SIRAH
NABAWIAH
Dirangkum
oleh Kang Teddy Tedjakusuma dari buku karangan Syeikh Syafiyyur Rahman
Mubarakfuri
BAIAT AQABAH KEDUA DAN PERSIAPAN HIJRAH (12)
Pada musim haji tahun ketiga belas kenabian (Juni
622H) tujuh puluh lebih kaum muslimin dari penduduk Yatsrib datang untuk
menunaikan manasik haji. Mereka datang bersama rombongan haji kaum mereka
dari kaum musyrikin. Kaum muslimin saling bertanya di antara sesama
mereka di perjalanan, “Sampai kapan kita membiarkan Rasulullah saw dihardik dan
diancam ketika beliau berkeliling berdakwah di bukit-bukit Mekkah?”
Setelah sampai di Mekkah, terjadilah kontak rahasia antara mereka dan Nabi saw
sehingga terjadilah kesepakatan antara kedua pihak untuk berkumpul di lembah
yang berada di pinggir Aqabah, dan pertemuan itu dilakukan secara rahasia, di
tengah-tengah kegelapan malam.
Setelah semuanya hadir, dimulailah pembicaraan
untuk menetapkan perjanjian keagamaan dan militer. Perihal isi bai’at
tersebut telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir secara rinci.
Jabir berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang perlu kami nyatakan kepada Anda
dalam pembicaraan ini?” Beliau menjawab:
1.
Berjanji untuk taat dan setia kepadaku baik dalam keadaan sibuk maupun
senggang.
2.
Berjanji untuk tetap berinfaq baik dalam keadaan lapang maupun dalam
keadaan sempit.
3.
Berjanji untuk tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
4.
Berjanji untuk tetap teguh membela kebenaran kepada Allah, tanpa rasa
takut dicela oleh orang yang mencela.
5.
Berjanji untuk tetap membantuku dan membelaku apabila aku telah berada
di tengah-tengah kalian, sebagaimana kalian membela diri kalian sendiri dan
anak istri kalian. Dengan demikian, kalian akan memperoleh surga.
Kaum muslimin menyepakati isi baiat tersebut,
Al-abbas bin Ubadah salah seorang yang hadir berkata, “Tahukah kalian, untuk
apa kalian berbaiat kepada orang ini?” Mereka menjawab, “Ya, kami mengetahui.”
Dia berkata, “Kalian berbai’at kepada beliau untuk memerangi orang-orang
berkulit merah dan hitam. Apabila suatu saat nanti harta kalian habis dan
pemimpin-pemimpin kalian terbunuh, lalu kalian menyerahkan beliau kepada
musuh-musuhnya, maka sejak sekarang tinggalkan saja dia. Demi Allah, jika
kalian melakukan hal itu, sesungguhnya hal itu adalah sehina-hina dunia dan
akhirat. Tetapi, apabila kalian bersungguh-sungguh untuk setia kepadanya
dan kepada agama yang diserukannya, meskipun harta kalian habis dan
pemimpin-pemimpin kalian terbunuh, ikutilah dia. Demi Allah, hal itu
adalah sebaik-baik dunia dan akhirat.” Mereka berkata, “Kami akan
mengikutinya meskipun harta kami habis dan pemimpin-pemimpin kami
terbunuh. Balasan apa yang akan kami peroleh, wahai Rasulullah,
jika kami melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Surga.”
Setelah menyetujui isi bai’at itu, dimulailah
pelaksanaan bai’at dengan berjabat tangan. Satu persatu di antara tujuh
puluh orang kaum muslimin itu berjabatan tangan dengan Rasulullah saw.
Ada dua orang wanita yang hadir dalam bai’at tersebut, yakni Nasibah binti Ka’b
dan Asm’a binti Amru. Rasulullah membai’at mereka hanya dengan perkataan
dan tidak bersalaman dengan mereka karena beliau tak pernah berjabat tangan
dengan wanita asing (bukan muhrimnya).
Itulah bai’at Aqabah kedua yang dikenal dengan
bai’at Aqabah kubra yang berhasil dilaksanakan dalam suasana yang penuh dengan
rasa cinta dan loyal di antara sesama kaum mukmin, serta kepercayaan dan
keberanian. Untuk meniti jalan tersebut seorang mukmin dari penduduk Yatsrib
berpihak kepada saudara-saudaranya yang lemah yang berada di Mekkah,
membelanya, marah terhadapa orang yang menzhaliminya, dan dalam kalbunya timbul
perasaan sayang kepada saudaranya yang ia cintai karena Allah.
Demikianlah bai’at Aqabah berhasil dilaksanakan,
dan Islam berhasil mendirikan suatu negara di tengah-tengah gurun sahara yang
dipenuhi oleh kekufuran dan kejahilan. Hal ini merupakan prestasi
terpenting yang diraih oleh Islam sejak awal dakwahnya. Setelah
perjanjian ini Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke
Yatsrib.
Hijrah bukan sekadar mengorbankan segala
kepentingan dan harta benda dan menyelematkan diri semata, tetapi juga
kesadaran bahwa di tengah jalan mungkin saja dirampok, bahkan mungkin pula akan
direnggut nyawanya. Hijrah juga berarti perjalanan ke masa depan yang
masih belum jelas, di samping kesulitan dan penderitaan yang akan dialami di
kemudian hari. Kaum muslimin yang pertama-tama melakukan hijrah di antaranya:
Abu Salamah (yang kemudian disusul oleh istri dan anaknya), Shuhaib, Umar bin
Khattab. Mereka dihalang-halangi oleh kaum musryikin Quraisy untuk keluar
dari Mekkah. Namun demikian, kaum muslimin tetap keluar meninggalkan
Mekkah secara silih berganti. Setelah dua tahun lebih dari bai’at Aqabah
Kubra, tidak ada kaum muslimin yang tersisa di Mekkah, kecuali Rasulullah saw,
Abu Bakar, Ali, dan oran
g-orang yang ditahan oleh kaum musyrikin
secara paksa.
Kaum musyrikin melihat para sahabat Nabi telah
keluar meniggalkan Mekkah membawa istri, anak dan harta ke Yatsrib.
Karena itu mereka sangat cemas, terbayang di hadapan mereka bahaya besar yang
mengancam eksistensi paganism dan perekonomian mereka. Di samping mengetahui
kesempurnaan kepemimpinan Nabi serta tekad dan pengorbanan yang dimiliki oleh
para sahabat beliau, kaum musyrikin juga mengetahui bahwa Madinah adalah tempat
strategis bagi perdagangan yang melewati pantai-pantai laut merah, dari Yaman
ke Syam. Tidaklah tersembunyi bahaya besar yang mengancam orang-orang
Quraisy bila dakwah Islam terpusat di Madinah dan penduduknya melakukan
perlawanan terhadap mereka.
Pada hari Kamis tanggal 26 hafar tahun keempat
belas kenabian, di pagi hari menjelang siang, kaum Quraisy mendakan sebuah
pertemuan, dan pertemuan tersebut merupakan pertemuan terpenting dalam sejarah
mereka. Pertemuan tersebut dihadiri oleh seluruh wakil dan
kabilah-kabilah Quraisy, untuk mempelajari rencana pasti yang secara tepat
dapat membinasakan pembawa panji dakwah Islam dan mematikan cahaya dakwah Islam
secara total. Setelah mereka mengajukan dan membahas berbagai pendapat,
maka salah satu pendapat akhirnya disepakati oleh mereka. Pendapat ini
adalah pendapat gembong penjahat Mekkah, yaitu Abu Jahal bin Hisyam. Ia
berkata, “Aku berpendapat hendaknya kalian mengambil seorang pemuda yang
berkedudukan terhormat, kuat dan perkasa dari setiap kabilah Quraisy.
Setiap pemuda itu kita beri sebilah pedang yang ampuh, kemudian secara
bersama-sama mendatangi Muhammad, lalu membunuhnya dengan serentak. Jika
pembunuhan itu berhasil, tanggung jawab atas kematiannya terbagi rata di antara
semua kabilah Quraisy, sehingga Bani Abdi Manaf tidak akan berani melancarkan
serangan pembalasan terhadap seluruh kaum mereka. Bagi mereka hanya ada
satu kemungkinan, yaitu menuntut diyat (denda).
Setelah keputusan untuk membunuh Muhammad saw
ditetapkan, malaikat Jibril turun kepada beliau membawa wahyu Allah Swt,
mengabarkan kepadanya persekongkolan orang-orang Quraisy, dan mengabarkan bahwa
Allah Swt telah mengizinkan beliau untuk keluar dari Mekkah serta menentukan
waktu keberangkatannya dengan mengatakan, “Pada malam ini, janganlah kamu tidur
di atas ranjang tempat kamu biasa tidur.”
Pada siang hari itu pula, para gembong penjahat
Quraisy sibuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan rencana yang telah
ditetapkan oleh Parlemen Mekkah pada pagi hari. Untuk melaksanakan
rencana tersebut, dipilihlah sebelas orang di antara gembong-gembong tersebut,
termasuk di dalamnya Abu Jahal bin Haisyam dan Abu Lahab. Waktu yang
telah ditetapkan untuk melaksanakan makar tersebut adalah tengah malam.
Maka mereka pun menunggu sampai jam nol. Tetapi Allah berkuasa terhadap
urusan-Nya, dapat berbuat sekehendak-Nya, dan Dia memberikan perlindungan
kepada hamba-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar