
yang memberikan isyarat untuk melakukan hijrah dari pusat kekafiran ketika
dikhawatirkan timbul fitnah terhadap agama.
Wa idzi’tazaltumuuhum wamaa ya’buduuna
illallaahu fa wuu ilalkahfi yansyurlakum rabbukum min rahmatihii wa yuhayyi
lakum min amrikum mirfaqaa
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa
yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat perlindungan ke dalam gua
itu, niscaya Tuhan kamu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan
menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (al-Kahfi:16)
Kisah kedua yaitu kisah Khidr dan Musa memberikan
isyarat bahwa keadaan tidak senantiasa berjalan dan memberikan hasil sesuai
dengan lahiriahnya, bahkan boleh jadi hasil yang diperoleh berlawan sekali
dengan kondisi lahiriahnya. Hal ini menunjukkan bahwa peperangan yang
dilancarkan kaum musyrikin akan berbalik total; thagut-thagut musyrik tersebut
jika tidak beriman akan dituntut di hadapan kaum muslimin yang lemah dan
terusir tersebut.
Kisah ketiga adalah kisah Dzul Qarnain yang
memberikan isyarat bahwa bumi itu milik Allah dan akan diwariskan kepada hamba-hamba-Nya
yang Dia kehendaki.
Kemudian, turun pula surat Az-Zumar yang
mengisyaratkan tentang hijrah, dan menyatakan bahwa bumi Allah itu tidak
sempit. Allah berfirman:
“Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini
memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az
Zumar: 10)
Rasulullah saw telah mengetahui bahwa Najasyi,
raja Habasyah (Ethiopia sekarang), adalah seorang raja yang adil, dan tidak ada
seorang pun di sisinya yang terzhalimi. Maka beliau memerintahkan kaum
muslimin untuk berhijrah ke sana. Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian,
berangkatlah rombongan pertama para sahabat ke Habasyah. Kelompok
tersebut terdiri atas 12 (dua belas) laki-laki dan 4 (empat) wanita (total 16
orang). Kelompok tersebut dipimpin oleh Utsman bin Affan yang didampingi
oleh istrinya Ruqayyah binti Muhammad saw. Tentang keduanya, Rasulullah
saw bersabda:
“Sesungguhnya keduanya adalah keluarga pertama
yang berhijrah di jalan Allah, setelah Ibrahim dan Luth alaihimas salam”
Mereka pun keluar dari Mekkah secara sembunyi-sembunyi
di tengah-tengah kegelapan malam. Mereka keluar menuju pantai Syu’aibah,
dan berlayar menuju Habasyah. Sesampainya di Habasyah mereka tinggal di
sana dalam keadaan aman.
Sementara itu di Mekkah ada suatu kejadian yang
unik. Kaum musyrikin suatu saat mendengarkan bacaan Al-Quran yang
dibacakan oleh Nabi, yaitu surat An-Najm, walaupun sesungguhnya mereka
bersepakat dan melarang orang lain untuk mendengarkan bacaan Al-Quran.
Namun ketika mereka mendengarkan bacaan Rasulullah, mereka lupa akan
kesepakatan itu. Mereka tertegun ketika beliau memperdengarkan ayat-ayat
dari surat An-Najm, sampai ayat terakhir sebagai berikut:
Fasjuduu lillaahi wa’buduu
“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah
(Dia)” (An-Najm: 62). Nabi saw pun bersujud setelah membaca surat
ini. Maka, kaum musyrikin itu tidak mampu menahan diri untuk ikut
bersujud. Pada hakikatnya, goncangan kebenaran telah menghancurkan rasa
ingkar yang ada di dalam jiwa orang-orang yang angkuh dan pengejek; mereka
tidak mampu menahan diri untuk bersujud kepada Allah. Setelah itu mereka
menyesal dan mencari alasan yang dibuat-buat tentang mengapa mereka bersujud.
Berita tentang kejadian ini sampai ke kaum
muslimin yang telah berhijrah ke Habasyah, namun dalam bentuk lain.
Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa orang-orang Quraisy telah masuk
Islam. Tentu saja mereka merasa sangat bergembira mendengar berita ini,
dan mereka pun pulang ke Mekkah pada bulan Syawwal tahun yang sama.
Tetapi, setelah mereka sampai di dekat Mekkah dan mengetahui persoalannya
dengan jelas, sebagian mereka ada yang kembali ke Habasyah. Tidak ada
seorang pun dari mereka yang masuk ke Mekkah kecuali dengan sembunyi-sembunyi,
atau dalam perlindungan salah seorang tokoh Quraisy.
Karena penyiksaan terhadap kaum muslimin tidak
berhenti malah semakin hebat, Rasulullah saw menyuruh kembali kaum muslimin
untuk berhijrah ke Habasyah. Hijrah kedua ini diikuti oleh 83 (delapan
puluh tiga lelaki) dan 19 (sembilan belas) wanita (jadi totalnya 102 orang).
Setelah mengetahui perihal hijrahnya kaum
muslimin ke Habasyah, kaum musyrikin Quraisy menjadi amat gusar. Mereka
kemudian mengutus dua tokohnya yang gagah dan cerdas, yaitu Amru bin al-Ash dan
Abdullah bin Abi Rabi’ah (keduanya belum masuk Islam saat itu). Kaum
Quraisy mengutus mereka untuk membawa hadiah-hadiah kepada Najasyi dan para
pembesar kerajaan.
Sesampainya mereka di Habasyah mereka menyerahkan
hadiah-hadiah tersebut kepada para pembesar kerajaan, dan memberikan keterangan
yang dapat menghasut mereka untuk mengusir kaum muslimin. Para pembesar
kerajaan pun bersepakat untuk memohon kepada Najasyi agar mengusir kaum
muslimin dari Habasyah. Setelah para pembesar Habasyah itu menghadap
kepada rajanya, Najasyi memerintahkan untuk mengadakan sebuah pertemuan besar
untuk memeriksa dengan baik perkara kaum muslimin tersebut.
Maka berkumpullah seluruh pembesar kerajaan di
istana, dan kemudian kaum muslimin diperintahkan untuk memasuki istana
tersebut. Amr dan Abullah ikut berada di sana. Raja Najasyi pun
mengadakan persidangan untuk menanyakan berbagai perkara sehubungan dengan
agama baru yang dibawa oleh kaum muslimin dari Mekkah itu. Dalam hal ini
yang menjadi juru bicara kaum muslimin adalah Ja’far bin Abi Thalib.
Setelah persidangan dilakukan di mana di dalamnya kaum muslimin menjelaskan
tentang ajaran baru mereka yang memerintahkan segala perbuatan baik dan
melarang perbuatan buruk, maka Najasyi pun memahami dan membenarkan ajaran baru
tersebut sebagai ajaran yang tidak berbeda dengan yang ia anut. Bahkan,
ketika ia menanyakan perihal Isa Al Masih, dan Ja’far menjawabnya dengan
membacakan surat Maryam, pembacaan surat itu demikian menyentuh hati raja dan
para pembesar sampai mereka meneteskan air matanya dan membasahi jenggot-jenggotnya
dengan air mata mereka. Najasyi kemudian menegaskan bahwa ajaran agama
yang dibawa oleh kaum muslimin pada dasarnya sama dengan ajaran yang ia anut,
dan karenanya kaum muslimin berhak hidup di tanah Habasyah tanpa
gangguan. Ia mengembalikan hadiah-hadiah itu kepada Amr dan Abdullah, dan
mereka pun pulang ke Mekkah dengan menanggung rasa malu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar